Rabu, 22 Agustus 2012

SENSASI BERKUDA DI KOMPLEKS CANDI GEDONG SONGO




Saya tulis artikel ini atas permintaan seorang teman yang ingin mengekspos pengalaman mengasyikkan sekaligus sensasional berkuda menyusuri jalan setapak bertepi jurang, naik turun bukit, sambil menikmati pesona alam di sekitar Candi Gedong Songo.  Gedong Songo adalah nama kompleks candi Hindu yang terdiri atas sembilan candi, terletak di desa Candi, kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Kesembilan candi ini letaknya terpencar di lereng Gunung Ungaran, di ketinggian 1200 m di atas permukaan laut. Lokasinya terletak satu kompleks dengan tempat wisata Bandungan yang merupakan wisata pegunungan dengan suhu yang sejuk, berkisar antara 19-270C. 
Bagaimana menuju Candi Gedong Songo?
Kunjungan ini saya lakukan di Tahun 2009. Saya berangkat rame-rame bersama teman-teman sekolah S3 saya dari Yogyakarta ke Ambarawa, kemudian naik ke Bandungan. Perjalanan dari Ambarawa ke Bandungan harus hati-hati, karena jalannya naik dengan kemiringan sangat tajam, rata-rata 40o. Setelah menempuh jarak sekitar 15 km, sampailah kami ke Bandungan.  Pintu masuk menuju lokasi Candi Gedong Songo sama dengan pintu masuk ke obyek wisata Bandungan. Dari lokasi obyek wisata Bandungan ke lokasi Candi Gedong Songo bisa ditempuh dengan jalan kaki sekitar 10 menit, tetapi untuk mencapai semua candi yang letaknya saling berjauhan tentunya memerlukan waktu yang cukup lama dan melelahkan jika harus ditempuh dengan jalan kaki, sehingga naik kuda menjadi alternatif pilihan.  Tetapi, bagi yang suka olah raga jalan kaki, tentunya tidak menjadi masalah.
Sebelum memasuki obyek wisata Bandungan, kami sempatkan mengunjungi pabrik tahu sekaligus belanja untuk oleh-oleh. Tak lupa pula kami menikmati tahu goreng yang masih hangat dan susu sari kedelai langsung di lokasi pabrik. Asyik juga menikmati kehangatan susu kedelai dan tahu goreng yang lezat di daerah dingin seperti ini. Pabrik tahu ini memang sangat terkenal dan menjadi tujuan wisata kuliner di Bandungan. Sayangnya, saya lupa nama pabrik tahunya.
Setelah puas menikmati wisata kuliner di pabrik tahu, barulah kami menuju obyek wisata Bandungan. Sebelum memasuki pintu gerbang, kami mampir di Pasar Bandungan untuk membeli aneka buah dan sayuran untuk oleh-oleh. Harganya lebih murah daripada kalau membeli di Yogyakarta. Saya pun memilih membeli nangka, pisang, ubi jalar dan kelengkeng kesukaan saya. Nangka dari daerah sini sangat manis, pisang mas dan pisang ambonnya juga enak dan sangat murah, tetapi sayangnya kelengkeng yang dijual di sini sangat jarang yang varietas lokal, lebih banyak varietas impor yang buahnya besar-besar dengan rasa manis yang menurut saya bikin eneg, tidak seperti kelengkeng lokal yang meski buahnya lebih kecil tetapi rasa manisnya pas di lidah.
Setelah memasukkan barang-barang belanjaan yang dibeli di Pasar Bandungan ke dalam bagasi mobil, barulah kami memasuki gerbang wisata Bandungan. Lokasi wisata ini cukup ramai dikunjungi wisatawan, termasuk juga wisatawan asing. Pengelolaannya juga cukup bagus. Kami pun kemudian mencari tempat yang nyaman untuk menggelar tikar, duduk-duduk lesehan sambil ngobrol dan makan bekal yang kami bawa. Acara lutisan pun digelar. Asyik juga kumpul-kumpul bersama teman-teman di tempat wisata ini.
Setelah cukup puas ngobrol dan bercanda-tawa, serta perut pun telah terasa kenyang, barulah saya berpikir untuk mencoba naik ke atas menikmati Candi Gedong Songo. Hanya saya dan seorang teman yang tertarik mencoba petualangan berkuda menyusuri lokasi candi demi candi, sedangkan yang lainnya merasa malas atau karena tidak berani berkuda. Tentu saja, saya pun tidak berani berkuda tanpa pawangnya. Artinya, si pemilik kuda mendampingi dan memandu saya menyusuri jalan setapak bertepi jurang menuju lokasi candi demi candi yang semuanya berjumlah sembilan itu.

Sensasi berkuda dan pemandangan alam yang menakjubkan
Ternyata cukup sulit juga mengendalikan kuda dengan jalanan yang naik turun bukit. Untungnya, pemilik kuda selalu siap memberikan panduan kepada saya bagaimana cara mengendalikan tali kekang kuda dan bagaimana posisi badan dan kaki yang benar saat jalan menanjak dan bagaimana saat menurun. Ah, betul-betul sensasional, serasa sedang menjadi prajurit berkuda dari pasukan perang Pangeran Diponegoro. Sebenarnya saya sempat takut juga saat  melihat jurang yang menganga lebar di samping saya dan jalan setapak sempit yang harus saya lewati.  Tetapi, rasa takut itu pelan-pelan menghilang terhibur oleh pemandangan alam yang sangat indah, dengan jejeran pohon-pohon pinus yang seakan tertata rapih. 
Di tengah jalan, kuda yang saya naiki memberi sinyal pengin pipis, maka sang pawang pun meminta saya untuk menghentikan kuda dan memberi waktu bagi sang kuda untuk melaksanakan hajatnya. Sekitar sepuluh menit kemudian, saya mulai berjumpa dengan salah satu dari kompleks Candi Gedong Songo. Saya tidak sempat turun dari kuda untuk menikmati candi demi candi dari dekat, karena teman-teman saya telah menunggu di bawah. Tetapi yang penting,  saya tetap bisa menikmati candi demi candi yang saya temui dari atas kuda yang saya tunggangi.
Candi Gedong Songo yang merupakan peninggalan Wangsa Syailendra ini memiliki persamaan dengan kompleks Candi Dieng di Wonosobo. Candi ini ditemukan oleh Raffles pada Tahun 1804. Di area kompleks candi ini juga terdapat sumber mata air panas  yang mengandung belerang. Bagi yang berminat, bisa mandi di kamar mandi yang tersedia dengan air panas yang bersumber dari mata air panas tersebut, atau boleh saja hanya bermain-main air atau sekedar cuci kaki di sumber mata air panas yang dipercaya  bisa menyembuhkan bermacam penyakit kulit ini. Uap belerang begitu terasa saat saya sejenak berada di dekatnya.
Di salah satu sudut bukit ini saya juga bisa menyaksikan Rawa Pening di kejauhan nun di bawah sana. Pemandangan dari atas bukit ini sangatlah indah. Di belahan bukit lainnya terdapat tanah yang cukup lapang yang dijadikan area perkemahan. Saya pun sempat bertemu dengan rombongan satu keluarga bule yang sedang menyusuri setiap sudut bukit dengan berjalan jaki  Ah, tidak rugi saya telah melawan rasa takut untuk mendapatkan pengalaman petualangan berkuda yang sensasional, serta pemandangan alam yang sangat indah untuk memanjakan mata. Dalam hati saya berniat, suatu saat saya akan mengajak anak-anak saya menapak tilas petualangan saya hari ini.


Selasa, 21 Agustus 2012

ROMANTISME SENJA PANTAI BARU


 Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta menyimpan banyak potensi sumberdaya pantai untuk kegiatan ekowisata, salah satunya adalah Pantai Baru. Pantai yang terletak sekitar 100 meter di sebelah barat Pantai Kuwaru ini memang suasananya sangat mirip dengan Pantai Kuwaru, tetapi tampak lebih luas dengan rimbunan kanopi pohon cemara yang juga lebih hijau. Kali ini saya tidak akan menceritakan bagaimana caranya agar dapat sampai ke pantai ini, karena telah terdapat di tulisan saya terdahulu, “Sore di Pantai Kuwaru”. Sedikit informasi saja, Pantai Baru mempunyai pintu gerbang yang sama dengan Pantai Kuwaru. Dari pintu gerbang tempat loket retribusi tersebut, terus ambil jalan ke kanan untuk menuju Pantai Baru dengan jalan aspal yang cukup lebar dan mulus. Atau, dapat juga dengan berjalan kaki menyusuri pantai dari Pantai Kuwaru ke arah barat, tetapi tentu saja cara ini lebih menyita energi.
Tradisi libur lebaran yang diisi dengan kegiatan silaturahim sambil plesiran menyebabkan kepadatan pengunjung di hampir setiap tempat wisata. Demikian pula dengan Pantai Baru. Libur lebaran tahun ini saya dan keluarga besar menyempatkan diri berkunjung ke pantai ini. Lokasi wisata ini semakin ramai dengan banyaknya pengunjung yang ingin melihat seekor ikan hiu tutul raksasa yang terdampar di pantai dan akhirnya mati. Bangkai ikan yang organ-organ dalamnya telah dihilangkan ini sedang dijemur dalam rangka proses pengawetan. 
Warung-warung makan di sepanjang pantai pun banyak dipenuhi pengunjung.Di lokasi pantai ini juga ada wisata kuliner seperti halnya di Pantai Depok, meskipun tidak seramai di sana. Kendaraan khusus semacam motor pendek pun cukup banyak berlalu lalang disewa oleh pengunjung untuk menikmati suasana pantai. Disediakan jalur khusus untuk kendaraan ini sehingga tidak mengganggu pengunjung yang ingin berjalan-jalan di pantai.
Menikmati Pantai Baru lebih asyik di kala sore sambil menunggu matahari terbenam. Matahari terbenam di ufuk barat menyisakan semburat senja yang sangat indah dan menghadirkan suasana romantis untuk dinikmati bersama orang-orang tercinta. Tajuk-tajuk cemara pun memunculkan bayang-bayang senja yang indah di pantai ini.
 
Banyak pengunjung, termasuk juga saya, sengaja membiarkan kaki telanjang untuk menikmati sentuhan lembutnya pasir pantai di kaki. Tampak beberapa anak sedang bermain ombak, juga saya lihat beberapa orang yang sedang memancing. Jejeran perahu nelayan tampak tertambat di tepi pantai. Saya lihat sepasang anak muda sedang asyik berpelukan di bibir pantai sambil memandangi pesona senja berdua. Ah, gaya remaja berpacaran sekarang memang suka “menyerempet bahaya”. Dalam hati saya berdoa semoga kelak anak-anak saya bisa menjaga diri dari hal-hal “berbahaya” seperti itu. Tapi, ah, mengapa saya jadi berprasangka buruk seperti ini ya, siapa tahu sepasang muda itu adalah sepasang pengantin baru  yang sedang berbulan madu? Kan sah-sah saja...
Saya pun kemudian mencoba tak ambil peduli dengan kemesraan sepasang muda tadi, karena pemandangan matahari terbenam di pantai ini lebih menarik bagi saya. Sayangnya saya melewatkan sunset view yang indah ini untuk direkam dengan kamera, tetapi untunglah  saya masih bisa membidik semburat senja yang sangat indah dan menghadirkan romantisme. Suasana romantis pun lebih terasa saat saya menikmatinya bersama suami. Demikian juga dengan kedua adik saya yang menikmatinya bersama pasangannya masing-masing, sedangkan anak-anak kami asyik bercanda di lembutnya pasir pantai. Kedua orang tua saya yang sepuh pun asyik bercengkerama berdua sambil memandangi indahnya suasana.
Penasaran? Silakan mencobanya sendiri....

Jumat, 10 Agustus 2012

ADA CERIA DI SEKOLAH


Masa-masa sekolah selalu menyisakan kenangan yang sayang jika dilupakan. Selama sekolah S3, memang tak jarang kisah sedih, pilu dan penuh liku perjuangan, tertoreh di hati. Apalagi sistem sekolah S3 di dalam negeri terkenal sulit (baca: dibandingkan dengan sistem S3 luar negeri), harus sabar dan kuat menghadapi berbagai tantangan dan ujian mental, baik yang bersifat akademis maupun non akademis. Bahkan, banyak orang yang nggak berani ambil S3 di UGM, karena terkenal lulusnya lama alias rata-rata di atas 5 tahun.
Sekolah S3 memang tidak bisa dikatakan ringan. Kami dituntut tanggung jawab keilmuan yang sangat berat. Sekolah S3 di UGM juga dituntut untuk mandiri, semua kesulitan yang kami dapati selama sekolah, lebih banyak harus kami selesaikan sendiri, tanpa banyak peran dari tim promotor. Semua itu demi satu cita, predikat doktor yang penuh nilai. Eits.... tapi tulisan saya ini tidak akan bercerita tentang masa-masa sulit ini. Saya justru akan mengulas sisi yang menyenangkan selama sekolah S3.
Lewat tulisan ini saya ingin mengenang kembali masa-masa kebersamaan yang indah bersama teman-teman S3 saya.  Alhamdulillah, saya mendapatkan teman-teman yang baik dan sealiran dengan saya, yaitu suka ngumpul dan jalan-jalan. Inilah cara ampuh bagi kami untuk sejenak melupakan tekanan sekolah dan berbagi dengan teman seperjuangan, baik berbagi suka, duka maupun kisah. Dari sini kami juga bisa saling menasehati dan memberi masukan jika ada dari kami yang membutuhkan support. Banyak cerita yang membuat kami tertawa bersama jika mengingatnya. Berikut ini saya akan ceritakan satu demi satu.

1. Yangkung yang bikin keki
       Yangkung adalah sebutan untuk seorang dosen kami yang sudah sangat sepuh. Beliau adalah seorang profesor yang sebenarnya sudah pensiun, berumur sekitar 75 tahun. Fisiknya yang sudah pernah terserang stroke sebenarnya sudah tidak bisa dikatakan bugar, bahkan untuk berjalan pun seringkali harus dituntun, tetapi semangatnya sangat luar biasa. Mengapa bikin keki?  Karena sesepuh yang masih dijatah mengajar oleh Pak Dekan dengan alasan untuk tetap menjaga semangat hidupnya ini, nganeh-nganehi alias permintaannya aneh-aneh. Dan siapa yang menjadi korban permintaan-permintaannya itu? Tentu saja kami para mahasiswanya. 
       Banyak cerita tentang Yangkung yang berkesan bagi kami, terutama bagi beberapa orang yang paling sering dipanggil menghadap ke kediaman beliau untuk sekedar mendengarkan beliau bercerita,  atau bahkan untuk mengantarkan dan menemani beliau menghadiri suatu acara. Dan, saya termasuk salah satunya. Beliau memang tinggal sendiri tanpa keluarga sehingga sering merasa kesepian.
       Salah satu kenangan yang berkesan adalah beliau minta diadakan perayaan Sumpah Pemuda di kelas, waktu itu tanggal 28 Oktober 2008, di bulan-bulan pertama masa sekolah kami. Saya adalah salah satu orang yang ditunjuk menjadi panitia. Jadilah hari itu kami membaca sumpah pemuda, menyanyi lagu nasional, berdoa bersama, mendengarkan wejangan dari Yangkung, makan cemilan bersama, dan berakhir dengan foto bersama. Dan, satu hal lagi permintaan yang nganeh-nganehi, yakni untuk urusan nilai matakuliah Filsafat Ilmu yang beliau ampu, kami para mahasiswa harus mengambil nilai itu langsung di kediaman beliau.

2. Metodologi Penelitian, matakuliah paling sangar
       Di Fakultas Geografi UGM ini ada 4 program studi S3, yakni Ilmu Lingkungan, Geografi, Penginderaan Jauh, dan Kependudukan. Untuk semua program studi ini, tahun pertama adalah tahun untuk teori alias untuk menempuh beberapa matakuliah wajib yang harus ditempuh oleh semua mahasiswa, dan matakuliah pilihan yang ditentukan berdasarkan arah penelitian mahasiswa.
        Metodologi penelitian adalah matakuliah wajib yang harus ditempuh oleh semua mahasiswa. Kami sangat terkesan dengan matakuliah yang diampu oleh profesor-profesor handal di Fakultas Geografi ini. Mengapa? Terutama adalah karena tugas matakuliah ini yang mengharuskan kami menyusun proposal penelitian disertasi kami, kemudian dipresentasikan di depan kelas, diberi komentar maupun masukan dari teman-teman sekelas dan dosen pengampu, dan tentu saja kemudian dinilai oleh dua orang dosen pengampu tersebut. Dan, dosen pengampunya adalah dua orang profesor yang terkenal disiplin, teliti dan sangat serius, serta tidak main-main dalam memberikan penilaian kepada mahasiswa, yaitu Prof Sutikno dan Prof Hadi Sabari. Bahkan, ada teman kami yang harus mengulang presentasi alias memperbaiki proposalnya.
        Bisa dibayangkan, di semester pertama sekolah, kami yang rata-rata belum matang dengan rencana penelitian disertasi kami, harus dipaksa untuk membuat proposal penelitian yang sudah matang dan siap untuk diaplikasikan di medan penelitian.  Tentu saja ini merupakan tantangan tersendiri bagi kami. Saking beratnya matakuliah ini, membuat kami justru kompak dan merasa senasib, sehingga setelah berakhirnya presentasi maraton selama beberapa hari, kami pun mengadakan acara kumpul-kumpul dan makan-makan di Rowo Jombor, Klaten. Tentu saja foto-fotoan menjadi agenda wajib bagi kami. Keriangan dan keceriaan tergambar di wajah kami saat itu, tidak beda jauh dengan keriangan remaja-remaja SMA yang merayakan kelulusannya. Selain itu juga ada acara penutupan di restoran Gita Buana dengan mengundang Prof Sutikno dan Prof Hadi Sabari. Acara diisi dengan makan bersama, ramah-tamah, karaokean dan foto bersama.
       Dan perlu diingat, di antara matakuliah yang diselenggarakan di program S3 Fakultas Geografi UGM ini, Metodologi Penelitian adalah matakuliah yang paling susah nilainya. Nilai A, B, dan C menyebar, tidak seperti matakuliah lain yang royal memberikan nilai A kepada mahasiswanya. Syukurlah, saya termasuk segelintir orang yang mendapatkan nilai A untuk matakuliah ini.

3. Dolan-dolan membuang stres
        Di tahun ke dua, kami mulai disibukkan dengan urusan penelitian kami masing-masing. Ada yang sibuk mempersiapkan ujian komprehensif alias ujian proposal, ada yang sudah mulai penelitian di lapangan, meskipun juga ada teman yang masih bingung dengan arah penelitiannya, dan bahkan ada juga teman yang justru sibuk dengan urusan non akademis. Meskipun demikian, kebiasaan kami yang sudah dirintis sejak semester pertama kebersamaan kami di program S3 ini, yaitu kumpul-kumpul dan dolan-dolan, tetap dilestarikan.
        Sebenarnya dari 25 orang mahasiswa S3 Angkatan 2008, tidak semua yang suka atau selalu bisa ikut kegiatan ini. Saya termasuk yang aktif terlibat di setiap acara kumpul-kumpul dan dolan-dolan. Hanya satu dua kali saja yang saya terpaksa tidak bisa bergabung karena suatu alasan. Hebatnya, Bu Dwita sang ketua kelas kami ini, punya kharisma yang sangat kuat untuk memimpin kami semua. Kelembutan dan keanggunannya yang menjadi trade mark-nya, menjadi gaya kepemimpinannya.
     Banyak tempat yang telah kami kunjungi untuk sekedar refreshing, baik sekedar kumpul-kumpul dan makan-makan di beberapa restoran atau warung makan di Yogyakarta dan sekitarnya, maupun ke tempat-tempat rekreasi dengan jarak yang cukup jauh.
Tempat rekreasi yang pernah kami kunjungi bersama-sama adalah Kaliurang, Rowo Jombor, Lawang Sewu di Semarang, Bandungan dan Candi Gedong Sanga, Candi Ceto di Lereng Gunung Lawu, dan Waduk Gajah Mungkur di Wonogiri.  Untuk mendanai itu semua, kami sepakat iuran, dan saya lah yang bertugas sebagai bendahara dan mengatur pengeluarannya. Meskipun begitu, ada seorang teman yang seringkali menjadi “donatur utama” bagi kami (baca: ngebosi). Dialah Pak Rahmat, yang pemurah dan baik hati. Urusan kendaraan atau transportasi dan makan, seringkali dia yang nraktir.  Bahkan, gara-gara dialah kami bisa merasakan naik mobil mercy dan pajero, dua mobil mewah miliknya yang biasa dipakainya ke kampus.


  3. Silaturahim sambil dolan-dolan
       Ada agenda rutin yang sempat kami jalankan, yaitu berkunjung ke rumah teman yang sedang punya hajat, dan tentu saja sekalian mampir ke tempat-tempat tertentu untuk refreshing atau dolan-dolan. Yang pernah kami lakukan adalah saat Bu Sri Ngabekti yang biasa kami sapa Bunga mau berangkat haji, maka kami pun berkunjung ke rumah dia di Semarang, juga sekalian berkunjung ke rumah dua teman lainnya yang sama-sama tinggal di Semarang, yakni Bu Forita dan Pak Yanto. Dan, tentu saja kami tak lupa mampir dolan ke Lawang Sewu dan pusat oleh-oleh khas Semarang di Pandanaran.
    Ada lagi, kami pernah mengadakan kumpul-kumpul di rumah Pak Rahmat di Solo. Pak Rahmat dan istri menjamu kami di rumahnya yang besar dan asri.  Kami semua sekedar kumpul, ngobrol-ngobrol, makan-makan dan nyanyi-nyanyi diiringi organ tunggal yang sengaja disewa oleh Pak Rahmat beserta pemainnya. Tak lupa kami mampir ke pusat batik Laweyan untuk belanja.  Lagi-lagi Pak Rahmat dan istri berbaik hati menanggung transport kami, sampai kami diantarkan kembali ke stasiun untuk naik kereta Pramex kembali ke Yogyakarta.
        Kalau ada acara main ke Solo dan sekitarnya, Pak Rahmat lah yang selalu menanggung transport lokal dan makan teman-teman semua. Saya dan teman-teman hanya menanggung transport dari Yogya ke Solo saja. Dan, kami selalu naik kereta Pramex rame-rame.  Saya hitung, ada tiga kali ke Solo, yaitu saat kumpul-kumpul di rumah Pak Rahmat, saat dolan ke Waduk Wonogiri, dan saat ke Candi Ceto di lereng Gunung Lawu.
      Ada juga acara silaturahim ke rumah teman yang diakhiri dengan mampir makan-makan di salah satu rumah makan, biasanya yang dekat-dekat saja. Seperti saat dari takziah ke kediaman Pak Bambang Sulis, kami mampir makan di Rumah Makan Pecel Solo di Jalan Monumen Yogya Kembali. Kali ini yang nraktir Pak Saparis sebagai ekspresi rasa syukur telah lulus sekolah dan mendapat jatah penempatan dari instansinya di Jakarta. 
       Pernah juga kami mampir makan sate klathak di Jalan Imogori, kali ini BSS alias bayar sendiri-sendiri. Tetapi, seringkali yang jadi juru traktir di setiap acara makan-makan di restoran adalah Pak Rahmat. Bahkan saat kami makan besar di Rumah Makan Padang “Sederhana” di Jalan Kaliurang pun, Pak Rahmat yang mbayari. Sampai ada joke dari Pak Saparis bahwa “Selama ada Pak Rahmat, jangan bayar makanan sendiri, nanti ndak Pak Rahmat tersinggung”....Hahaha...ada-ada saja (Semoga Tuhan membalas kebaikan hati Pak Rahmat). Saya sendiri, hanya sekali menanggung makan-makan saat di RM Pondok Cabe Jalan Cik Di Tiro, itu pun ditanggung bersama dengan Bu Dwita, sebagai acara syukuran dari kami berdua yang akan berangkat program Sandwich DIKTI, saya ke Inggris dan bu Dwita ke Austria .

4.  Ujian terbuka kakak kelas sebagai ajang       kumpul-kumpul dan makan-makan gratis
        Ujian terbuka kakak kelas sebenarnya menjadi ajang kami untuk belajar dan mempersiapkan mental karena pada saatnya nanti kami pun harus menjalani ritual ini (baca: bagi yang memilih jalur ujian terbuka, bukan wisuda. Tetapi, biasanya para promotor lebih suka bimbingannya menempuh jalur ujian terbuka daripada wisuda). Tetapi, bukan kami kalau tidak bisa memanfaatkan momen ujian kakak kelas ini untuk ajang ngumpul dan berbagi cerita sambil makan-makan gratis. Sungguh ajang yang menyenangkan bagi kami, sampai lama-lama akhirnya kami bosan sendiri seiring dengan kesibukan kami yang semakin meningkat di semester-semester akhir masa studi kami.  Hingga akirnya, kami hanya akan datang ke ujian terbuka kakak kelas jika judul penelitiannya related dengan penelitian kami.

       Satu lagi momen yang sangat berkesan bagi kami, yaitu saat kami semua diundang di acara pengukuhan guru besar Prof Hartono, Direktur Sekolah Pasca Sarjana UGM. Hal ini sangat berkesan, karena kami bisa ngumpul  kembali setelah sekian lama tidak bisa ngumpul bareng karena telah disibukkan dengan urusan mengejar target kelulusan masing-masing. Saya sendiri waktu itu sedang menunggu hari-H ujian tertutup, dan sudah ada 3 teman seangkatan yang telah lulus alias berpredikat doktor, tetapi mereka bertiga bukan satu program studi dengan saya. Seperti biasa kami rame-rame menikmati acara ini, terutama karena ada acara makan-makan gratisnya...hehe. Setelah acara syukuran selesai, kami masih sempatkan diri untuk berkumpul dan  ngobrol-ngobrol melepas kangen di bawah pohon rindang di sebelah utara gedung pusat UGM.

5. Kekompakan dengan teman-teman satu promotor
    Menjalin komunikasi dan kebersamaan dengan teman-teman yang mempunyai promotor atau co-promotor yang sama dengan saya, ternyata sangat bermanfaat. Yang jelas, selain bisa berbagi banyak hal akademis, saya juga bertambah teman dan persaudaraan. Program studi Ilmu Lingkungan yang saya tempuh dan riset disertasi yang saya lakukan, mengharuskan saya mendapatkan tim promotor lintas fakultas, yaitu dari Fakultas Pertanian, Geografi dan Biologi. Saya pun akhirnya mempunyai banyak teman dari Fakultas Pertanian. Apalagi Prof Edhi Martono, promotor saya, pernah secara khusus mengundang kami semua para bimbingannya yang berasal dari beragam fakultas untuk ngumpul di rumah beliau. Ini menjadi ajang bagi kami untuk saling mengenal dan bertukar informasi, juga saling support.

 6. Cerita lucu dan gosip penyedap rasa
        Ternyata masa sekolah S3 tidak jauh berbeda dengan masa SMA maupun masa S1 dulu, selalu saja ada gosip tentang kisah cinta dua anak manusia. Kali ini gosip beredar karena kedekatan hubungan mereka berdua yang sering pergi berduaan dan tampak mesra. Tentu saja kami tak bisa memastikan ada cinta di antara mereka berdua. Karena, kalau memang benar ada, maka pastilah cinta itu cinta terlarang karena mereka berdua telah sama-sama berkeluarga. Yang kemudian terjadi adalah ada seorang dari kami yang bertugas menyampaikan pesan dari teman-teman semua agar mereka berdua hati-hati bersikap dengan adanya gosip yang beredar. Dan apa jawabannya? Katanya mereka berdua hanya menganggap kedekatan mereka sebagai hubungan kakak adik saja. Kami teman-temannya berusaha percaya saja, meskipun di belakang mereka berdua kami sering menggosipkannya dan menjadikan hal itu sebagai guyonan. Tetapi syukurlah, seiring berjalannya waktu hubungan mereka berdua semakin renggang, apalagi setelah si cowok lebih banyak berada di tempat asalnya.
        Selain gosip di atas, banyak cerita yang seringkali menjadi bahan guyonan saat kami kumpul-kumpul, seperti nggodain teman yang dikatakan naksir seseorang (jelas naksirnya terlarang karena masing-masing telah berkeluarga), ngrumpiin seorang teman yang terkenal pelit, seorang kakak kelas yang gara-gara sekolah S3 menikah lagi dengan teman sesama mahasiswa S3 UGM tetapi beda fakultas kemudian bercerai dengan istrinya yang dulu, ataupun ngrumpiin seorang kakak kelas yang terkenal dengan sebutan Mpok Atik. Semuanya itu menjadi bumbu penyedap di saat kami ngumpul bareng.

7. Saling support

   Dan, inilah hal yang terpenting, kami saling support. Jika ada teman yang mempunyai kesulitan dalam disertasinya, teman yang lain membantu. Dalam hal pembuatan peta, Pak Saparis selalu siap membantu.  Saya pun banyak terbantu dengan tradisi ini. Jika ada teman yang nggak pernah nongol di kampus dan mempunyai hambatan, kami berdiskusi untuk dapat membantunya.  Dan, saat mulai ada teman yang maju ujian tertutup maupun ujian terbuka, kami siap menjadi supporter.  Seperti biasanya, makan-makan menjadi acara penting untuk beramah tamah selepas acara, juga berfoto bersama. Saya sendiri adalah orang ke-4 yang lulus doktor untuk Angkatan 2008 di Fakultas Geografi, dan nomor satu untuk Program Studi Ilmu Lingkungan. Ternyata, tidak selamanya sekolah S3 di UGM membutuhkan waktu lebih dari 5 tahun, karena saya dan banyak teman yang lain bisa menyelesaikannya dalam waktu tidak lebih dari 4 tahun. Bahkan, ada seorang kakak kelas yang bisa selesai dalam waktu kurang dari 3 tahun (meski cukup banyak juga yang lebih dari 5 tahun). Ternyata, yang terpenting adalah tetap berdoa dan berusaha keras, pantang putus asa.

Itulah sekelumit cerita ceria di masa sekolah S3 di UGM yang menurut banyak orang begitu menakutkan dan menjadi momok, karena banyaknya kisah duka dari teman-teman pendahulu tentang pengalamannya studi S3 di kampus ini.  Saya yang menempuh sebagian disertasi saya di University of Bristol, Inggris, memang mengamini kesan teman-teman pendahulu bahwa studi S3 di dalam negeri lebih berat daripada di luar negeri (baca: terlepas dari beratnya berpisah dengan keluarga di tanah air). Tetapi, saya sengaja menampilkan kisah ceria di sini, untuk menyampaikan pesan kepada teman-teman lain yang ingin  mengambil program S3 dalam negeri agar tidak takut, dan bisa mengambil hikmah bahwa di mana pun kita sekolah, kita bisa merasakan kebahagiaan dengan versi kita sendiri. Cobaan dan ujian hidup selama sekolah pastinya ada, dan setiap orang mempunyai ujian hidupnya masing-masing. Jangan pernah berpikir bahwa ujian hidup kita lebih berat dari orang lain, karena Tuhan Mahatahu kemampuan setiap hamba-Nya dalam menanggung beban cobaan-Nya.  Salam sukses.
Yogyakarta, 9 Agustus 2012
Titien