Minggu, 27 Mei 2012

INSIDEN PENGGEREBEGAN DI TENGAH MALAM YANG MENGHEBOHKAN: SEBUAH PERENUNGAN


Kali ini saya akan bercerita tentang kejadian menghebohkan di rumah kami (baca: rumah kos putri kami) di tengah malam buta. Sebelum saya mulai cerita, dan untuk memancing rasa penasaran Anda, ada baiknya saya mulai dengan menceritakan tiga tokoh utama dalam cerita saya ini.
Tokoh pertama adalah anak kos saya, sebut saja namanya Bunga (saya gunakan saja nama samaran yang pasaran). Perempuan cantik, tinggi semampai, yang berumur34 tahun ini dalam fotokopi KTP yang diberikan kepada suami saya (selaku pemilik dan pengelola kos-kosan) sekitar 3 tahun lalu, di hari pertama dia menjadi penghuni kos kami, adalah menikah. Dia pun mengaku telah memiliki 3 anak. Untuk sekian lama saya belum bisa percaya jika dia telah menikah dan memiliki 3 anak, melihat penampilannya yang masih begitu muda dan tubuh yang masih sangat langsing seperti gadis remaja (baru setelah kejadian malam heboh itu saya bisa percaya 100%).  Ditambah lagi selama kos di tempat kami, tidak pernah sekalipun anak-anak atau suaminya yang dia ceritakan tinggal di Purwokerto itu, terlihat mengunjunginya di Yogya. Di Yogyakarta ini, Bunga bekerja di sebuah perusahaan jamu.
Tokoh ke-2 adalah Dodi (nama samaran juga), suami Bunga. Tokoh ini sebenarnya baru muncul saat insiden penggerebegan di tengah malam buta itu. Dia adalah mantan anggota DPRD di daerah tempat tinggalnya, di daerah ngapak-ngapak Jawa Tengah (saya tidak tahu persis tepatnya di daerah mana, apakah Kebumen ataukan Purwokerto, lagian saya juga tidak begitu peduli, sich...).
Nach, tokoh yang ke-3 adalah seorang perwira menengah berpangkat Kompol (Komisaris Polisi), sebut saja namanya Pak Gik (juga nama samaran). Lelaki berumur 52 tahun ini statusnya adalah duda cerai dengan 2 anak yang sudah menginjak remaja dan dewasa. Dia pernah menjadi Kapolsek di wilayah Yogyakarta, dan sekarang menjadi reserse di POLDA DIY.
Di luar ketiga tokoh utama di atas, tentunya ada banyak tokoh pembantu alias tokoh-tokoh pendamping, seperti Pak RT, suami saya sebagai pemilik dan pengelola kos, saya sendiri sebagai ibu kos, bapak-bapak keamanan di kampung saya, dan beberapa bapak lagi yang di malam kejadian itu ikut menghadiri dan  meramaikan suasana. Juga ada beberapa bapak anggota kesatuan POLDA DIY yang akan muncul kemudian.
Tentunya Anda sudah mulai penasaran bukan, bagaimana cerita selanjutnya? Ceritanya diawali sekitar 1,5 bulan yang lalu, saat di suatu hari Bunga mengenalkan Pak Gik kepada suami saya.  Demi memperkenalkan Pak Gik itu, Bunga “rela” mengisahkan cerita “pilu” biduk rumah tangganya dengan Dodi, kepada suami saya.  Dia katakan bahwa hubungannya dengan Dodi telah berakhir alias cerai, dan saat ini dia telah menikah siri dengan Pak Gik. Bunga dan Pak Gik mengaku “terpaksa” menikah siri, belum bisa menikah secara hukum negara alias tercatat di KUA, karena masih ada masalah yang mengganjal.  Masalah itu adalah bahwa Dodi belum bisa melepas Bunga, sehingga dengan kekuasaannya sebagai mantan anggota DPRD, Dodi bisa menahan perpanjangan KTP Bunga sehingga Bunga tidak bisa mengurus surat-surat untuk pernikahannya dengan Pak Gik.  Bunga juga bercerita bahwa Dodi adalah suami yang tidak bertanggung jawab sehingga Bunga sampai kabur dari rumah meninggalkan ketiga anaknya.  Dodi juga tidak pernah mengijinkan Bunga untuk bertemu dengan anak-anaknya selama kepergian Bunga dari rumah. Cerita ini tentu saja adalah versi Bunga (nanti akan lain lagi ceritanya saat tokoh Dodi yang bercerita). Bunga meminta ijin pada suami saya agar Pak Gik diijinkan untuk sesekali mengunjunginya di kos, sampai urusan surat-surat untuk pernikahan mereka beres sehingga mereka bisa menikah secara KUA, dan kemudian barulah Bunga akan pindah kos untuk tinggal bersama Pak Gik. Mengapa Bunga tidak langsung pindah saja dari kos-kosan dan tinggal dengan Pak Gik? Alasannya adalah karena Bunga tidak mau tinggal di asrama.  Ya, Pak Gik memang tinggal di asrama polisi, bukan di rumah pribadi. Bagaimana dengan suami saya, apakah suami saya langsung percaya dan mengijinkan pasangan siri itu tinggal di kos-kosan kami? 
Suami saya adalah orang yang sangat baik dengan jiwa sosial dan tepa selira yang sangat tinggi. Maka, suami saya pun mengijinkan Pak Gik untuk sesekali mengunjungi Bunga di kos-kosan. Apalagi melihat Pak Gik yang tampak kebapakan dan terlihat sebagai orang baik-baik.  Toh, secara agama nikah siri itu sudah syah. Bagaimana dengan saya? 
Saat suami saya menceritakan tentang kasus Bunga pada saya dan melaporkan bahwa Pak Gik akan sesekali mengunjungi Bunga di kos-kosan, saya yang memang terbiasa berpikir liar, dan suka berandai-andai, langsung mencium aroma ketidakberesan pada Bunga.  Saya langsung negative thinking, berbeda banget dengan suami saya yang selalu positive thinking dan selalu berprasangka baik pada semua orang (mungkin inilah yang namanya jodoh, sehingga kami saling melengkapi dan menjadi penyeimbang satu sama lain).  Saya mengatakan pada suami saya agar bertindak hati-hati dalam kasus ini, dan mengusulkan agar Bunga segera pindah dari kos-kosan kami, karena saya takut akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang akan merugikan kami di kemudian hari.  Seperti biasa, jika kami berbeda pendapat, maka akan ada sedikit ketegangan di antara kami. Akhirnya, masalah ini pun mengambang untuk beberapa waktu tanpa ada solusi atau jalan keluar yang pasti untuk menengahi perbedaan pendapat di antara kami tersebut.
Hingga di suatu pagi, saya mendengar ada suara laki-laki dari kamar Bunga yang tertutup rapat dengan suasana gelap karena lampu kamar dimatikan, dan saya lihat juga ada sepatu laki-laki di depan pintu kamarnya.  Saya langsung menebak bahwa suara laki-laki itu tentunya adalah suara Pak Gik.  Itu artinya, semalam Pak Gik menginap di kamar Bunga.  Saya sungguh merasa tidak nyaman melihat situasi seperti ini.  Selama ini saya dan suami saya bertindak tegas dalam aturan bahwa tamu laki-laki dilarang masuk kamar, kecuali saudaranya, dan itupun harus ijin pada saya atau suami saya.  Selama ini, sudah beberapa kali suami saya mengeluarkan anak kos yang suka melanggar aturan main ini, karena kami tidak mau rumah kami menjadi tempat perzinahan.  
Emosi saya betul-betul memuncak saat tahu bahwa Pak Gik menginap di kamar Bunga, karena sejak awal saya tahunya bahwa ijin yang diberikan pada Pak Gik adalah Pak Gik bisa mengunjungi Bunga di kamarnya, tetapi tidak untuk menginap. Saya betul-betul risih ada laki-laki asing di rumah kami, meskipun itu bukan di rumah induk melainkan di rumah kos.  Saya juga merasa kasihan pada anak-anak kos yang lain kalau harus menyaksikan hal-hal pribadi suami istri seperti itu. Ingin sekali rasanya saya langsung menyuruh Pak Gik keluar dan pergi dari kos-kosan ini.  Tapi kemudian saya berpikir, selama ini kan pengelolaan kos adalah hak dan tanggung jawab suami saya? Saya tidak boleh mengambil langkah sendiri. Lagi pula, secara hukum agama, tidak ada yang salah jika Pak Gik dan Bunga berkumpul dalam satu kamar. 
Untuk beberapa saat emosi saya pun mengendap, dan mencoba berdamai dengan keadaan. Saya pun kemudian menemui suami saya dan menyatakan perasaan saya bahwa saya risih melihat situasi seperti ini.  Saya juga mengusulkan pada suami saya agar segera melaporkan situasi ini kepada Pak RT, sehingga kalau sampai ada apa-apa, Pak RT bisa ikut bertanggung jawab atau membantu kami menghadapi situasi tersebut. Saya pun berharap Pak RT bisa ikut menginterogasi Pak Gik, sehingga bisa meyakinkan saya bahwa cerita pernikahan sirinya dengan Bunga adalah benar, bukan kebohongan belaka.  Ini adalah masalah tanggung jawab moral, terutama tanggung jawab kepada Tuhan.  Dalam hati saya menyesalkan mengapa banyak orang memilih nikah siri, karena ketiadaan bukti tertulis  maka pernikahan siri lebih banyak menimbulkan mudzarat daripada manfaat.  Saya amati juga lebih banyak orang menikah siri hanya untuk melegalkan “perzinahan” secara agama, bukan bertujuan demi membangun keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah. Dan inilah yang saya lihat pada kasus pernikahan Bunga dan Pak Gik.
Saya tunggu sampai dua hari, tidak ada reaksi dari suami saya atas usulan saya agar melaporkan kasus Bunga pada Pak RT.  Saya hafal style suami saya yang tidak suka melibatkan banyak orang dan selalu bertindak secara pelan dan teramat banyak pertimbangan, berbeda dengan saya yang ingin semua masalah cepat selesai agar tidak menggantung. Akhirnya saya putuskan untuk datang sendiri ke rumah Pak RT.  Karena saat saya datang Pak RT sedang tidak di rumah, maka saya pun melaporkannya pada Bu RT, dan mohon agar kemudian dilaporkan kepada Pak RT, suaminya. Untuk urusan selanjutnya, semuanya saya serahkan pada suami saya dan Pak RT.
Singkat cerita, karena laporan saya pada Pak RT itu, maka di suatu pagi saat Pak Gik menginap lagi di kamar Bunga, suami saya dan Pak RT mengetuk pintu kamar Bunga dan meminta Pak Gik keluar. Pak RT didampingi suami saya pun kembali menginterogasi Pak Gik dan Bunga, tentu saja proses berjalan baik-baik penuh kekeluargaan dan tanpa emosi. Dari hasil interogasi ini pun hasilnya sama seperti yang telah saya ceritakan di muka, bahwa Pak Gik dan Bunga telah resmi menikah siri dan adik laki-laki Bunga telah bertindak sebagai saksi. Pak Gik juga bersumpah bahwa dia adalah seorang muslim baik-baik, yang tidak akan berani berbuat zina, apalagi dia juga aktivis pengajian dan juga seorang ustadz yang suka ceramah di masjid. Setelah yakin bahwa Pak Gik dan Bunga telah menikah siri, maka Pak RT menyerahkan masalah ini kepada suami saya, karena ini adalah hak suami saya sebagai pemilik kos-kosan, apakah mau mengeluarkan Bunga ataukah tetap menerima Bunga untuk tinggal di kos kami. Bunga pun telah memohon pada suami saya untuk tetap bisa tinggal di kos kami dengan alasan terlalu merepotkan jika harus segera pindah karena dia baru saja menjalani operasi kandungan. Selain itu, juga karena Bunga masih menunggu sampai urusan KTPnya beres.  Dengan alasan kemanusiaan, maka suami saya tetap mengijinkan Bunga tinggal di kos kami, tetapi dengan batas waktu (suami saya tetap menghormati keinginan saya agar Bunga segera pindah dari kos kami, sehingga mengambil jalan tengah ini). Sebelum bulan Ramadhan, Bunga harus pindah dari kos kami.
Apa yang terjadi kemudian? Pak Gik justru semakin sering menginap di kamar Bunga.  Dia justru merasa mendapat angin segar setelah pertemuan dengan Pak RT itu. Saya semakin keki dibuatnya.  Apalagi saya sering mendapati mereka berduaan di kamar dengan pintu tertutup rapat dan tanpa nyala lampu.  Mereka berdua bisa betah seharian berduaan di kamar tanpa keluar, dan hanya keluar untuk mencari makan. Setiap kamar kos memang didesain mempunyai private bathroom, sehingga memungkinkan mereka untuk tidak keluar kamar seharian. Hanya suara mereka saja yang sering terdengar dari luar kamar.  Saya jadi teringat akan kisah saya di Bristol, Inggris, saat saya harus tinggal seflat dengan pasangan kekasih yang hidup bersama, selama 4 bulan.  Bisa Anda bayangkan, bagaimana saya yang hidup sendiri di negeri orang tanpa keluarga, harus tinggal serumah dengan pasangan kumpul kebo
Pengalaman saya setahun yang lalu itu masih menyisakan trauma sampai sekarang, meski terkadang menggelikan juga. Waktu itu saya sering mendengar suara-suara “aneh” dari dalam kamar pasangan kumpul kebo itu, yang membuat telinga saya betul-betul risih.  Belum lagi harus melihat banyak adegan yang tidak pantas untuk dilihat.  Meskipun suara-suara yang saya dengar dari kamar Bunga adalah bukan suara-suara “aneh” seperti yang saya dengar saat saya tinggal di Bristol dulu, tetapi tetap saja itu membuat saya risih karena ada pasangan asing yang tinggal di rumah saya sendiri (kalau di Bristol sih saya bisa maklum karena itu adalah negara Barat, tetapi masak di rumah sendiri saya masih harus mengalami hal demikian? nggak lah yauw...).  Yang lebih risih lagi adalah melihat penampilan (baca: cara berpakaian) Bunga jika Pak Gik sedang menginap di kamarnya.  Saya sampai hafal, karena setiap pagi saat Pak Gik ada di kamarnya, Bunga akan ke dapur (mungkin untuk membereskan bekas makan atau apa, saya tidak tahu persis) dengan pakaian begitu seksi dan minim, semacam lingerie, yang hanya pantas dilihat oleh suaminya (tentunya Anda bisa menduga kan Bunga habis ngapain dengan Pak Gik?). Suami saya pun pernah sekali melihat Bunga berpakaian seperti itu, tetapi begitu tahu ada suami saya di luar kamarnya, dia langsung buru-baru masuk kamar (untungnya Bunga masih punya rasa malu pada suami saya sehingga suami saya pun segera terhindar dari zina mata....).
Cukup lama juga saya ngampet dengan kondisi seperti itu, hingga terjadilah insiden menghebohkan di malam minggu seminggu yang lalu itu. Malam itu seperti biasa Pak Gik menginap di kamar Bunga.  Hari telah sangat larut.  Saya pun sudah tidur pulas, demikian juga dengan suami dan anak saya yang kecil.  Anak saya yang besar dan adik saya yang kebetulan sedang menginap di rumah kami, masih asyik nonton pertandingan bola. Dan, tiba-tiba pintu rumah kami diketuk orang dengan keras.  Anak saya segera membangunkan suami saya. Apa yang terjadi?
Ternyata serombongan orang datang menggeruduk rumah kami dan minta untuk bertemu Bunga. Di rombongan itu terlihat Dodi dengan wajah penuh emosi sambil mulutnya mengucapkan kata-kata kasar. Ada bapak-bapak keamanan kampung, dan beberapa teman Dodi. Mereka juga membangunkan Pak RT yang kebetulan rumahnya dekat dengan rumah kami.  Singkat cerita, rombongan itu pun menggerebeg kamar Bunga.  Dodi marah-marah pada Bunga dan menjelek-jelekkan Bunga di depan orang-orang.  Dari penggerebegan ini diketahui bahwa perceraian Dodi dengan Bunga belum resmi atau belum syah secara hukum.  Tetapi Bunga berpendapat bahwa selama 4 tahun dia sudah tidak mendapatkan nafkah lahir batin dari Dodi, sehingga secara otomatis dia sudah bisa bercerai dari Dodi. Sedangan Dodi tidak pernah merasa menceraikan Bunga.  Dodi mengatakan bahwa dia selama ini tidak bisa memberi nafkah lahir kepada Bunga karena setelah tidak menjabat menjadi anggota DPRD, dia tidak mempunyai pekerjaan.  Dodi juga terlibat hutang yang harus segera dia luanasi, 300 juta.  Untuk itu selama ini dia mencari-cari keberadaan Bunga untuk meminta tanda tangan Bunga agar bisa menjual rumah yang merupakan harta gono-gini untuk melunasi hutang tersebut.  Selain itu, menurut versi Dodi, selama ini anak-anak mereka terus menanyakan Bunga, sampai-sampai Dodi dan keluarganya telah mencari Bunga ke mana-mana, dan baru bisa menemukannya sekarang (cerita tentang bagaimana Dodi bisa menemukan keberadaan Bunga, tidak perlu saya ceritakan di sini karena terlalu panjang, takutnya akan membosankan Anda).
Melihat istrinya berduaan dengan laki-laki lain, maka Dodi minta urusan ini dibawa ke polisi.  Maka, jadilah di tengah malam buta itu, Pak RT, suami saya, Bunga dan Pak Gik beserta rombongan penggerebek, rame-rame ke kantor polsek terdekat. Intinya adalah Dodi melaporkan perzinahan istrinya dengan Pak Gik.  Masalah menjadi besar begitu pihak kepolisian tahu bahwa kasus ini melibatkan anggota kepolisian, apalagi seorang perwira.  Dodi pun ternyata bukan seorang gentleman, dia menggiring kasus seakan-akan warga kampung kamilah yang melaporkan kasus perzinahan itu, bukan dirinya.
Apa yang terjadi kemudian? Apa yang saya khawatirkan ternyata terjadi. Paginya, di koran “Bernas” menucul berita dengan judul “Seorang perwira polisi tertangkap basah berduaan di kamar kos dengan istri orang”. Waduh....nama suami saya juga ikut disebut dalam berita yang telah didramatisasi itu.  Untungnya, alamat rumah kami tidak disebutkan secara jelas.  Sungguh-sungguh berita yang membuat kami dan warga kampung kami menjadi malu.  Untungnya, berita itu tidak diekspose secara besar-besaran, hanya merupakan berita kecil di surat kabar itu. 
Setelah kejadian malam itu, selama beberapa hari kemudian ada sekitar 3-6 orang polisi berpakaian preman “bergentayangan” di kampung saya, terutama di sekitar rumah kami.  Tentu saja mereka melakukan investigasi, dan sebagai saksi kunci adalah Pak RT, suami saya sebagai pemilik kos, dan Bunga sebagai pasangan “zina” Pak Gik. Lebih dari satu jam suami saya diwawancarai oleh polisi-polisi berpakaian preman itu, yang pada intinya adalah mereka mencari bukti-bukti bahwa Pak Gik sebagai seorang perwira telah melakukan pelanggaran dan pencemaran nama baik kepolisian karena telah “berzina” dengan iztri orang. Jika terbukti bersalah, tentunya akan ada sanksi disiplin bagi Pak Gik.
Semenjak kejadian malam penggerebegan itu, Pak Gik tidak pernah muncul lagi di kos rumah kami.  Bunga pun susah untuk ditemui, dia lebih sering berada di luar kos, entah di mana. Untungnya suami saya sempat bertemu Bunga sebelum dia menghilang, dan mengatakan padanya bahwa dia harus pindah dari kos-kosan kami paling lambat akhir bulan ini, demi kenyamanan dan kebaikan kampung kami.  Dan, mau nggak mau Bunga harus setuju. 
Tentunya cerita tentang kasus Bunga ini masih panjang, karena sampai hari ini pun suami saya dan Pak RT masih direpotkan dengan urusan ini.  Yang sangat saya syukuri adalah saya sudah sempat melaporkan tentang kasus pernikahan Bunga dan Pak Gik kepada Pak RT jauh hari sebelum penggerebegan itu terjadi, sehingga Pak RT sebagai pimpinan kampung dapat ikut membela posisi suami saya. Saya ngeri membayangkan seandainya kasus penggerebegan itu terjadi sebelum Pak RT tahu tentang kisah pernikahan Bunga dan Pak Gik, pastinya nama baik suami saya akan hancur karena dianggap telah membiarkan perzinahan terjadi di rumah kami.  Syukurlah, karena Pak RT telah tahu kisah yang sesungguhnya, maka cap negatif pun tidak dilekatkan oleh warga kampung pada kami sekeluarga dan rumah kos kami.  Allah telah menyelamatkan kami melalui feeling saya untuk segara melapor ke Pak RT waktu itu.
Dari kasus Bunga kita dapat mengambil hikmah. Terlepas dari siapa yang salah, apakah Bunga ataukah Dodi, biarlah itu menjadi urusan pribadi rumah tangga mereka bedua, ada hal penting yang dapat kita renungkan.  Saya ingin mengajak Anda merenung, terutama bagi Anda yang masih tidak peduli atas upaya negara (baca: pemerintah) dalam mengatur dan melindungi warganya, yaitu dengan cara mengatur bahwa semua perkawinan harus tercatat di KUA, demikian juga dengan perceraian. Masih perlukah kita memberi peluang pada pernikahan siri jika hanya menimbulkan mudzarat? Salahkan negara yang ingin melindungi warganya dengan membuat aturan bahwa pernikahan yang syah adalah pernikahan yang syah secara agama maupun secara hukum negara dengan mencatatkannya di KUA (baca: bagi muslim)? Kalau kita tidak punya masalah atau melanggar aturan dan norma,  mengapa kita mesti takut mengumumkan pernikahan kita (yang merupakan berita bahagia) dan mencatatkannya di KUA? Bukankah pernikahan ditujukan untuk membina keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah serta diridhoi Tuhan, bukan hanya untuk melegalkan “perzinahan” (baca:hubungan suami istri) semata?.

Rabu, 23 Mei 2012

MENIKMATI EKSOTISME LERENG GUNUNG LAWU DI TELAGA SARANGAN DAN GROJOGAN SEWU TAWANGMANGU


Begitu tahu kalau ada tanggal merah dari Hari Kamis sampai Minggu (tanggal 17-20 Mei 2012) alias long week end, dan Alhamdulillah pas ada rizki lebih di bulan ini, maka sebagai manajer keuangan keluarga, saya segera merancang sebuah acara liburan keluarga. Kali ini target saya adalah dua tempat yang dapat dijangkau dalam satu travelling sekaligus, yaitu Telaga Sarangan yang termasuk dalam Kabupaten Magetan, Jawa Timur, dan Grojogan Sewu Tawangmangu, yang termasuk dalam Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.  Kedua destinasi wisata tersebut sama-sama terletak di lereng Gunung Lawu, hanya pada sisi lereng yang berbeda.
Pada awalnya saya merancang acara liburan dengan menginap semalam di Sarangan kemudian hari ke dua baru beranjak ke Tawangmangu dan langsung pulang ke Yogayakarta.  Tetapi pada rapat mendadak keluarga barulah saya tahu bahwa Satria, anak saya yang TK ternyata hanya libur pada hari Kamis. Fajar, adik bungsu saya yang duduk di bangku SMA yang selama ini selalu saya ajak dalam setiap liburan keluarga saya, ternyata juga hanya libur di hari Kamis.  Hanya Raka, anak saya yang tengah menunggu pengumuman hasil ujian SD, yang bebas dari urusan sekolah. Ternyata, libur cuti bersama nasional tidak berlaku bagi anak-anak sekolah. Akhirnya, dari hasil musyawarah keluarga, kegiatan liburan long week end kali ini dilakukan pada Hari Minggu tanpa menginap.  Untuk itu kami harus pintar-pintar mengatur waktu agar dalam satu hari bisa mendapat dua destinasi sekaligus.
Hari Minggu pagi sekitar pukul 7.15 wib kami berangkat dengan mobil sewaan yang disetir oleh suami saya sendiri. Tujuan pertama kami adalah Telaga Sarangan. Suami saya memutuskan mengambil jalan pintas agar lebih cepat sampai ke Magetan, yaitu dengan melalui jalur pegunungan dari Gondang, Panekan sampai Magetan kemudian naik ke arah Sarangan. Suami saya mengemudikan mobil dengan santai sambil menikmati pemandangan di sepanjang perjalanan, selain juga harus berhati-hati karena jalanan penuh liku dengan tikungan curam dan mendaki atau menurun, serta banyak jalan dalam kondisi rusak atau bergelombang. Berhubung suami saya baru pertama kali melewati jalur ini, maka kami harus beberapa kali bertanya pada warga setempat yang kami lewati setiap kali ragu bahwa kami telah melalui arah jalan yang benar. Begitu perjalanan telah sampai di Kabupaten Magetan dan naik ke arah lokasi Telaga Sarangan, kami disuguhi pemandangan alam khas pegunungan yang indah.  Akhirnya, sekitar pukul 12.30 wib kami sampai di Telaga Sarangan.
Rasa capai selama di perjalanan terobati dengan pemandangan indah Telaga Sarangan, sebuah telaga tektonik yang dikepung oleh pegunungan.  Sungguh-sungguh indah.  Kami sempatkan berkeliling telaga dengan perahu motor.  Harga sewa perahu motor untuk sekali putaran adalah 40 ribu rupiah.  Harga itu telah standar dan tertulis pada papan pengumuman di setiap dermaga perahu. Pemandangan dari atas perahu begitu menakjubkan. Tetapi, yang membuat kami deg-degan adalah tidak tersedianya pelampung di perahu ini.  Itu karena di antara kami berlima hanya suami saya yang bisa berenang.  Di sepanjang perjalanan perahu, dalam hati saya terus merapal doa agar selamat sampai perahu mendarat kembali, apalagi karena Satria sudah merasa ketakutan dengan besarnya ombak telaga. Saya lihat di setiap perahu motor yang disewakan memang tidak ada yang menyediakan pelampung.  Padahal, kedalaman telaga ini sungguh luar biasa.  Waktu saya baca angka 1200 m di tepi telaga yang menunjukkan kedalaman di area sekitar tulisan tersebut, wow...saya terperanjat.  Oleh karena itulah saya merasa lega luar biasa ketika akhirnya perahu mendarat dengan selamat. 
 Hari Minggu ini lokasi wisata tersebut sangat ramai dengan pengunjung. Di sekitar telaga juga banyak penginapan dan warung-warung makan. Hal yang membuat semrawut adalah banyaknya mobil yang berlalu-lalang di jalur pejalan kaki yang mengelilingi telaga. Hal ini karena jalur pejalan kaki ini juga sekaligus sebagai jalur lalu lintas bagi kendaraan-kendaraan tamu yang menginap di tempat-tempat penginapan yang terletak di sekeliling telaga.  Keadaan ini terasa sangat mengganggu kenikmatan para pengunjung yang ingin santai menikmati pemandangan di sekeliling telaga dengan berjalan kaki atau menaiki kuda. Untuk naik kuda, tarifnya adalah 40 ribu untuk sekali putaran. Ketidaknyamanan juga terasa karena di sepanjang tepian telaga tidak disediakan tempat kongkow-kongkow yang nyaman bagi pengunjung untuk menikmati pemandangan telaga, karena tepian telaga dipenuhi oleh pangkalan perahu-perahu yang disewakan.  Tetapi semua ketidaknyamanan yang kami rasakan dapat terobati dengan indahnya pemandangan alam di sekitar telaga.
Kami tidak berlama-lama menikmati Telaga sarangan, karena kami masih punya tujuan lagi, yaitu Tawangmangu. Saya segera membeli oleh-oleh khas daerah ini yang di Yogyakarta sangat jarang ditemukan, yaitu buah kesemek. Setelah dirasa cukup membeli beberapa oleh-oleh yang akan kami bagikan untuk beberapa tetangga terdekat dan kerabat, kami segera mencari warung makan untuk makan siang. Menu sate kelinci yang merupakan menu spesial daerah pegunungan menjadi pilihan saya.  Apalagi pedagang sate kelinci telah memasang daftar harga yang standar, yaitu 10 ribu rupiah untuk satu porsi sate kelinci plus lontong. Menu itu sudah cukup mengenyangkan bagi saya dan anak-anak saya. Khusus untuk suami saya yang maniak rawon, maka menu rawon khas Jawa Timur yang menjadi pilihannya. Harga-harga makanan dan minuman di warung-warung di area wisata ini memang lebih mahal tetapi masih bisa ditoleransi, misalnya harga es jeruk yang biasanya di warung makan yang umum berkisar antara 1500-2500 rupaiah, maka di warung-warung ini menjadi 5000 rupiah per gelas.
Setelah kenyang, maka kami segera mencari mushola untuk sholat jamak dhuhur dan ashar. Cukup lama kami mencari-cari lokasi mushola, ternyata letak mushola memang sedikit tersembunyi, terletak di dekat lokasi parkiran kuda yang berdekatan dengan parkiran mobil. Setalah menjalankan ibadah sholat, kami pun segera bertolak menuju Tawangmangu.  Seperti yang diceritakan oleh beberapa teman saya, ternyata memang ada jalan baru yang menghubungkan antara Sarangan dan Tawangmangu, yang hanya memakan waktu sekitar setengah jam dengan mobil.  Jalannya mulus dan lebar, tetapi tetap harus hati-hati karena jalan berlika-liku penuh tanjakan dan turunan. Di sepanjang jalan ini pun kami bisa menikmati pemandangan alam yang sangat indah.  Telaga Sarangan dapat dinikmati dari atas bukit di tengah perjalanan dari Sarangan ke Tawangmangu.
 Sekitar pukul 14.45 wib kami tiba di lokasi wisata Tawangmangu. Sebelum memasuki area wisata Grojogan Sewu, Raka dan Satria naik kuda berkeliling di sekitar pintu masuk area Grojogan Sewu. Tarif naik kuda sudah distandarkan, yaitu 30 ribu rupiah untuk sekali putaran. Sambil menunggu Raka dan Satria selesai berkeliling baik kuda, saya membeli tiket masuk area wisata Grojogan Sewu yang berharga 5000 rupiah per orang.  Saya lihat untuk wisatawan asing, pengelola wisata ini memasang tarif lebih mahal, kalau tidak salah sekitar 16 ribu rupiah per orang.  Setelah Raka dan Satria selesai berkeliling dengan kuda, kami pun memasuki area wisata Grojogan Sewu.  Untuk mencapai lokasi Grojogan  Sewu diperlukan stamina yang bagus karena harus menuruni bukit yang lumayan melelahkan.  Untungnya pihak pengelola telah membuatkan track sampai ke lokasi grojokan atau air terjun ini. Di area ini pun kita harus hati-hati terhadap kera ekor panjang yang banyak berkeliaran di sini.  Kera-kera yang berhabitat di hutan sekitar air terjun ini senang sekali usil merebut bekal makanan yang dibawa oleh pengunjung.  Tingkah para kera itu pun terkadang menggelikan dan mengundang tawa pengunjung.  Saya sempat memotret seekor kera yang sedang mencona meneguk  minuman botol.  Populasi mereka juga cukup banyak.
 Rasa lelah setelah menuruni banyak anak tangga (tercatat ada 1250 anak tangga dari pintu masuk menuju lokasi air terjun dan kembali lagi dengan jalan berbeda menuju pintu masuk) akan terobati dengan membasuh kaki dan muka dengan segarnya air pegunungan di Grojogan Sewu.  Di sekitar air terjun juga banyak terdapat mata air, juga tersedia beberapa pancuran yang disediakan bagi pengunjung untuk membasuh muka, tangan dan kaki. Sungguh suatu pemandangan yang indah dan mempesona.  Banyak batu-batu besar dengan aneka bentuk yang tersebar secara alami di bawah air terjun. Aliran air terjun kemudian membentuk aliran sungai ke bawah. Di tepian aliran suangai kecil ini banyak pengunjung menggelar tikar, duduk lesehan sambil menikmati makanan. Tetapi, kita harus berhati-hati jika ada hujan deras,  karena air sungai dari air terjun itu dapat tiba-tiba meluap. Pihak pengelola sudah memasang pengumuman agar para pengunjung tidak terlalu dekat dengan air terjun dan harus berhati-hati jika hujan deras datang. 
 Sebenarnya di area wisata ini juga ada kolam renang bagi yang ingin berenang, dengan membayar tiket masuk khusus. Kolam renang ini dilengkapi dengan fasilitas yang cukup menarik untuk anak-anak. Kolam renang khusus dewasa pun juga tersedia. Hanya saja kami tidak siap dengan baju ganti, sehingga keinginan untuk bermain-main di arena kolam renang kami abaikan.  Cukup banyak juga warung makan dengan menu utama sate kelinci di sekitar kolam renang ini.  Harganya pun sama dengan harga sate kelinci di Sarangan tadi, yaitu 10 ribu rupiah per porsi plus lontong. Tapi karena kami sudah kenyang dari Sarangan tadi, maka kami tidak berminat untuk menikmati lesehan sate kelinci tersebut.
Setelah puas menikmati kesegaran percikan air di sekitar air terjun, kami segera kembali ke lokasi pintu masuk wisata.  Kali ini perjalanan sangat melelahkan karena merupakan perjalanan menaiki banyak anak tangga. Saya dan suami harus seringkali berhenti untuk berisitirahat sejenak, tetapi anak-anak saya seakan punya tenaga ekstra dan mendahului kami tiba lebih dulu di pintu keluar  yang sekaligus pintu masuk tadi. Tepat pukul 16.30 wib kami semua tiba di pintu keluar.  Pukul 16.30 wib adalah batas waktu terakhir masuk ke lokasi wisata air terjun ini. 
 Perjalanan liburan kali ini meskipun melelahkan tetapi sangat menyenangkan, terutama karena dalam waktu sehari kami bisa menikmati dua destinasi tanpa perlu menginap yang tentunya lebih menghemat anggaran. Pemandangan alam yang sangat indah di sepanjang lereng Gunung Lawu pun telah memanjakan dan mengobati kelelahan mata saya yang setiap harinya telah bekerja ekstra keras di depan laptop. Hal menarik yang saya rasakan adalah perbedaan hawa pegunungan yang sangat terasa antara dulu dan sekarang. Di sekitar Tahun 1987 pada saat saya berwisata ke Tawangmangu dan di sekitar Tahun 1992 saat saya berwisata ke Telaga Sarangan, saat itu saya betul-betul merasakan dinginnya hawa pegunungan.  Tetapi, di kunjungan saya kemarin ini, persiapan jaket yang kami bawa tidak lagi kami perlukan karena ternyata hawa dingin khas pegunungan itu tidak lagi saya rasakan seperti saat saya berkunjung ke lokasi-lokasi itu kala saya remaja dulu. Ah, inikah global warming?...

MERANCANG LIBURAN KELUARGA DENGAN ANGGARAN TERBATAS


Rutinitas sehari-hari sebagai seorang dosen yang mengharuskan saya berkutat dengan buku-buku ilmiah dan kegiatan akademis lainnya, seringkali membuat jenuh hari-hari yang saya lewati.  Oleh karena itulah saya suka menghabiskan waktu liburan dengan kegiatan menikmati alam, tentunya bersama keluarga tercinta. Tetapi, untuk liburan rutin akhir pekan, saya biasa menghabiskan waktu bersama keluarga di rumah sambil mengerjakan hobi saya menulis artikel atau cerpen, kecuali jika ada acara kondangan atau harus menghadiri undangan lainnya.
Jika ada libur khusus, misalnya memperingati suatu hari raya tertentu, long week end, atau libur panjang akhir tahun ajaran, itulah saatnya bagi saya untuk merancang acara liburan keluarga. Bagi saya, rasanya sayang sekali jika waktu libur seperti itu hanya dihabiskan di rumah.  Tentu saja destinasi dan akomodasi disesuaikan dengan anggaran yang kami punya.  Dalam setiap acara liburan, saya lebih banyak bertindak sebagai aristek dan manajernya, meskipun tetap ada musyawarah kecil antara saya, suami dan anak-anak saya dalam beberapa hal, misalnya dalam menentukan waktu, destinasi dan transportasinya.  Kami biasa menyewa mobil khusus untuk kegiatan rutin liburan ini.
Sebagai arsitek dan manajer acara liburan keluarga, saya membuat aturan bahwa dalam satu tahun hanya ada satu kali liburan dengan destinasi yang jauh, yaitu liburan yang dilakukan dengan memakan waktu lebih dari 2 hari, seperti yang pernah kami lakukan ke Pulau Lombok, Karimun Jawa, Anyer, Pangandaran, Bandung, Jawa Timur, dan lain-lain. Untuk keperluan ritual tahunan ini kami biasakan diri untuk menabung.  Jadi, saya mengalokasikan anggaran khusus untuk keperluan tersebut, di luar anggaran rutin liburan dalam rangka mudik Lebaran ke Malang, Jawa Timur ke rumah mertua saya. Sedangkan untuk liburan yang tidak harus menginap, yakni untuk destinasi yang tidak jauh dari kota Yogyakarta yang relatif tidak memerlukan banyak dana, seperti misalnya berlibur ke pantai-pantai di daerah Gunung Kidul, Bantul, dan Kulon Progo, dan ke tempat-tempat wisata yang dekat dengan Yogyakarta lainnya, kami biasa melakukannya kapan pun jika saya merasa ada waktu dan dana dari sisa anggaran bulanan.  Bagi saya, ini adalah seni dalam merancang liburan dengan anggaran yang mepet.  Saya biasa melakukan itu. Seperti halnya beberapa waktu yang lalu kami menikmati malam minggu “hanya” dengan jajan sate kelinci, jagung bakar dan wedang ronde di Kaliurang. Hawa dingin dan segarnya udara pegunungan Kaliurang yang dinikmati bersama keluarga, sejenak dapat mengusir kejenuhan dari rutinitas sehari-hari.

Bagi saya, anggaran yang pertama kali harus disiapkan adalah untuk sewa mobil dan bensin. Selebihnya bisa diatur, misalnya untuk makan dan penginapan, saya telah membiasakan anak-anak saya untuk tidak menuntut yang mewah.  Jadi, tidak masalah bagi kami untuk menginap di losmen atau penginapan yang sederhana yang tarifnya per malam antara 100-300 ribu rupiah per kamar. Pernah sekali kami menginap di hotel bintang 3 di Tangerang waktu kami liburan ke Anyer. Itu karena kami ditraktir menginap oleh adik saya, seorang dokter yang waktu itu tinggal di Tangerang.  Selebihnya, kami selalu menginap di penginapan-penginapan sederhana.
Saya mempunyai trik untuk urusan makan.  Dari berbagai pengalaman kami selama ini, makanan yang dijual di tempat wisata jauh lebih mahal daripada di tempat-tempat lainnya.  Oleh karena itulah saya biasa membawa bekal makanan dari rumah atau makan di warung makan yang terletak di luar area tempat wisata.  Kami punya pengalaman pahit saat berwisata ke Pantai Karangbolong, Anyer di Tahun 2009.  Waktu itu kami makan di warung makan di lokasi wisata.  Warung makan itu tidak memasang harga di daftar menunya. Kami pun pesan makanan yang kami perkirakan tidak akan menghabiskan banyak uang. Ternyata, harga-harga makanan yang kami makan tersebut sangat mahal dan di luar kewajaran. Untuk sepiring kecil cumi saos tiram kami harus membayar 95 ribu, dan semangkok bakso 15 ribu rupiah. Aduh...mahalnya. Dan jangan ditanya rasanya, betul-betul mengecewakan. Tentu saja waktu itu kami tidak bisa protes, karena makanan telah terlanjur masuk perut.  Sejak saat itu, kalau kami ingin makan, maka kami akan mencari makanan di luar area wisata. Biasanya kami akan mencari rumah makan padang, warung soto atau rumah makan yang telah punya standar harga dan rasa yang jelas, misalnya rumah makan KFC. Kalaupun terpaksa harus makan di tempat wisata, kami mencari warung makan yang memasang daftar harga. Tetapi tetap harus hati-hati, karena dari berbagai pengalaman, warung-warung makan di lokasi wisata yang memasang daftar harga makanan ternyata masih punya trik untuk “memeras” pembeli, yaitu dengan menaikkan harga minuman di luar kewajaran.  Harga-harga minuman itu memang tidak pernah terpampang di daftar menu, yang ada hanya daftar harga makanan saja.
Jika kami harus menginap di hotel atau penginapan, untuk menghemat dana, maka selain kami mencari penginapan yang murah dengan pelayanan yang standar, kami juga tidak pernah membeli makanan hotel. Makanan hotel biasanya lebih mahal. Oleh karena itu, kami biasanya makan di warung-warung makan di sekitar hotel yang murah sambil jalan-jalan menikmati suasana.  Tetapi, kalau kami harus menginap di area tempat wisata, misalnya saat kami berwisata ke Pantai Pangandaran atau Pantai Kartini, Jepara, mau tidak mau kami harus makan di warung-warung makan di area wisata. Untuk itu kami punya trik.  Kami selalu membawa bekal makanan yang mudah disajikan dan bisa mengganjal perut.  Misalnya mie instan, roti tawar dengan margarine, mises atau selai, selain juga beraneka cemilan dan minuman instan dalam kemasan sachet, seperti kopi instan, jus, dan lain-lain.  Tentunya kami siap dengan perlengkapannya.  Kami akan membawa kettle untuk membuat air panas, yang bermanfaat untuk memasak mie instan dan membuat minuman hangat.  Kami juga siap dengan peralatan makan dan minumnya. Untungnya saya mempunyai koleksi lengkap peralatan makan dan minum khusus untuk kegiatan travelling dari Tupperware. Jadi, sarapan pagi biasanya sudah kami dapatkan free dari hotel, makan siang kami lakukan di tempat wisata, dan makan malamnya dengan bekal yang telah kami siapkan tadi.  Jika ada anggaran lebih, barulah kami bisa makan malam di rumah makan di sekitar hotel.  Itu yang pernah kami lakukan saat kami berwisata ke Pantai Pangandaran dan Green Canyon yang harus menginap semalam di Pantai Pangandaran dan semalam di kota Cilacap.
Saya bersyukur karena trik menghemat anggaran liburan keluarga selama ini telah berhasil mengantarkan anak-anak saya untuk mengenal negerinya dengan lebih baik, baik tentang kekayaan alamnya maupun budayanya. Tentu saja untuk hal ini saya meminta “kompensasi” dari anak-anak saya, yaitu berupa karya tulis (atau gambar untuk anak saya yang masih duduk di bangku TK) tentang apa-apa yang telah diperoleh dari kegiatan liburan tersebut. Saya mencoba membiasakan anak-anak saya untuk tadabur alam, dan menyalurkan kreativitasnya melalui tulisan. Dan, semoga hal ini bermanfaat sebagai bekal masa depan mereka.

Senin, 14 Mei 2012

TAMU BULE? SIAPA TAKUT.....

Sebagai orang yang tinggal di Yogyakarta serta mempunyai saudara dan kerabat yang tinggal menyebar di berbagai wilayah Nusantara, maka saya telah terbiasa kedatangan tamu yang menginap di rumah, entah kerabat yang ingin menikmati liburan di Yogyakarta ataupun yang sedang mencari sekolah untuk anaknya. Ya, karena Yogyakarta adalah kota wisata sekaligus kota pelajar. Tapi kali ini berita yang datang dari adik saya yang tinggal di Lombok membuat saya sekeluarga kelimpungan, karena kali ini dia akan datang menginap dua malam bersama dua orang teman bulenya, dari Australia dan Amerika. Begitu mendapat kabar, saya langsung berpikir, bagi saya yang  pernah merasakan hidup di Inggris dan tinggal satu rumah dengan orang-orang bule, tidak akan jadi masalah. Tetapi bagaimana dengan suami dan anak-anak saya? Tentunya kendala budaya dan bahasa yang saya pikirkan.

Setelah melewati berbagai diskusi dengan suami dan anak-anak saya, maka akhirnya saya dan suami sepakat untuk menerima adik saya beserta dua orang teman bulenya itu untuk menginap di rumah kami.  Tetapi kami meminta syarat bahwa sepasang bule Amerika dan Australia yang merupakan pasangan kekasih (baca: pacaran) itu tidak boleh sekamar, tetapi kami akan menyiapkan dua kamar terpisah buat mereka berdua.  Jadi, total akan kami siapkan tiga kamar, satu untuk Arsyad, adik saya; satu untuk Nik yang dari Australia; dan satu untuk pacarnya yang dari Amerika, Charlene.  Sebenarnya bule-bule itu bisa saja tinggal di hotel berbintang selama di Yogyakarta, tetapi Arsyad menawarkan untuk tinggal sebagai tamu di rumah kami, sebagai bentuk penghormatan atas persahabatan mereka. Nik yang dari kantor ACIAR (Australian Centre for International Agricultural Research) ada kerja sama dengan kantor Balai Budidaya Laut Lombok tempat Arsyad bekerja.  Dan kedatangan mereka ke Yogyakarta adalah karena Nik ada presentasi ke UNY dan UGM, serta ke PEMDA Gunung Kidul. Sedangkan Charlene yang merupakan ilmuwan dari Amerika, kali ini hanya mendampingi Nik saja. Saya dan suami sebenarnya merasa terhormat juga jika Nik dan Charlene mau menginap di rumah kami. Bagi saya pribadi, sebenarnya akan sangat bermanfaat untuk terus mengasah bahasa Inggris saya agar tidak hilang dari ingatan.


Dalam persiapan menyambut kedatangan Nik dan Charlene, terbersit sekian banyak kekhawatiran di benak saya. Pertama, bagaimana kalau nanti Nik dan Charlene tidak mau pisah kamar? Sebagai seorang muslim, tentunya saya tidak rela jika pasangan yang belum resmi menikah itu akan tinggal sekamar di rumah saya. (Sewaktu tinggal di Inggris, saya punya pengalaman tinggal satu flat dengan teman bule yang hidup bersama dengan kekasihnya, itulah yang mengundang kekhawatiran saya). Ke dua, bagaimana dengan menu makanannya nanti, apakah mereka bisa menyantap menu ala Indonesia? Ke tiga, bagaimana komunikasi dengan anak-anak dan suami saya nanti? Ke empat, apakah mereka akan nyaman tinggal di rumah saya yang sederhana dengan tipe kamar mandi lantai basah? Padahal saya tahu bahwa orang-orang bule terbiasa dengan tipe kamar mandi lantai kering. Dan masih banyak lagi kekhawatiran saya yang lainnya. Tetapi pelan-pelan segala kegalauan itu saya abaikan. 


Dua hari menjelang kedatangan mereka, saya dan suami beres-beres rumah agar tampak bersih dan terasa nyaman.  Untuk Arsyad saya siapkan kamar di lantai atas, sedangkan Nik dan Charlene saya siapkan dua kamar di lantai satu dengan private bathroom untuk masing-masing kamar.  Kebetulan pas ada dua kamar kos yang sedang kosong (suami saya memang mengelola usaha kos-kosan yang menyatu dengan rumah kami). Dua kamar itulah yang kami persiapkan untuk mereka berdua. Kedua anak saya, Raka yang kelas 6 SD dan Satria yang masih duduk di bangku TK, ternyata senang juga mendengar akan ada tamu bule yang menginap.  Mereka berdua bahkan ikut membantu membereskan kamar-kamar untuk Nik dan Charlene. Kami berupaya membuat kamar menjadi senyaman mungkin bagi bule-bule itu nantinya.


Akhirnya sampailah hari-H kedatangan mereka. Saya dan suami menyambut kedatangan mereka dengan keramahan. Kami pun saling bersalaman dan menyebut nama kami masing-masing. Berhubung suami saya bahasa Inggrisnya kurang lancar, maka sayalah yang paling banyak berkomunikasi dengan kedua bule itu.   Tapi suami saya selalu menunjukkan keramahannya, begitu pula dengan kedua anak saya. Meskipun ada kendala bahasa, tetapi tidak menjadi masalah yang berarti, karena saya dan Arsyad selalu siap menjadi ujung tombak komunikasi bagi suami dan anak-anak saya. Saat saya katakan pada Nik dan Charlene bahwa saya telah menyiapkan dua kamar bagi mereka, yang artinya mereka harus tidur pisah kamar, ternyata mereka oke-oke saja.  Apa yang saya khawatirkan bahwa mereka tidak mau pisah kamar ternyata tidak terbukti, mereka sangat mernghargai budaya tuan rumahnya.

Hari pertama berada di rumah kami, sarapan pagi saya siapkan dengan dua menu pilihan, yakni bread dengan selai dan margarine serta saya siapkan toaster (karena saya tahu biasanya bule suka sarapan dengan toasted bread); serta ayam goreng KFC. Ternyata mereka berdua sangat menikmati  dua menu yang saya sajikan.  Secangkir teh panas menjadi teman sarapan pagi mereka. Kehangatan kami sekeluarga dalam menyambut kedatangan mereka tampak sangat membuat mereka terkesan.  Mereka pun sangat senang dengan kamar-kamar yang kami siapkan bagi mereka, juga tidak ada masalah bagi mereka dengan tipe kamar mandi lantai basah dengan kloset jongkok itu. Ternyata keramahtamahan kami sebagai tuan rumah adalah nomor satu bagi mereka.

Acara hari pertama, Nik presentasi di Jurusan Pendidikan Biologi UNY dan Fakultas Biologi UGM.  Karena saya merupakan dosen di Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY sekaligus alumnus Fakultas Biologi UGM, maka Arsyad meminta saya untuk mendampingi dan mengikuti semua rangkaian kegiatan Nik hari ini. Jadilah saya berperan ganda, selain berperan sebagai nyonya rumah yang siap melayani tamu selama di rumah, juga sebagai pendamping dan guide bagi Nik, Charlene dan Arsyad selama kegiatan di luar rumah. Selesai acara di UNY dan UGM, acara dilanjutkan dengan mengunjungi Candi Brorobudur. Makan siang hari ini disajikan oleh pihak Fakultas Biologi UGM, sedangkan makan malam di Restoran Ayam Goreng Mbok Berek di Jl Magelang sepulang dari Candi Borobudur.  Dan, Nik lah yang menraktir kami semua satu mobil, termasuk juga sopir yang mengantar kami keliling seharian (Arsyad menyewa mobil beserta sopirnya selama dua hari khusus untuk menjamu Nik dan Charlene selama di Yogyakarta).  Jadi, hari ini saya bebas dari kebingungan memilihkan menu makan siang dan malam untuk tamu-tamu bule ini.
 
Dari pengamatan saya seharian ini, tampaknya Nik dan Charlene bukan tipe orang yang pilih-pilih menu, apapun yang disuguhkan, akan mereka makan tanpa raut muka protes. Nik dan Charlene juga orang-orang baik dan ramah.  Saat di Candi Borobudur tadi, banyak wisatawan lokal, baik anak-anak maupun dewasa, laki-laki maupun perempuan, yang begitu senangnya melihat turis asing seperti Nik dan Charlene sehingga mengajak foto bersama.  Dan Nik dan Charlene pun melayani mereka semua dengan sabar dan senyum keramahan.  Ya, keramahan kami sebagai taun rumah kepada bule-bule itu membuat mereka pun juga berbuat yang sama kepada kami dan orang-orang lokal yang dianggapnya sama dengan kami.

Hari ke dua, suami saya yang ahli membuat nasi goreng membantu saya menyiapkan menu sarapan hari ini.  Arsyad membantu kami dengan menambahkan menu fast food yang semalam dibelinya dari Restoran Hoka-Hoka Bento.  Saya pun tinggal menata meja, membuatkan teh panas, dan menghangatkan fast food dengan microwave, serta menyiapkan potongan buah pepaya di piring dan puding cokelat yang telah saya buat sehari sebelum mereka datang dan saya simpan di kulkas. Saya lihat para bule itu sangat suka dengan pepaya, karena pepaya itulah yang mereka ambil duluan.  Ya, saya tahu bahwa buah pepaya merupakan buah mewah di negara-negara empat musim karena harganya yang mahal.  Itu pengalaman saya sewaktu 4 bulan tinggal di Inggris setahun yang lalu. Dan kembali mereka pun menikmati sarapan hari ini dengan nikmat tanpa muka protes. Sambil sarapan kami ngobrol rame-rame. 

Selesai sarapan, kali ini hanya Nik dan Arsyad yang mempunyai acara presentasi ke Pemda Gunung Kidul. Hari ini Charlene ingin tinggal di rumah saja.  Akhirnya, saya dan Charlene asyik ngobrol  dan bercanda berdua di ruang makan, sedangkan suami saya hanya menjadi pendengar setia. Raka yang telah selesai melaksanakan ujian nasional sehingga tidak masuk sekolah, ikut asyik mendengarkan obrolan kami dari ruang tamu, tanpa mau bergabung karena malu.  Sedangkan Satria yang masih duduk di TK tentu saja sedang sekolah.  Di hari Sabtu siang ini saya dan suami ada undangan njagong manten di Gedung Graha Sabha Pramana UGM.  Aku menawari Charlene untuk bergabung bersama kami ikut njagong manten agar dia bisa melihat bagaimana budaya lokal Indonesia, khususnya Jawa, saat pesta pernikahan.  Dan Charlene pun setuju, meski dia bingung karena tidak siap dengan baju pesta.  Aku pun tidak hilang ide, maka aku dandani Charlene dengan kebaya dan sepatu high heel punyaku, sedangkan celana panjangnya Charlene sudah bawa sendiri.  Charlene ngikut saja saat saya dandani, tidak protes, bahkan dia tampak senang.  Akhirnya, kami berangkat njagong manten bertiga.  Charlene sangat terkesan dengan pengalamannya hari ini. Dia bolak-balik menyampaikan rasa terima kasihnya padaku karena telah mendapatkan kesempatan unik ini.  Nik pun begitu tahu tentang pengalaman pacarnya hari ini, ikut berterima kasih padaku.

 Sore hari, saatnya tamu-tamu saya berpamitan.  Sebagai kenang-kenangan saya memberikan sebuah kalung batu dari Kalimantan untuk Charlene, sedangkan Nik memberikan kaos merchandise ACIAR buat saya.  Kami semua pun foto bersama sebagai kenang-kenangan.  Raka senang sekali bisa foto bareng dengan bule.  Dia berniat akan menunjukkan foto itu pada teman-temannya nanti, dan akan bercerita bahwa ada bule yang pernah menginap di rumahnya.  Saya pun merasa telah berhasil membuka wawasan anak-anak saya bahwa ada kehidupan lain di luar negaranya, Indonesia.  Bahwa para orang asing itu memiliki budaya yang berbeda, tetapi bisa bergaul nyaman dengan orang Indonesia sepertinya.  Bahwa keramahtamahan Indonesia telah mengesankan mereka.


Setelah tamu-tamu saya pulang, ada perasaan lega dalam diri saya karena kami sekeluarga telah membuat kesan yang baik buat mereka, juga karena segala kekhawatian saya di awal tidak terbukti. Saya begitu  bersyukur. Dan untuk rencana kedatangan Arsyad dan Nik ke Yogyakarta berikutnya pada bulan Oktober mendatang, maka saya pun bisa bilang "Tamu bule? Siapa takut...."