Sabtu, 26 Januari 2013

WISATA TRADISIONAL JOGJA



“Yogyakarta” atau yang lebih dikenal dengan sebutan “Jogja”, merupakan satu kata yang dipakai untuk menyebut dua wilayah, yang pertama yaitu kotamadya Yogyakarta yang dikepalai oleh seorang walikota, dan yang ke-2 adalah propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang dikepalai oleh seorang gubernur. Karena merupakan daerah istimewa, maka saat ini raja Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X atau biasa disingkat dengan HB X, yang menjadi gubernurnya. Kotamadya Yogyakarta sendiri adalah ibukota propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Jogja dikenal dengan banyak predikat, antara lain sebagai kota pelajar, kota perjuangan, kota budaya, dan kota wisata. Sebagai kota budaya, Jogja mempunyai banyak destinasi wisata budaya yang menarik untuk dikunjungi. Destinasi yang paling banyak diminati oleh wisatawan dalam negeri maupun mancanegara tentu saja adalah keraton. Selain keraton, ada juga beberapa destinasi lain yang menarik, seperti Taman Sari dan Makam raja-raja Mataram di Imogiri. Acara sekaten yang merupakan pesta rakyat Jogja menyambut Maulid Nabi Muhammad SAW dengan dikeluarkannya gunungan oleh keraton sebagai puncak acara, juga menarik untuk ditengok.
Meski lahir, dibesarkan dan menetap di Jogja, saya tidak banyak mengenal budaya Jogja yang sarat makna dan simbol-simbol filosofis itu. Hal ini karena bapak dan almarhum ibu saya bukan orang asli Jogja, sehingga budaya Jogja tidak benar-benar merasuk dalam diri saya. Oleh karena itulah, justru atas desakan anak saya yang sulung, Raka, saya sengaja meluangkan waktu beberapa kali untuk menyusuri destinasi-destinasi wisata tradisonal Jogja tersebut.
1. KERATON JOGJA (NGAYOGYAKARTA HADININGRAT)
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan istana resmi Kasultanan Yogyakarta. Istana ini didirikan sejak Tahun 1755 oleh Sri Sultan HB I dan sampai sekarang masih berfungsi sebagai tempat tinggal Sultan dan rumah tangga istananya yang masih menjalankan tradisi kesultanan hingga saat ini. Keraton ini juga sekaligus berfungsi sebagai obyek wisata kota Yogyakarta, dan untuk memasukinya dikenakan tarif 5000 rupiah per orang.
 Sebagian kompleks keraton merupakan musium yang menyimpan berbagai koleksi milik kasultanan, termasuk koleksi pemberian raja-raja Eropa, replika pusaka keraton, gamelan, dan kereta kuda (kereta kencana). Bangunan keraton ini merupakan salah satu contoh arsitektur istana Jawa yang terbaik, memiliki balairung-balairung mewah, lapangan dan paviliun yang luas. Dan, arsitek dari bangunan yang cantik ini adalah Sri Sultan HB I.
Bentuk istana yang tampak sekarang ini sebagian besar merupakan hasil pemugaran dan restorasi yang dilakukan oleh Sri Sultan HB VIII yang bertahta pada Tahun 1921-1939. Bangunan keraton memiliki 7 kompleks inti, yaitu Siti Hinggil Ler (Balairung Utara), Kamandhungan Ler (Kamandhungan Utara), Sri Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan), dan Siti Hinggil Kidul (Balairung Selatan) atau yang biasa disebut dengan Sasana Hinggil. Selain itu, keraton ini juga memiliki berbagai warisan budaya baik yang berbentuk upacara maupun benda-benda kuno yang bersejarah. Keraton Yogyakarta juga merupakan lembaga adat, sehingga nilai-nilai filosofi dan berbagai mitos menyelimuti keraton ini.
Secara umum, tiap kompleks bangunan utama terdiri atas halaman yang ditutupi pasir dari pantai selatan (sama dengan Keraton Kasunanan Surakarta atau Solo, Jawa Tengah), dan ditanami pohon tertentu, umumnya pohon gayam (Inocarpus edulis) atau kepel (Stelechocarpus burahol). Kompleks satu dengan yang lainnya dibatasi oleh tembok yang cukup tinggi dan dihubungkan dengan “regol” (pintu gerbang). Daun pintunya terbuat dari kayu jati yang tebal. Di belakang atau di muka regol biasanya terdapat dinding penyekat yang disebut “renteng” atau “baturono”.
Meskipun terlihat berasitektur tradisional Jawa, di beberapa bagian tertentu terlihat sentuhan arsitektur asing seperti Portugis, Belanda, bahkan Cina. Bangunan di tiap kompleks biasanya berkonstruksi “joglo”. Joglo yang terbuka tanpa dinding disebut “bangsal”, sedangakn joglo yang tertutup dinding disebut “gedhong” (gedung). Tiap-tiap bangunan memiliki kelas yang tergantung pada fungsinya dan kedekatannya dengan jabatan penghuninya. Kelas utama misalnya, adalah bangunan yang dipergunakan oleh Sultan, memiliki detil ornamen yang lebih rumit dan indah dibandingkan dengan kelas di bawahnya. Semakin rendah kelas bangunan maka ornamennya semakin sederhana, atau bahkan tidak memiliki ornamen sama sekali. Selain ornamen, kelas bangunan juga dapat dilihat dari bahan serta bentuk bagian atau keseluruhan bangunan itu sendiri.
Di dalam kompleks keraton juga tersedia toko suvenir yang terpadu dengan restoran yang menyediakan menu masakan istimewa yang disukai oleh para raja Jogja sejak dulu. Para wisatawan yang berkunjung dapat berbelanja suvenir maupun menikmati makanan khas keraton di sini. Sayangnya, harga barang-barang di toko suvenir dan makanan di restoran ini terbilang cukup mahal. Toko suvenir dan restoran dengan nama Sarinah ini dikelola oleh GKR Pembayun, putri sulung Sri Sultan HB X. Dan, bagi pengunjung yang menyukai wayang kulit, dapat menikmatinya secara live. Pihak keraton sengaja menyajikan pentas wayang kulit bagi wisatawan yang berkunjung ke keraton setiap hari Sabtu pukul 10 pagi di bangsal pagelaran.


2. TAMAN SARI

Taman Sari (Water Castle) sebenarnya masih merupakan bagian dari bangunan kompleks keraton Yogyakarta dan juga merupakan peninggalan Sultan HB I. Taman Sari yang berarti taman yang indah ini pada jaman dulu merupakan tempat rekreasi bagi Sultan dan kerabat istana. Sayangnya, kompleks Taman Sari ini sekarang telah menyatu dengan permukiman penduduk, meskipun bangunan utama masih bisa diselamatkan dari himpitan rumah-rumah penduduk setelah ditetapkannya Taman Sari sebagai cagar budaya.
Kompleks Taman Sari terdiri dari kolam-kolam pemandian yang disebut sebagai Umbul Binangun, serta bangunan-bangunan pendukung lainnya. Tempat yang masih dianggap sakral sampai sekarang adalah “Pasareyan Ledoksari” yang merupakan tempat peraduan dan tempat pribadi Sultan. Bangunan lain yang menarik adalah “Sumur Gumuling” yang merupakan bangunan bertingkat dua dengan lantai bagian bawahnya terletak di bawah tanah. Di masa lampau, bangunan ini adalah surau (semacam mushola) tempat beribadah Sultan. Sumur Gumuling ini dapat dicapai dengan melewati lorong bawah tanah. Dan, masih banyak lorong bawah tanah lain yang merupakan jalan rahasia dari keraton menuju Taman Sari ini, termasuk juga lorong yang dipersiapkan sebagai jalan penyelamat jika sewaktu-waktu kompleks ini mendapat serangan musuh.
Menelusuri Taman Sari ini seakan membawa saya ke masa lalu. Sisa-sisa kemegahan masa lampau tampak sekali di sini. Saya membayangkan bagaimana dulu para istri dan selir raja mandi di kolam Taman Sari (Umbul Binangun) sambil bercanda riang, sedangkan Sultan dari kamar pribadinya (Pasareyan Ledoksari). akan melihat para istri dan selirnya itu mandi, kemudian akan memilih salah satu dari mereka untuk diajak ke peraduannya. Ah, saya membayangkan tentu suasana saat itu sangat erotis.
Selesai dengan melihat-lihat suasana di dalam bangunan, saya mencoba naik ke bangunan atas. Menurut kisah, pada jaman dulu dari istana menuju Taman Sari, raja biasa naik perahu dan mendarat di bangunan ini. Ya, jaman dulu memang ada jalur air dari istana menuju Taman Sari. Tentu saja  jalur itu sekarang tinggal kenangan. Dan, dari atas bangunan inilah saya dapat melihat pemandangan sebagian kota Jogja, terutama permukiman padat penduduk di sekitar Taman Sari.




  3. SEKATEN DAN GUNUNGAN/GEREBEG
 Sekaten merupakan sebuah upacara tradisional kerajaan yang dilaksanakan selama tujuh hari, yang merupakan sebuah perayaan kelahiran (maulid) Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itulah ada yang menyatakan bahwa asal-usul upacara ini berasal dari kerajaan Islam Demak. Istilah sekaten sendiri berasal dari kata syahadatain, yang artinya dua kalimat syahadat dalam agama Islam. Ya, memang keraton Jogja memiliki perpaduan budaya Hindu Jawa dan Islam. Meskipun Islam telah menjadi agama raja-raja di kasultanan ini tetapi budaya Hindu Jawa masih kental terasa dalam upacara-upacara tradisional keraton.
Perayaan sekaten dimulai dengan keluarnya dua perangkat gamelan, yaitu Guntur Madu dan Nagawilaga dari keraton untuk ditempatkan di pagongan utara dan selatan di depan Masjid Gedhe Kauman. Selama tujuh hari, mulai hari ke-6 sampai ke-11 bulan Mulud (Rabiul Awal), kedua perangkat gamelan itu dimainkan secara bergantian sebagai tanda perayaan sekaten. Meskipun sekaten secara resmi hanya dilakukan selama tujuh hari, tetapi pesta rakyat (pasar malam) diadakan selama lebih dari satu bulan, dimulai satu bulan sebelum perayaan upacara sekaten dan akan berakhir pada tanggal 12 Mulud yang ditandai dengan acara Gerebeg Mulud atau keluarnya gunungan. Selama sekaten, makanan khas yang banyak dijual di arena pasar malam, terutama di sekitar lokasi Masjid Gedhe adalah sega gurih (sejenis nasi uduk), endhog abang (telur rebus yang diwarnai merah), sirih pinang dan bunga kantil (Michelia alba). Biasanya penjualnya adalah ibu-ibu yang sudah sangat sepuh (tua) usianya. Saya sendiri kurang paham apa makna filosofis dari benda-benda itu.
Arena pasar malam sekaten memang betul-betul merupakan pesta rakyat Jogja, berisi aneka permainan seperti bombom car, komidi putar, rumah hantu, kereta mini, mini jet coaster, ombak asmara, tong setan, dan berbagai wahana permainan lainnya. Selain itu, juga dijual berbagai produk seperti baju, sepatu, alat-alat rumah tangga, mainan anak-anak dan lain sebagainya. Dan, semua itu dengan harga miring jauh dari harga toko, tentu saja jika pintar menawarnya. Pokoknya, pesta ini betul-betul merakyat dan merupakan pesta rakyat. Hanya saja, perlu hati-hati untuk jajan makanan di tempat ini, kalau tidak menanyakan harga terlebih dulu, penjual seringkali tiba-tiba meminta harga yang sangat tinggi di luar kewajaran, selain itu rasa makanannya pun jauh dari lezat.
 Selain acara Gerebeg Mulud, keraton Jogja juga mengadakan Gerebeg Syawal (tanggal 1 Syawal) dan Gerebeg Besar (tanggal 10 Dzulhijah). Pada hari-hari tersebut Sultan berkenan mengeluarkan sedekahnya kepada rakyat sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan atas kemakmuran kerajaan. Sedekah itu berupa pareden/gunungan yang terdiri dari gunungan kakung, estri, pawohan, gepak, dan dharat, sedangkan gunungan bromo hanya dikeluarkan 8 tahun sekali pada saat Gerebeg Mulud Tahun Dal.
Gunungan kakung berbentuk kerucut terpancung dengan ujung sebelah atas agak membulat, yang terdiri dari sayuran kacang panjang yang dirangkai dengan cabai merah, telur itik, dan beberapa perlengkapan makanan kering lainnya. Gunungan estri berbentuk seperti keranjang bunga yang penuh dengan rangkaian bunga, sebagian besar tersusun atas makanan kering yang terbuat dari beras dan beras ketan yang berbentuk lingkaran dan runcing. Kedua gunungan kakung dan putri ini ditempatkan dalam sebuah kotak pengangkat yang disebut jodhag.
Gunungan pawohan terdiri dari buah-buahan segar yang diletakkan dalam keranjang janur (daun kelapa yang masih muda), ditempatkan dalam jodhag dan ditutup dengan kain biru, sedangkan gunungan gepak berbentuk seperti gunungan estri tetapi memiliki permukaan atas yang datar. Gunungan dharat juga berbentuk seperti gunungan estri tetapi permukaan atasnya lebih tumpul. Gunungan gepak dan dharat tidak ditempatkan dalam jodhag melainkan hanya dialasi kayu yang berbentuk lingkaran. Gunungan bromo yang dikeluarkan 8 tahun sekali, memiliki bentuk yang khas karena secara terus-menerus mengeluarkan asap yang berasal dari kemenyan yang dibakar. Tidak seperti gunungan lainnya yang diperebutkan oleh masyarakat di depan Masjid Gedhe, gunungan bromo dibawa kembali ke dalam keraton untuk dibagikan kepada kerabat kerajaan.
Pada Gerebeg Syawal Sultan menyediakan dua buah gunungan kakung, yang satu akan diperebutkan oleh masyarakat di depan Masjid Gedhe dan yang satu lagi diberikan kepada kerabat Pura Pakualaman. Pada Gerebeg Besar Sultan mengeluarkan gunungan kakung, estri, pawohan, gapak, dan dharat, masing-masing satu buah, sedangkan pada Gerebeg Mulud Sultan memberikan gunungan kakung, estri, pawohan, gepak, dan dharat, dan jika Tahun Dal maka ditambah dengan gunungan bromo dan satu lagi gunungan kakung.
Saya tidak tahu pasti apa makna simbolis dari macam-macam gunungan itu. Saya sendiri tidak mau merepotkan diri untuk ikut berebut gunungan itu. Saya cukup puas degan melihat atraksi budaya yang menarik itu, terlebih melihat keluarnya iring-iringan gunungan yang dikawal oleh pasukan prajurit keraton, yang setiap pasukan memakai seragam yang berbeda-beda.

4. MAKAM RAJA-RAJA KASULTANAN MATARAM DI IMOGIRI
Pemakaman atau Pasarean atau Pajimatan Girirejo Imogiri merupakan kompleks pemakaman raja-raja dan keluarga raja-raja dari Kasultanan Mataram (Mataram Islam), yang terletak di Imogiri, Kabupaten Bantul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasi ini merupakan obyek wisata di Kabupaten Bantul,  yang dibuka untuk umum setiap hari mulai pukul 10.00 wib, kecuali pada hari Jumat dibuka mulai pukul 13.00 wib. Pada bulan puasa (Ramadhan) dan hari besar agama Islam, makam Imogiri ditutup untuk umum.
Makam Imogiri dibangun pada Tahun 1632 oleh Sultan Mataram Prabu Hanyokrokusumo, yang merupakan keturunan dari Panembahan Senopati Raja Mataram I. Lokasi pemakaman ini terletak di atas perbukitan yang juga masih satu gugusan dengan Pegunungan Seribu di Kabupaten Gunung Kidul. Menurut kepercayaan Hindu Jawa, makam harus diletakkan di daerah yang tinggi, yang mencerminkan kedekatannya dengan Tuhan. Ya, memang kerajaan Mataram Islam ini masih terpengaruh oleh budaya Hindu Jawa. Hal ini juga dapat dilihat dari bentuk gapura makam yang mirip dengan candi atau pura Hindu.
Sebelum memasuki makam raja, terdapat banyak anak tangga yang lebarnya sekitar 4 meter dengan kemiringan 45o yang menghubungkan makam dengan permukiman penduduk di bawahnya. Jumlah anak tangga itu seluruhnya adalah 409 anak tangga. Menurut mitos, jika berhasil menghitung jumlah anak tangga dengan benar, maka semua keinginannya akan terkabul. Ah, ada-ada saja, saya tentu saja tidak mau merepotkan diri untuk menghitung jumlah seluruh anak tangga itu.
Menurut referensi yang saya baca, jumlah anak tangga itu memiliki arti tertentu, yaitu: (1)    Anak tangga dari permukiman     menuju daerah dekat masjid berjumlah 32, melambangkan bahwa makam Imogiri dibangun pada Tahun 1632; (2) Anak tangga dari daerah dekat masjid menuju pekarangan masjid berjumlah 13, melambangkan bahwa Sultan Agung diangkat menjadi Raja Mataram pada Tahun 1613; (3)    Anak tangga dari pekarangan masjid menuju tangga terpanjang berjumlah 45, melambangkan bahwa Sultan Agung wafat pada Tahun 1645; (4)    Anak tangga terpanjang berjumlah 346, melambangkan bahwa makam Imogiri dibangun selama 346 tahun; dan (5)    Anak tangga di sekitar kolam berjumlah 9, melambangkan Walisanga (para wali yang berjasa menyebarkan agama Islam di Jawa)

Sebelum memasuki areal pemakaman terdapat Gapura Supit Urang (capit udang), Pendopo Supit Urang, Tempat Juru Kunci dan 4 Tempayan Suci. Secara keseluruhan, areal makam raja tersebut dibagi menjadi tiga daerah, yaitu: (1) Astana Kasultanan Agung, yaitu tempat dimakamkannya Sultan Agung, Sri Ratu Batang, Hamangkurat Amral, dan Hamangkurat Mas. Sebelum memasuki makam Sultan Agung terdapat tiga gapura yang melambangkan tiga tahapan hidup manusia, yaitu: alam rahim, alam duniawi, dan alam kubur. Gerbang pertama bercorak bangunan Hindu yang terbuat dari susunan batu bata merah tanpa semen dengan bentuk Candi Bentar dan diberi nama Gapura Supit Urang. Di bagian dalam gerbang pertama terdapat dua buah paseban  yang berada di sisi barat dan timur gerbang; (2)     Wilayah Makam Raja Surakarta Hadiningrat, yang dibagi menjadi empat hastana dan di sini dimakamkan raja-raja dari Kerajaan Surakarta Hadiningrat. (Perlu diketahui, bahwa kerajaan Jogja dan Surakarta (Solo) dulunya merupakan satu kesatuan dalam Kerajaan Mataram Islam; dan (3) Wilayah Makam Raja Yogyakarta Hadiningrat, yang terbagi menjadi 3 hastana dan di sini dimakamkan raja-raja dari Kerajaan Yogyakarta Hadiningrat.
Sebelum memasuki areal makam Sultan Agung, terdapat empat buah tempayan yang berada di atas gerbang ke dua. Tempayan-tempayan ini merupakan pemberian dari empat kerajaan kepada Sultan Agung, yaitu: (1) Tempayan pertama yang terletak di sisi barat merupakan pemberian dari Kerajaan Sriwijaya (Palembang)  yang diberi nama Nyai Danumurti; (2) Tempayan ke dua merupakan pemberian dari Kerajaan Samudera Pasai (Aceh)   yang diberi nama Kyai Danumaya; (3)   Tempayan ke tiga merupakan pemberian dari Kerajaan Ngerum (Turki)  yang diberi nama Kyai Mendung; dan (4) Tempayan ke empat merupakan pemberian dari Kerajaan Syam (Thailand)  yang diberi nama Nyai Siyem.
Jaman dulu,  Sultan Agung mengisi keempat tempayan ini dengan air dan dipergunakan untuk berwudhu. Air dari keempat tempayan tersebut disebut air suci dan dipercaya  memiliki khasiat yang dapat memberi kekuatan dan sarana pengobatan. Pada awalnya tidak sembarang orang yang dapat meminum air dari tempayan-tempayan tersebut. Menurut riwayat, saat terjadinya Serangan Umum 1 Maret di Yogyakarta, Presiden Soekarno  mengirimkan surat kepada  Sri Sultan HB IX agar prajurit  TNI yang bertempur di Yogyakarta  diperbolehkan untuk meminum air suci tempayan tersebut, dan Sultan memperbolehkannya. Usai meminum air tersebut, kekuatan prajurit bertambah sehingga dapat memenangkan pertempuran melawan  Belanda. Entahlah, cerita ini benar atau tidak, karena masyarakat Jawa memang penuh dengan mitos.
  Saat ini, masyarakat umum dapat memperoleh  air suci dari tempayan tersebut melalui juru kunci makam. Air ini bisa diambil selama masih ada air yang tersisa di dalam tempayan tersebut, karena tidak sembarang hari tempayan-tempayan ini dapat diisi air. Ada upacara khusus untuk mengisi keempat tempayan ini dengan air yang dilakukan setahun sekali, yaitu yang dinamakan dengan Nguras Enceh. Upacara ini dilaksanakan setiap Jumat Kliwon di bulan Sura (Muharam). Jika di bulan tersebut tidak ada hari Jumat Kliwon, maka upacara pengisian air ini dapat dilaksanakan pada hari Selasa Kliwon.  Banyak masyarakat Jawa yang mempunyai kepercayaan  bahwa air tersebut dapat menjadi sarana tolak bala serta dapat digunakan sebagai perantara untuk mengobati berbagai penyakit. Saya sendiri tak mau ambil pusing tentang kepercayaan ini.
Ada tata cara berpakaian tertentu yang harus dilakukan ketika ingin memasuki kompleks makam di bagian dalam. Bagi pengunjung wanita yang ingin memasuki makam di bagian dalam harus mengenakan kain panjang, kemben, dan melepas semua perhiasan, sedangkan bagi pengunjung pria harus mengenakan kain panjang, baju peranakan dan  blangkon. Jika tidak mentaati aturan tersebut, maka pengunjung hanya diperbolehkan sampai di pintu gerbang pertama saja. Tentu saja saya memilih tidak mentaati peraturan tersebut (tidak mungkinlah saya memakai kemben di depan umum seperti itu), dan memilih untuk berhenti sampai di gerbang utama saja. Tetapi, bagi yang memilih untuk mentaati aturan tersebut, pihak juru kunci telah menyiapkan pakaian-pakaian adat itu untuk disewa.
Selesai menyinggahi kompleks pemakaman yang memerlukan energi ekstra untuk menaiki begitu banyak anak tengga itu, alangkah nikmatnya mencicipi makanan dan minuman khas Imogiri, yaitu pecel kembang (bunga) Turi (Sesbania grandiflora ( L.) Poiret) dan wedang uwuh. Pecel kembang turi sama seperti pecel-pecel lainnya, istimewanya adalah ada tambahan bunga turi sebagai sayurannya. Bau dan rasa kembang turi sangat khas, agak pahit tetapi terasa segar. Bunganya ada yang berwarna putih dan ada yang ungu kemerahan. Dua-duanya sama-sama dapat dibuat pecel.
 Wedang uwuh, meskipun arti harfiahnya adalah minuman sampah, tetapi minuman ini tentu saja bukan berasal dari sampah, melainkan berasal dari bahan-bahan yang menyehatkan, seperti jahe, serutan kayu secang (Caesalpinia sappan L.) yang akan menimbulkan warna merah, daun cengkeh, gula batu, dan beberapa bahan yang berkhasiat lainnya. Jika diseduh, gelas akan penuh daun-daunan sehingga tampak seperti sampah. Oleh karena itulah dinamakan wedang uwuh. Minuman ini terasa segar dan menghangatkan badan, cocok untuk diminum saat cuaca dingin atau di musim hujan, juga dapat mengurangi rasa capek di badan setelah naik turun anak tangga di makam Imogiri ini. Yang lebih istimewa lagi adalah daun-daunan yang dipakai untuk membuat wedang uwuh ini berasal dari pohon-pohon yang berada di area kompleks makam. Meski pada perkembangannya saat ini banyak tersedia wedang uwuh dalam kemasan instan maupun teh celup, tetapi bagi saya, wedang uwuh yang dijual di area makam Imogiri ini terasa lebih nikmat dan sensasional.