Minggu, 31 Maret 2013

PERTOLONGAN TUHAN SELALU ADA: Sebuah Memoar



Aku terlahir sebagai anak pertama dari  enam bersaudara dari bapak seorang dosen dan ibu seorang ibu rumah tangga biasa. Sejak kecil, aku bukanlah tipe orang yang bermimpi untuk studi ke luar negeri, apalagi di benua yang sangat jauh dari Indonesia, Eropa. Meski Bapak seorang dosen  yang pernah menempuh studi di Belanda, tetapi beliau tidak pernah menumbuhkan mimpi kepada kami, anak-anaknya untuk suatu saat merasakan pendidikan di luar negeri seperti pengalaman beliau.  Beliau tidak pernah sekalipun menceritakan pengalaman studinya itu kepada kami, anak-anaknya.  Aku tahu cerita itu justru dari orang lain dan dari Ibu.  Aku menduga, mungkin hal itu karena Bapak sangat menderita karena jauh dari keluarga selama studi di Belanda, sampai menurut cerita Ibu, beliau jatuh sakit saat di Belanda. Itu terjadi saat aku masih balita. Ya, aku tahu, Bapak adalah tipe orang yang sangat mencintai keluarga dan tidak dapat pisah jauh dari keluarga untuk waktu yang lama seperti itu.
Pendidikanku dari SD hingga perguruan tinggi aku jalani dengan lancar di Yogyakarta. Sejak kecil, aku dibiasakan tidak pernah pergi jauh dan lama dari keluarga, apalagi sampai pergi sendiri. Ibu terlalu khawatir untuk melepasku pergi jauh sendirian. Mungkin itu karena sebagai anak perempuan pertama, aku paling dekat dengan Ibu, bahkan seringkali kami seperti kakak beradik yang saling curhat atas masalah masing-masing. Pernah suatu hari, waktu itu di Tahun 1996, sebagai hadiah kelulusan sebagai sarjana, kakak Ibu (Pakdhe) yang tinggal di Sintang, Kalimantan Barat, memberikan tiket PP gratis bagiku untuk berlibur ke Sintang.  Aku berangkat ditemani adik laki-lakiku yang nomor dua (jarak umurnya setahun di bawahku) dan seorang sepupuku. Selama dua minggu di Sintang, apa yang terjadi? Ibu menelepon menanyakan keadaanku sambil menangis khawatir. Pakdhe sampai harus meyakinkan Ibu di telepon bahwa aku baik-baik saja.
Sebenarnya aku bukan anak manja.  Aku menjalani hidup dengan keras dengan keterbatasan ekonomi keluargaku.  Dapat dibayangkan, Bapak yang PNS harus membiayai pendidikan 6 orang anak sendirian.  Untungnya Ibu adalah perempuan hebat yang dapat mengatur keuangan dengan cerdas sehingga kehidupan kami dapat berjalan dengan baik meski kami harus hidup pas-pasan.  Oleh karena itulah sebagai anak pertama, dari kecil sudah tertanam di benakku untuk dapat membantu meringankan beban orang tuaku, yakni dengan jalan selalu memberi contoh yang baik bagi adik-adikku dan membahagiakan kedua orang tuaku.  Aku menterjemahkannya dengan harus selalu berprestasi di sekolah. Mungkin karena aku selalu lebih berprestasi dibanding adik-adikku itulah, aku jadi seakan diistimewakan, atau dalam bahasa Jawa “diati-ati” oleh orang tuaku, terutama oleh Ibu.
Lulus S1, aku langsung melanjutkan S2 di semester berikutnya di perguruan tinggi yang sama dengan tempat studiku di S1, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta dengan beasiswa URGE dari bank dunia. Kurang lebih 1,5 tahun kemudian, yakni di Tahun 1998, atas saran seorang sahabat aku mengikuti seleksi penerimaan dosen di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).  Setelah melewati serangkaian tes tertulis maupun wawancara, Alhamdulillah aku diterima.  Maka sejak itu, jadilah aku seseorang yang lahir, dibesarkan dan menetap di Yogyakarta.  Hanya lokasi tempat tinggal saja yang berpindah, karena setelah menikah di usiaku  yang genab 27 di Tahun 1999, aku pindah rumah, tidak lagi ikut orang tua tetapi ikut suamiku.
Ternyata, suamiku dapat memahami bahwa aku punya kebiasaan tidak bisa pergi jauh sendirian, sehingga aku semakin nyaman dengan kebiasaanku itu.  Pernah suatu hari aku harus mengikuti pelatihan selama 3 minggu di Institut Pertanian Bogor (IPB). Karena aku tidak bisa berangkat sendirian ke Bogor, maka suami dan anakku yang masih balita ikut mengantarku sampai di hotel tempat menginapku di Bogor. Setelah yakin bahwa aku aman dan nyaman, barulah suami dan anakku pulang kembali ke Yogyakarta.  Itu artinya, suamiku bisa menerima kebiasaan yang menjadi kelemahanku itu.
Hidup dengan lingkungan perguruan tinggi membuatku banyak bertemu dan bergaul dengan orang-orang yang punya pengalaman studi di luar negeri.  Mereka tampak punya prestise tersendiri dan dianggap punya kelebihan khusus dibandingkan dengan lulusan perguruan tinggi dalam negeri. Aku rasakan setiap orang tua yang  anaknya dapat meraih beasiswa studi ke luar negeri mempunyai kebanggaan dan kebahagiaan tersendiri. Maka, sejak saat itulah aku punya mimpi untuk dapat studi di luar negeri dengan satu alasan kuat, ingin memberi kebanggaan dan kebahagiaan kepada kedua orangtuaku.
Manusia hanya dapat berencana tetapi Tuhan jugalah yang menentukan.  Di akhir Tahun 2005 di saat niatku memuncak untuk meraih mimpiku,  Ibu wafat karena serangan stroke.  Aku merasa sangat kehilangan dan semangatku untuk studi ke luar negeri padam seketika. Sebagai anak tertua, aku adalah tempat curahan perasaan Bapak dan adik-adikku semenjak Ibu tiada.  Apalagi adik bungsuku masih duduk di bangku kelas 5 SD.  Bapak sangat membutuhkan dukunganku untuk membimbing dan mengarahkan adik-adikku, termasuk mendampingi beliau saat menikahkan dua adikku.  Selain itu, di pertengahan Tahun 2006 aku juga punya anak lagi.  Maka, aku belum tahu lagi kapan akan memulai program melanjutkan studi S3-ku.
Barulah di Tahun 2008, aku teringat lagi akan niatku untuk melanjutkan studi S3. Kali ini aku mencoba mencari LoA (Letter of Acceptance) sebagai syarat mendapatkan beasiswa dari DIKTI untuk studi ke luar negeri. Aku iseng-iseng  browsing di internet untuk  mencari informasi perguruan tinggi di luar negeri yang mempunyai profesor dengan riset seperti yang ingin aku lakukan, yaitu tentang pola interaksi antara serangga dan gulma pada ekosistem pertanian. Seorang temanku menyarankan agar aku coba browsing di web Univeristy of Bristol (UoB), Inggris. Alasannya waktu itu karena di sana sudah ada seorang teman dosen dari fakultasku (Fakultas MIPA UNY) yang sedang menempuh studi S3 di kampus itu, sehingga kalau nanti aku jadi studi di sana, aku sudah ada teman, tidak seperti orang hilang di negeri orang.  Pikirku, ini ide yang sangat bagus mengingat kelemahanku yang tidak bisa bepergian jauh sendirian.
Akhirnya aku menemukan juga seorang profesor yang aku cari dari kampus UoB, yakni Prof Jane Memmott. Aku termasuk sangat beruntung karena beliau mau membalas dan menanggapi e-mail yang kukirim dan bahkan kemudian mau memberiku LoA. Tetapi sayangnya, aku tidak lolos desk evaluation dari DIKTI, entah karena alasan apa.  Mungkin karena umurku yang lewat dari 35 tahun (waktu itu umurku telah menginjak 36 tahun), mungkin karena TOEFL ITP-ku yang sudah kedaluwarsa (sudah lewat dari 2 tahun), atau mungkin karena LoA-ku yang datang terlambat. Tapi aku yakin, Tuhan telah menyiapkan rencana yang terbaik untukku nanti.  Akhirnya, dengan berat hati aku mohon maaf pada Prof Jane Memmott bahwa aku tidak jadi menempuh S3 di UoB karena tidak mendapatkan beasiswa dari pemerintahku.  Tetapi, aku mengatakan bahwa aku masih punya mimpi untuk bertemu beliau di Bristol.
Jalan untuk meraih mimpiku ternyata adalah kampus UGM. Ya, karena di tahun yang sama aku diterima studi S3 di kampus tersebut dengan beasiswa dari BPPS.  Beasiswa dari DIKTI tersebut khusus untuk studi S2/S3 di dalam negeri. Untuk mahasiswa S3 dalam negeri, DIKTI memberikan kesempatan untuk menyelesaikan sebagian disertasinya di luar negeri melalui proses seleksi.  Program tersebut disebut program sandwich. Inilah peluang yang harus aku raih.
Aku berusaha menyelesaikan tahap-tahap studi S3-ku di UGM sesuai time schedule alias tepat waktu. Alhamdulillah suamiku sangat mendukungku. Dalam waktu setahun aku telah menyelesaikan seluruh SKS teori dengan tugas-tugasnya serta ujian komprehensif.  Setahun berikutnya aku selesaikan risetku.  Maka, di awal Tahun 2010 tibalah saatnya aku mendaftarkan diri untuk mengikuti seleksi program sandwich. Aku memang kesulitan dalam menganalisis dan menginterpretasikan data riset yang aku dapat, sedangkan aku belum menemukan ahlinya di Indonesia.  Promotorku sendiri menyerahkan padaku untuk menyelesaikan masalah tersebut sendiri. Maka, semakin bulatlah tekadku untuk dapat bertemu Prof Jane Memmot di Bristol.  Itu artinya aku harus berjuang keras untuk mendapatkan beasiswa sandwich tersebut.
Langkah pertama,  mengumpulkan berkas-berkas yang dibutuhkan untuk desk evaluation telah aku lakukan dengan baik, yakni skor TOEFL minimal 500, LoA dari Prof Jane Memmott, surat keterangan telah lulus ujian komprehensif, proposal rencana kegiatan, dan form pendaftaran yang telah diisi lengkap dalam bahasa Inggris. Alhamdulillah aku lulus desk evaluation.  Waktu itu ada 70 pelamar dari UGM, yang lolos hanya 46 orang.  Tibalah saatnya seleksi wawancara yang akan meloloskan hanya 35 peserta saja untuk seluruh UGM.  Kali ini wakil DIKTI dari Jakarta datang ke kampus UGM untuk melakukan seleksi wawancara dalam bahasa Inggris.  Aku sempat hopeless selepas wawancara tersebut. Yang pertama, karena ternyata berkas bukti komunikasiku dengan Prof Jane Memmot yang telah aku kumpulkan ke panitia di UGM tidak terkirimkan ke DIKTI, padahal waktu wawancara itu menjadi hal penting yang dibahas. Yang ke dua, ternyata pengalaman pernah ke luar negeri juga menjadi nilai tambah tersendiri.  Aku tahu rata-rata teman-temanku yang ikut seleksi pernah pergi ke luar negeri, entah untuk short course ataupun ikut suami studi ke luar negeri. Sedangkan aku, saat ditanya apakah aku pernah ke luar negeri, aku pun hanya bisa menjawab pernah, ke Arab untuk melaksanakan ibadah haji  (Pada awal Tahun 2005 aku memang pergi haji bersama suami dan kedua orang tuaku). Saat mendengar jawabanku itu pewawancara sempat tersenyum,   mungkin geli karena jawabanku jauh dari harapan.
Selama beberapa minggu dalam masa penantian hasil seleksi wawancara, aku sangat tertekan.  Aku takut tidak lolos seleksi, padahal harapanku telah melambung tinggi.  Setiap malam di keheningan sepertiga malam terakhir aku bermunajat pada Tuhan, mohon diberikan kesempatan untuk mewujudkan mimpiku.  Dan, Alhamdulillah ternyata aku lolos seleksi.  Aku sangat bersyukur dan bahagia.  Aku larut dalam euforia kebahagiaan karena proses perjuanganku yang panjang telah membuahkan hasil.  Aku juga senang dapat memberikan kebanggaan pada suami, orang tua, adik-adik dan anak-anakku.
Aku mulai mengurus segala persyaratan administratif seperti surat ijin dari UGM dan UNY, paspor dan visa, yang semuanya sangat melelahkan dan menyita banyak waktu. Untuk mengurus visa ke Jakarta, lagi-lagi suamiku dengan setia mengantar dan menemaniku karena aku tidak berani pergi mengurus sendiri.  Aku belum memikirkan bagaimana nanti aku harus pergi ke Inggris sendirian dan harus hidup di sana tanpa keluarga selama hampir 4 bulan. Aku juga belum berpikir bagaimana nanti aku bisa berpisah dengan dua anakku yang masih kelas 5 SD dan TK itu.
Semakin mendekati hari-H keberangkatanku ke Inggris, barulah aku mulai didera stres. Aku ketakutan akan pergi jauh dan hidup sendirian di negeri asing, dan bagaimana dengan anak-anakku nantinya.  Berbagai pikiran buruk berkecamuk dalam otakku. Beberapa hari menjelang keberangkatan aku jatuh sakit, badanku demam tinggi.  Aku bahkan berniat mengundurkan diri, tidak peduli lagi dengan mimpiku. Suamiku akhirnya menenangkanku dan mengingatkanku pada perjuangan panjang dan melelahkan yang telah aku lakukan untuk dapat meraih mimpi itu.  Apakah aku tega untuk menyia-nyiakan kesempatan yang telah diberikan Tuhan kepadaku itu? Bapakku juga memberikan motivasi padaku, mengingatkankanku agar selalu berdoa dan minta pertolongan pada Tuhan.  Bapak mertuaku yang tinggal di kota Malang pun bolak-balik telepon memastikan bahwa aku baik-baik saja dan telah mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik untuk tinggal sendiri di Inggris.  Sebagai seorang yang punya pengalaman bolak-balik ke luar negeri untuk tugas kantor semasa belum pensiun dulu, beliau tentunya paham apa dan bagaimana kehidupan di negara yang akan aku tuju itu. Maka dari itulah beliau ikut khawatir terhadapku.
Di malam menjelang keberangkatanku, keluarga besarku berkumpul di rumahku untuk berdoa bersama.  Bapak memimpin doa bersama untuk  keselamatan dan kemudahan urusanku selama di Inggris nantinya.  Dan, akhirnya tanggal bersejarah itu datang juga.  Pagi itu, hari Senin tanggal 27 September 2010 aku harus meninggalkan keluargaku untuk menuju negeri yang sangat jauh, Inggris. Dari Bandara Adisucipto, Yogyakarta aku dilepas oleh suami dan dua anakku. Aku tak kuasa menahan air mata, di sepanjang perjalanan wajah  anak-anak dan suamiku selalu terbayang. Akhirnya aku hanya bisa pasrah pada kekuasaan Tuhan karena hanya Dia yang bisa jadi penolongku. Aku berusaha menenangkan diri dan selalu berdoa dalam hati.
Setelah menempuh perjalanan sangat panjang dan penuh pergulatan batin dengan rute Yogyakarta – Jakarta – Kualalumpur – Amsterdam - Bristol, akhirnya aku mendarat juga di Bristol Airport.  Entah mengapa, aku mulai tenang dan tidak ada lagi ketakutan dalam hatiku.  Mungkin ini berkat doa dan kepasrahanku yang total pada Tuhan dan juga berkat doa orang tua dan suamiku di Indonesia.  Aku segera mencari taksi dan menuju alamat flat yang telah aku pesan via e-mail. Tanggal 28 September 2010 inilah hari pertama kali aku mendapatkan pengalaman baru, hidup di negeri yang sangat asing dan tidak ada seorang pun yang aku kenal.
Sesampai di flat, semua kekhawatiranku berangsur sirna.  Aku disambut dengan keramahan oleh teman-teman asingku.  Dan hari-hari pun kemudian aku jalani dengan baik, tanpa hambatan yang berarti.  Masalah memang ada, baik yang terkait dengan urusan kampus maupun yang terkait dengan pergaulan teman-teman asingku, tetapi Alhamdulillah semuanya dapat teratasi dengan baik. Komunikasi dengan keluarga di Indonesia juga lancar dengan adanya skype. Suami dan anak-anakku baik-baik saja selama aku tinggalkan.  Segala kondisi di Indonesia juga dapat selalu aku ikuti beritanya lewat internet. Internet memang telah membuat dunia menjadi terasa sempit. 
Kehidupanku di Bristol semakin berwarna ketika aku mulai bertemu dengan teman-teman Indonesia sesama student di Bristol, dan komunitas Indonesia yang menetap di Bristol.  Suasana kekeluargaan dan keakraban sangat kurasakan ketika tengah berada di tengah-tengah komunitas Indonesia, seakan-akan aku bukan sedang berada di Inggris tetapi di Indonesia. Sebulan kemudian aku juga bertemu dengan teman sesama dosen di fakultas MIPA UNY yang sedang menempuh S3 di UoB itu. Lucunya, aku baru kenal dia saat di Bristol, sebelumnya aku belum kenal dan belum pernah bertemu dengan dia sama sekali.
Berbagai pengalaman menarik dan berharga aku temukan selama kehidupanku di Bristol, termasuk pengalaman jalan-jalan. Untuk sedikit melupakan rasa rinduku yang teramat sangat kepada keluarga, aku lakukan dengan jalan-jalan. Ya, dengan menghemat uang beasiswa, week end bagiku adalah kesempatan bagus untuk jalan-jalan menikmati negeri Ratu Elizabeth ini.  Aku puaskan hobi jalan-jalanku menjelajah Bristol dan ke beberapa kota di sekitar Bristol, yakni ke London, Oxford, Chippenham, Salisbury, Bath, dan sebuah pantai di Weston Super Mare.  Bahkan aku sempat bertemu dengan Bapak Jusuf Kalla (JK) dan berfoto bersama beliau saat aku berkunjung ke kampus Oxford. Tentu saja aku tidak pergi jalan-jalan sendirian karena aku Si Penakut ini tidak akan berani.  Tuhan selalu saja memberiku teman sehingga selalu saja ada teman bagiku untuk jalan-jalan.

Akhirnya, aku begitu bersyukur karena Tuhan memantapkan hatiku sehingga aku tidak jadi mengundurkan diri waktu itu, karena ternyata semua kekhawatiran dan ketakutanku tidak terbukti. Dan, yang terpenting adalah aku mendapatkan metode dan software untuk menganalisis data riset disertasiku, metode dan software yang sampai saat ini belum aku temukan ahlinya di Indonesia. Prof Jane Memmott sangat membantuku dalam menguasai metode dan teknik analisis maupun interpretasi data risetku.  Beliau betul-betul helpful dan sangat tertarik dengan risetku, bahkan beliau menawariku kerja sama riset dengan dana dari pemerintah Inggris setelah aku menyelesaikan S3-ku di Indonesia nanti.  Tentu saja tawaran itu aku iyakan.  Alhamdulillah, rasanya segala pengorbananku selama hampir empat bulan jauh dari keluarga terbayar sudah. Berpisah dengan anak-anak yang masih kecil-kecil bagi seorang ibu sepertiku memang sangatlah berat dan merupakan suatu pengorbanan besar. Masih teringat bagaimana di minggu-minggu pertama kehidupanku di Bristol, setiap hari aku chatting di facebook dengan anakku yang sulung sambil berlinang air mata.  Masih teringat selalu kata sapaannya setiap mengawali obrolan di facebook. “Mamah baru ngapain?” Ah, semua pengorbanan itu telah terbayar.
Sampai tiba masa aku harus kembali ke Indonesia, Alhamdulillah semuanya dapat aku lewati dengan baik, karena di mana pun kita berada, pertolongan Tuhan akan selalu ada. Dan, aku Si Penakut ini telah membuktikannya. Tinggallah kini masa bagiku untuk menyusun disertasiku dan menyelesaikan program S3-ku di UGM.  Setelah gelar doktor aku raih, maka tekadku sudah bulat untuk kembali lagi ke Bristol, karena tawaran riset bersama Prof Jane telah menantiku.

(Tien Aminatun, Second floor flat, 2 Hartfield Avenue, Cotham BS6 6DL, Bristol, UK: 10 Januari 2011)