Sabtu, 15 Juni 2013

SEPENGGAL WAKTU DI PONTIANAK



Ini kali ke tiga saya mengunjungi ibukota Provinsi Kalimantan Barat, Pontianak. Bedanya, pada kunjungan pertama dan ke dua di Tahun 1996 silam saya hanya transit semalam sebelum ke Sintang, sedangkan kali ini saya memang khusus ada keperluan ke Pontianak.
Seperti biasa saya selalu ingin menikmati hobi jalan-jalan saya. Maka, saya tidak ingin menyia-nyiakan waktu yang sejenak ini untuk menikmati sekejap kota Pontianak di sela-sela tugas pekerjaan. Sayangnya, hujan deras yang sering mengguyur Pontianak banyak membatasi kebebasan saya menikmati kota ini. Dan, “hanya” inilah yang berhasil saya nikmati selama tiga hari di kota yang dilewati garis khatulistiwa ini.
1. Kuliner Khas Pontianak

 Tidak banyak yang sempat saya cicipi selama di Pontianak, salah satu di antaranya yang berkesan adalah Bakso Sapi 21 di Jalan Putri Candramidi atau Podomoro. Bakso khas Pontianak ini disajikan dengan sayur kecambah dan bumbu kuah yang terasa sangat berbeda dari bakso yang biasa dijual di Jawa, apalagi ketika ditambah dengan perasan jeruk kecil khas Pontianak sebagai pengganti saos...hmmm...terasa semakin nikmat. Warung bakso ini sangat ramai dikunjungi pelanggan pada siang saat saya datang. Untuk minumannya, tidak lupa saya pesan es jeruk besar khas Pontianak yang sangat segar dan manis. Sungguh-sungguh tiada duanya es jeruk besar khas Pontianak ini. Sungguh, sangatlah nikmat minum es ini di tengah udara Pontianak yang terasa sangat panas dibandingkan dengan kota tempat tinggal saya, Yogyakarta. Oleh karena itu, di setiap kesempatan makan di rumah makan, saya selalu memesan es jeruk besar, mumpung berada di Pontianak. Seorang teman saya juga merekomendasikan agar jangan lupa menikmati es jeruk besar sepuasnya selama di Pontianak.
Selain Bakso Sapi 21, tidak lupa pula saya mencoba menu di Rumah Makan Pondok Nelayan, sebuah rumah makan elite yang menyajikan menu aneka masakan dari ikan dengan resep ala Pontianak. Sayangnya, saya tidak begitu merasakan kekhasan dari menu masakan ikannya, untungnya saya bisa puas dengan mencicipi sayur pakis khas Pontianak, dan tentu saja es jeruk besar yang betul-betul telah membuat saya jatuh cinta dengan rasa manis dan kesegarannya yang tiada duanya, yang jauh lebih nikmat dibandingkan  dengan es atau jus jeruk lainnya. Tetapi, berhubung “Pondok Nelayan” ini adalah rumah makan elite, maka harga segelas es jeruk besar di sini jauh lebih mahal dibandingkan dengan di warung “Bakso Sapi 21”. Dengan rasa dan porsi yang sama, saya bisa menikmati es jeruk besar di warung “Bakso Sapi 21” seharga 8000 rupiah saja, sedangkan di “Pondok Nelayan” saya harus membayar 18 ribu rupiah.
Karena tidak ada waktu jalan-jalan untuk berwisata kuliner, maka Hotel Santika tempat saya menginap menjadi harapan saya untuk mencicipi aneka masakan khas Pontianak. Untungnya, hotel yang beralamat di Jalan Diponegoro No.46 ini menyajikan aneka menu khas Pontianak di menu sarapannya. Selama dua kali sarapan di hotel ini, saya sempat mencicipi bubur ikan dan ayam taliwang khas Pontianak, tapi sayangnya saya tidak menemukan es jeruk besar kesukaan saya di sini.
Bubur ikan merupakan nasi yang diberi kuah kaldu berbumbu yang rasanya segar seperti sup, dan fillet ikan kakap segar yang telah direbus sebentar, kemudian disajikan dalam mangkuk.....hmmm....lezat. Sedangkan ayam taliwang khas Pontianak adalah irisan daging ayam bakar yang dibumbu pedas, yang dimakan dengan nasi, gudheg dan perangkatnya, seperti, telur, tahu, sambal goreng krecek, dll. Tetapi bagi saya yang asli Yogya, tentu saja gudheg asli Yogya lah yang paling enak.
2. Berburu Oleh-oleh Khas Pontianak
 Kebiasaan saya adalah harus ada sesuatu yang khas yang bisa saya bawa pulang untuk kenang-kenangan dari tempat-tempat yang saya kunjungi, juga oleh-oleh yang bisa saya bagi ke keluarga, sanak famili, tetangga dan teman-teman. Dan, lokasi yang cocok untuk tujuan ini adalah Jalan Pattimura. Tempat ini adalah pusatnya oleh-oleh khas Pontianak, dengan deretan toko di sepanjang Jalan. Aneka makanan dan barang kerajinan khas Pontianak dan Kalimantan pada umumnya, dijual di sini. Atas rekomendasi seorang teman, saya membeli kopi 5 in 1 bermerk Alicafe, yang merupakan campuran dari kopi, krimer, gula, ginseng, dan Tongkat Ali. Tongkat Ali sendiri adalah bahan herbal yang berkhasiat bagi vitalitas pria. Kopi ini tersedia dalam berbagai pilihan komposisi dan khasiat, ada juga ramuan yang berkhasiat bagi wanita. Kopi ini sebenarnya merupakan produk impor dari Malaysia. Memang banyak produk Malaysia yang membanjiri Pontianak, salah satunya Alicafe ini. Kalimantan sendiri sebenarnya terkenal dengan  kayu “pasak bumi” sebagai peningkat vitalitas pria. Pasak bumi biasa dijual dalam bentuk serpihan kayu ataupun cangkir. Cara meminumnya adalah dengan menyeduh serpihan kayu pasak bumi tersebut seperti minum teh, atau dengan mengisi cangkir kayu pasak bumi dengan air matang, ditunggu beberapa lama, kemudian air tersebut diminum.
Sebagai  oleh-oleh, saya merasa cukup dengan “hanya” membeli Alicafe 5 in 1, manisan lidah buaya kering dan basah, lempok, dan kacang madu dengan jumlah yang saya perkirakan cukup untuk saya bagi-bagikan ke sanak famili, tetangga dan teman-teman di Yogyakarta nanti. Untuk suvenir, aneka perhiasan dan pernak-pernik dari batu khas Kalimantan banyak dijual di pusat oleh-oleh ini, tetapi saya lebih tertarik pada pernak-pernik dan tas dari manik-manik khas Kalimantan Barat. Berhubung saya sudah punya satu tas manik-manik pemberian salah seorang mahasiwa saya yang asli Landak, Kalimantan Barat, maka saya cukup puas membeli sebuah gelang manik-manik sebagai kenang-kenangan.
Sebenarnya ada satu tempat yang menyediakan oleh-oleh khas Pontianak khusus daun lidah buaya baik yang masih segar maupun yang telah diolah, yaitu di Jalan Budi Utomo. Tetapi, karena saya sudah terlanjur membeli oleh-oleh manisan lidah buaya di Jalan Pattimura, maka saya hanya lewat saja di Jalan Budi Utomo ini, untuk sekedar tahu bahwa ada pusat penjualan oleh-oleh khusus lidah buaya di daerah ini.
3. Keliling-keliling Kota
Acara keliling kota saya lakukan setelah acara tugas di Badan Lingkunagn Hidup (BLH) Propinsi Kalimantan Barat telah selesai saya laksanakan. Kantor BLH Pontianak ini menjadi satu gedung dengan Kantor Gubernur Kalimantan Barat, tepatnya di belakangnya, yaitu di Jalan Ahmad Yani. Di Jalan Ahmad Yani ini pula terdapat kampus Universitas Tanjung Pura (Untan). Jalan Ahmad Yani memang merupakan pusat kota Pontianak. Acara keliling kota dengan mobil saya lakukan karena ingin  menikmati kota Pontianak dengan sepenggal waktu yang saya punya di kota ini, karena saya harus segera kembali pulang ke Yogyakarta esok paginya.
 Dengan berkeliling kota saya bisa  melihat-lihat suasana kota, saya pun jadi tahu bahwa di kota ini pun juga ada alun-alun dan keraton, meskipun arti keraton di sini sangat berbeda dengan keraton di Yogyakarta. Dari berkeliling kota ini saya juga tahu bahwa di Jalan Abdurahman Saleh ada Pontianak Convention Center, dan juga bisa menikmati pemandangan di sekitar Sungai Kapuas yang membelah Pontianak.
4. Tugu Khatulistiwa Landmark Pontianak
 Jika berkunjung ke Pontianak akan terasa hambar tanpa menengok Tugu Khatulistiwa. Sebenarnya tugu ini terletak di luar kota Pontianak, yaitu di daerah Siantan, yang terletak sekitar 20 km dari pusat kota Pontianak. Tetapi karena Tugu Khatulistiwa ini sudah melekat dengan Kota Pontianak, maka landmark Pontianak adalah Tugu Khatulistiwa. Tugu yang asli adalah yang terletak di dalam gedung, sedangkan  yang terletak di  luar gedung adalah tiruannya. Jadi, yang nampak berdiri tegak dan menjadi background potret-potret pengunjung adalah tugu tiruannya.
Di seberang gedung terdapat toko suvenir yang menjual pernak-pernik berbentuk atau bergambar Tugu Khatulistiwa. Tetapi, yang paling saya sukai dari Tugu Khatulistiwa ini adalah pemandangan Sungai Kapuas. Ya, karena Tugu Khatuslistiwa ini terletak di tepi Sungai Kapuas, hanya berjarak sekitar 50 meter. Sayangnya, saat saya berkunjung hujan sedang mengguyur sangat deras, sehingga saya tidak bisa mengulang momen Tahun 1996 silam, berfoto di depan tugu khatulistiwa dan berjalan-jalan di tepi Sungai Kapuas.
Itulah sepenggal waktu yang bisa saya nikmati di Pontianak. Saya berharap masih bisa menikmati lagi kota ini di penggal waktu yang lain dengan lebih puas.

Pontianak; Senin-Rabu, 3-5 Juni 2013

Rabu, 12 Juni 2013

JEJAK PRASEJARAH INGGRIS DI STONEHENGE DAN OLD SARUM: Jejak-jejakku di UK 2)



  Setelah puas menjelajah beberapa kota terkenal di Inggris selama tinggal di Bristol, maka week end kali ini saya mencoba sebuah destinasi dengan suasana yang sangat berbeda, yakni Stonehenge dan Old Sarum yang terletak dalam satu jalur wisata sejarah. Mengapa berbeda?  Karena dari Stonehenge dan Old Sarum lah saya dapat menapak tilas kerajaan Ratu Elizabeth ini di masa lampau. Selain itu, suasana perdesaan yang khas Inggris dengan lahan pertanian dan peternakan yang berhektar luasnya, sangatlah memanjakan mata. Apalagi, hamparan rumput hijau dan tebal bagaikan permadani juga menjadi pemandangan yang sangat indah di Old Sarum. Hembusan angin dingin dan rintikan hujan di awal musim dingin, tidak menjadi halangan bagi saya untuk menikmati suasana alam perdesaan Inggris sembari membiarkan pikiran saya berkelana di kehidupan masa prasejarah.
 Banyak Kisah di Balik Stonehenge
Sebelum ke Old Sarum, terlebih dulu saya menuju Stonehenge. Stonehenge termasuk dalam county Wiltshire atau sekitar 13 km di utara kota Salisbury. Setiap pengunjung dibekali sebuah alat genggam untuk mendengarkan rekaman tentang kisah keberadaan Stonehenge sambil mengelilingi bangunan prasejarah ini. Pengunjung tidak boleh mendekat, tetapi harus berkeliling di luar lingkaran tali pembatas dan menikmati Stonehenge dari jarak sekitar 3-5 meter. Saya pun mengelilingi situs ini sambil berpayung ria di tengah rintikan hujan.
Situs prasejarah yang berupa bangunan batu-batu besar yang berdiri tegak dalam posisi melingkar di atas tanah ini, merupakan pusat dari kompleks monumen jaman Neolotik dan Perunggu di Inggris. Menurut perkiraan para arkeolog,  monumen batu yang ikonik ini dibangun antara Tahun 3000 SM sampai 2000 SM. Situs ini oleh UNESCO telah ditetapkan sebagai warisan dunia sejak Tahun 1986.
Banyak kisah di balik keberadaan Stonehenge. Bukti arkeologis yang ditemukan oleh Stonehenge Riverside Project pada Tahun 2008 menunjukkan bahwa Stonehenge kemungkinan besar adalah sebuah kompleks pemakaman, ditunjukkan dengan adanya sisa kremasi yang berupa tulang-belulang manusia, dengan hasil penanggalan karbon yakni 3000 SM. Pendapat lain menyatakan bahwa Stonehenge dibangun untuk menyatukan bekas suku-suku yang berperang di Inggris pada jaman Megalitikum, yang dengan dibangunnya Stonehenge maka dimulailah sebuah negara kerajaan Inggris (United Kingdom) setelah berabad-abad terjadi perselisihan antar suku. Kisah lain menyebutkan bahwa  pembangunan Stonehenge dipengaruhi oleh makhluk asing luar angkasa,  Mesir Kuno, ataupun terkait dengan penyembahan matahari oleh kaum Pagan modern. Tetapi sebagian ilmuwan menolak teori ini.  
Batu-batu Stonehenge juga dipercaya sebagai lambang nenek moyang dari berbagai klan petani dari awal sampai menjelang akhir jaman batu. Stonehenge menunjukkan semangat baru dan kerja sama karena pembangunan monumen batu ini merupakan pekerjaan besar yang membutuhkan ribuan tenaga kerja untuk memindahkan batu-batu dari tempat yang jauh, kemudian membentuk dan mendirikannya di tempat tersebut. Situs prasejarah ini juga dianggap sebagai sumbu antara arah matahari terbit pada pertengahan musim panas dan matahari terbenam pada pertengahan musim dingin. Stonehenge juga dianggap sebagai napas terakhir budaya jaman batu di Eropa sebelum beralih ke teknologi baru peralatan logam.
Saya tak begitu peduli dengan beragam versi tentang kisah di balik keberadaan Stonehenge itu, tetapi semua kisah tersebut telah membangkitkan rasa penasaran saya untuk berkunjung. Dan, ternyata di negara maju pun saya bisa menjumpai sebuah situs prasejarah dengan suasana yang sangat berbeda dengan yang biasa saya temui di Indonesia.
Old Sarum, Asal Mula Kota Salisbury  
Setelah puas dengan Stonehenge, saya menuju Old Sarum. Letak Old Sarum tidak jauh dari Stonehenge, yakni pada bukit yang terletak sekitar 3 km sebelah  utara kota Salisbury, sejalan dengan situs Stonehenge yang jaraknya sekitar 10 km lebih jauh. Kisah tentang Old sarum sangat menarik dan dapat saya telusuri dari tulisan dan gambar-gambar yang terpampang pada panel di beberapa titik lokasi di tempat wisata ini.
Tempat ini merupakan jejak peninggalan bangsa Romawi, Normandia dan Saxon. Old Sarum yang berasal dari bahasa Latin, Sorviodunum, merupakan tempat permukiman awal nenek moyang masyarakat Salisbury sejak Tahun 3000 SM.  Old Sarum awalnya adalah sebuah benteng dari jaman besi yang mempunyai posisi strategis di antara 2 rute perdagangan dan Sungai Avon. Benteng yang berupa bukit ini berbentuk oval dengan panjang 400 meter dan lebar 360 meter, terdiri atas tanggul ganda dan parit di antaranya, dengan pintu masuk di sisi timur.
Tempat ini dulunya oleh orang Romawi disebut kota Sorviodunum. Selama pendudukan Romawi di Inggris antara Tahun 43 dan 410, tempat ini menjadi stasiun militer, sedangkan orang-orang Saxon menggunakan tempat ini sebagai benteng melawan perampok Viking. Setelah penakhlukan, sekitar Tahun 1069, orang-orang Normandia membangun dinding batu dan sebuah kastil yang ditempatkan sebagai pusatnya, dan dilindungi oleh parit kering yang dalam. Tempat ini pun berganti nama menjadi Sarisburia, yang menjadi asal-usul nama Sarum dan Salisbury. Sebuah istana kerajaan dibangun dalam kastil untuk Raja Henry I dan selanjutnya digunakan oleh wangsa Plantagenet. Sebuah katedral dan kediaman uskup dibangun di ujung barat kota antara Tahun 1075 dan 1092. Namun, pada Tahun 1219 katedral dihancurkan dan dibangun yang baru di dekat sungai yang menyebabkan penduduk kota pun pindah ke kota baru, yang kemudian disebut New Salisbury atau New Sarum. Akhirnya, pada abad ke-19, permukiman Old Sarum ini secara resmi tidak berpenghuni, dan kehidupan pun berpindah ke Salisbury sampai sekarang.
Suvenir
Di lokasi wisata Stonehenge terdapat sebuah toko suvenir resmi yang menyediakan pernak-pernik bergambar Stonehenge dengan berbagai macam harga. Sebagai kenang-kenangan, saya pun membeli suvenir yang harganya sesuai dengan isi kantong saya, yakni beberapa magnet kulkas dari bahan batu berornamen Stonehenge, serta pensil dan rautan yang juga bergambar Stonehenge, dengan harga berkisar antara 2,5 – 5 pounds. Satu pounds hampir setara dengan lima belas ribu rupiah. Tetapi, toko suvenir yang terdapat di Old Sarum lebih banyak menyediakan pernak-pernik tiruan alat berperang dari masa lalu, seperti busur dan anak panah, meskipun saya tetap bisa menemukan magnet kulkas bergambar Old Sarum dari bahan logam.
Hal yang perlu diingat adalah di lokasi dua situs ini tidak terdapat rumah makan yang menyediakan makanan berat yang dapat mengenyangkan perut. Hanya ada kedai minuman di Stonehenge, malah di Old Sarum tidak ada. Saya pun memesan segelas teh hangat seharga 1,5 pounds untuk sekedar menghangatkan badan setelah jalan-jalan mengelilingi Stonehenge di tengah gerimis hujan. Untuk mengganjal perut, kentang dan telur rebus yang saya bawa dari flat sebagai bekal sudah cukup menjadi makan siang saya.
Naik Apa, Habis Berapa?
Salisbury adalah kota terdekat dari Stonehenge dan Old Sarum. Berhubung saya sedang tinggal di Bristol untuk urusan sekolah, maka saya dan beberapa teman berangkat dari stasiun Bristol Temple Meads dengan kereta api menuju stasiun Salisbury, pukul 10 waktu setempat. Perjalanan dengan kereta api ini membutuhkan waktu  sekitar 1 jam 15 menit. Sebenarnya harga tiket kereta api ini 19,40 pounds, tetapi dengan membeli paket untuk 3 orang harganya bisa lebih murah, sehingga saya dan 2 teman saya hanya membayar 17 pounds per orang.
Jika naik kereta api dari London, lebih mudah berangkat dari Stasiun Waterloo dengan harga tiket 34,70 pounds dan hampir setiap jam ada kereta api yang berangkat dari Stasiun Waterloo menuju Stasiun Salisbury. Atau bisa juga mengambil paket perjalanan London-Stonehenge dengan shuttle bus seharga 35 pounds. Jarak tempuh London – Salisbury dengan kereta api sekitar 1,5 jam, tetapi jika ditempuh dengan bis memakan waktu lebih lama, yakni 2 jam.
Sampai di Stasiun Salisbury, saya dan teman-teman memilih paket wisata bersama bis wisata yang khusus melayani rute wisata ke Stonehenge dan Old Sarum. Kami mengambil paket tur Stonehenge plus Old Sarum yang berharga 18 pounds, tetapi berhubung saya menunjukkan kartu mahasiswa saya dari University of Bristol, maka saya mendapatkan harga khusus siswa yakni 15 pounds. Harga paket tersebut sudah termasuk tiket masuk ke Stonehenge. Bisa juga memilih paket khusus Stonehenge dengan harga 11 pounds atau paket Stonehenge plus Old Sarum dan Katederal dengan harga 22 pounds.
Bis wisata ini berangkat dari Stasiun Salisbury setiap satu jam sekali, dan memulai pelayanan dari pukul 10 pagi sampai Stonehenge tutup di sore hari. Jam buka Stonehenge pada bulan November (musim dingin) saat kami berkunjung adalah dari pukul 09.30 – 16.00 waktu setempat. Setelah 30 menit naik bis, kami sampai di Stonehenge. Kami ditinggalkan di tempat ini untuk menikmati Stonehenge sepuasnya.  Setelah puas, barulah kami menunggu bis jemputan yang datang setiap satu jam sekali, dan tak lupa pula kami turun di Old Sarum.  Setelah puas di Old Sarum, kami pun kembali menunggu bis jemputan untuk kembali ke Stasiun Salisbury dan berakhirlah paket wisata ini.
Untuk akomodasi, karena saya sedang tinggal di Bristol, maka saya tidak perlu pusing memikirkan penginapan. Tetapi jika ingin menginap, cukup banyak hotel dan penginapan di Salisbury. Booking hotel biasa dilakukan melalui internet, dan seringkali hotel menyediakan diskon khusus untuk hari-hari tertentu. Untuk hotel berbintang, tarif per malam sudah termasuk sarapan pagi, di atas 120 pounds, tetapi cukup banyak pula hotel dengan tarif  yang jauh lebih murah, yakni antara 30 - 50 pounds per malam. Kebanyakan wisatawan yang datang dari London tidak menginap, karena bisa menikmati destinasi wisata ini dalam satu hari. 
Untuk urusan makan, cukup banyak restoran di Salisbury. Dengan mengeluarkan uang antara 5-10 pounds, sudah cukup membuat perut kenyang. Sebenarnya makanan yang khas dari Salisbury adalah daging yang dimasak ala Spanyol, tetapi saya jelas meragukan kehalalannya. Lebih baik mencari makanan vegetarian. Saya sendiri tidak begitu pusing dengan urusan makan ini karena sudah membawa bekal kentang dan telur rebus dari flat.
Visa
Inggris tidak masuk ke dalam negara Uni Eropa, jadi tidak berlaku visa schengen. Cukup sulit mengurus visa Inggris, karena negara ini termasuk yang mengharuskan pemohon visa untuk datang langsung di kedutaan Inggris di Jakarta untuk wawancara dan foto. Perlu hati-hati dalam mengajukan jenis visa, karena salah dalam memilih jenis visa bisa berakibat permohonan visa ditolak.  Saya mengajukan visa untuk visiting student yang berlaku 6 bulan.  Saya memilih meminta bantuan agen dalam mengurus visa. Dengan membayar 1 juta 250 ribu rupiah untuk biaya visa plus agen, saya cukup terbantu terutama dalam menentukan jenis visa yang harus saya pilih dan juga saya tidak perlu wawancara sampai mendetail saat di kedutaan.


Titien DJ; 27 September 2010 – 10 Januari 2011
“Jejak-jejakku di UK” : kumpulan kisah perjalanan selama tinggal di UK



Senin, 10 Juni 2013

PESONA KOTA TUA BATH DI KALA MUSIM GUGUR: Jejak-jejakku di UK 1)

  Musim gugur identik dengan daun-daun pepohonan berwarna kuning keemasan, dan semilir angin dingin yang menggugurkan daun-daun tersebut sehingga membentuk laksana permadani kuning di atas tanah.  Pemandangan khas musim gugur itu bagi saya terasa begitu sensasional, apalagi dengan menikmatinya di Bath, sebuah kota tua di Inggris yang setiap tahunnya dikunjungi oleh lebih dari 3 juta wisatawan.

Bath adalah sebuah kota di wilayah Somerset yang terletak di bagian barat daya Inggris, terletak sekitar 156 km di sebelah barat London dan 21 km di sebelah tenggara Bristol.  Bagi saya yang sedang tinggal di Bristol, sangatlah mudah  untuk mencapai Bath.  Naik kereta api adalah pilihan yang paling mudah dan nyaman, dengan waktu tempuh hanya 12 menit dari stasiun Bristol Temple Meads ke stasiun Bath Spa. 

Dalam sejarahnya, kota Bath pertama kali didirikan oleh kekuasaan Romawi pada Tahun 43M sebagai suatu kota spa dengan nama Latin Aqua Sulis.  Sulis adalah nama seorang dewi yang dipuja oleh bangsa Romawi, sehingga Aqua Sulis berarti air yang berasal dari Dewi Sulis.  Dengan adanya  sumber air panas alami (hot spring) di lembah Sungai Avon di sekitar bukit Bath, bangsa Romawi membangun tempat-tempat pemandian yang berasosiasi dengan kuil pemujaan. Selama bertahun-tahun kemudian, kota ini terkenal sebagai kota spa selama era Georgia, yang menyebabkan ekspansi besar-besaran dan meninggalkan warisan arsitektur Georgia. Oleh karena itulah, sampai sekarang kota Bath dikenal dengan nama Bath Spa. Meski pada akhir abad ke-4 atau sekitar Tahun 410 kekuasaan Romawi di Inggris berakhir dan  tempat-tempat pemandian mengalami masa keruntuhan, tetapi penggunaan sumber mata air panas tetap berlanjut hingga kini.  Sisa-sisa kejayaan kota Romawi itu ditemukan kembali pada abad ke-18, dan hingga kini dapat disaksikan secara eksklusif di Roman Baths Museum, yang menyimpan artefak  dari kota Romawi, sisa-sisa kuil pemujaan dan pemandian Romawi (Roman Bath) itu sendiri. 
Karena menyimpan nilai sejarah dan gedung-gedung kuno berasitektur antik dan romantik peninggalan bangsa Romawi, kota Bath telah ditetapkan sebagai situs warisan dunia (World Heritage Site) pada tahun 1987.  Selain Roman Bath, bangunan tua lainnya yang dilindungi adalah Bath Abbey, The Royal Crescent Building,  dan jembatan Pulteney (Pulteney Bridge) yang melintas di atas Sungai Avon dengan bendungannya yang kuno.

Bath Abbey adalah sebuah gereja biara Santo Petrus dan Santo Paulus, yang didirikan pada abad ke-7, kemudian direorganisasi pada abd ke-10 dan dibangun kembali pada abad ke-12 dan ke-16.  Gereja ini merupakan salah satu contoh terbesar dari arsitektur Gothic.  Gereja besar ini mampu menampung 1200 kursi dan merupakan tempat yang aktif untuk beribadah dengan ratusan anggota jemaat dan ratusan ribu pengunjung setiap tahunnya.

The Royal Crescent Building, merupakan bangunan berasitektur Georgian yang sangat antik, berbentuk lengkung seperti bulan sabit, dan ada kekontrasan bentuk bangunan antara bagian depan yang merupakan area publik, dan bagian belakang yang merupakan area pribadi.  Bangunan ini adalah area permukiman/apartemen yang terdiri dari 30 rumah dalam posisi bulan sabit, dirancang oleh arsitek John Wood the Younger, dibangun antara Tahun 1767 dan 1774, dan termasuk ke dalam daftar salah satu bangunan yang dilestarikan.  Rumah-rumah tersebut telah menjadi tempat tinggal bagi banyak orang terkemuka selama lebih dari 200 tahun. Beberapa perubahan telah terjadi, yakni beberapa rumah telah menjadi flat dan perkantoran.  Gedung ini telah menjadi lokasi beberapa film dan program televisi. Dalam sejarahnya, apartemen ini sebelumnya bernama The Crescent.  Kata Royal ditambahkan sebagai pengingat bahwa pada akhir abad ke-18 seorang bangsawan kerajaan Inggris, Pangeran Frederick, yang bergelar Duke of York and Albany, tinggal pada apartemen nomor 1 dan 16 gedung ini.
Selain Bath Abbey dan The Royal Crescent Building, pemandangan artistik dan romantik juga dapat dinikmati dari atas jembatan Pulteney (Pulteney Bridge).  Dari atas jembatan kuno ini saya dapat menikmati Sungai Avon yang melintasi kota Bath dengan bendungan kunonya, serta hamparan pohon-pohon menguning di tepian sungai. Sungguh-sungguh mempesona dan mengundang sensasi tersendiri, apalagi saat air sungai memantulkan cahaya matahari senja dan membentuk bayangan pohon-pohon di tepi sungai yang indah.

Pemandangan yang tak kalah mempesona adalah pemandangan di sepanjang Kanal Kennet & Avon. Kanal ini disebut sebagai jalur air yang terindah di Inggris, memanjang sejauh 86 mil antara Bristol dan Reading melalui Bath.  Di sepanjang tepi kanal terdapat sebuah rute off road sepanjang 13 mil antara kota Bath dan Bristol.  Jalur ini disediakan bagi pejalan kaki dan pesepeda, serta disediakan juga bagi pengguna kursi roda.  Jalur ini sangat berarti karena merupakan jalur rekreasi yang menarik dan koridor bagi berbagai satwa liar (wildlife). Di sepanjang tepi kanal ini banyak terdapat pohon maple tua yang sangat besar, dan guguran daun-daunnya di musim gugur ini membentuk hamparan laksana permadani kuning keemasan.  Sungguh menimbulkan sensasi tersendiri saat saya berfoto di bawah pohon-pohon besar yang menguning itu. 
Seharian menikmati kota Bath telah cukup membuat saya menembus batas melayang ke masa lalu ke era kejayaan bangsa Romawi, dengan ditemani pesona daun-daun kuning pohon maple yang berguguran ditiup semilir angin dingin musim gugur. Tak lupa pula saya membeli suvenir khas kota Bath, yakni sabun spa buatan tangan yang harumnya begitu menggoda, sambil membayangkan saat memakai sabun itu nanti saya akan serasa mandi di Roman Bath tempo dulu. 

Titien DJ; 27 September 2010 – 10 Januari 2011
“Jejak-jejakku di UK” : kumpulan kisah perjalanan selama tinggal di UK