Jumat, 24 Januari 2014

KEMEGAHAN GUNUNG API PURBA NGLANGGERAN


Menurut cerita, Gunung Nglanggeran yang terletak di Desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunung Kidul ini adalah sebuah gunung api purba yang pernah aktif puluhan juta tahun yang lalu, sehingga litologinya tersusun oleh fragmen material vulkanik. Gunung purba ini mempunyai dua puncak, barat dan timur, serta sebuah kaldera di tengahnya. Saat ini yang dapat dilihat adalah deretan gunung batu raksasa dengan pemandangannya yang eksotik. Banyak bongkahan batu besar yang menjulang dengan megahnya, dengan aneka bentuk dan diberi nama yang unik-unik sesuai dengan cerita rakyat yang berkembang di desa ini, ada yang bernama Gunung Lima Jari, Gunung Kelir, Gunung Blencong, Gunung Bagong, dan Gunung Buchu. Ketinggian gunung-gunung itu antara 200 – 700 m dpl. Penasaran dengan cerita tentang keelokan Gunung Api Purba Nglanggeran tersebut, saya pun mengajak keluarga untuk mencoba menapakinya di suatu hari libur. 

Lokasi Desa Nglanggeran tidak begitu jauh dari Yogyakarta, hanya sekitar 25 km. Aksesnya pun cukup mudah, karena meski terletak di daerah pegunungan tetapi kemiringan jalannya relatif tidak curam. Dua kali kami melongok Nglanggeran. Kali pertama, kami hanya berhenti di depan pintu gerbangnya saja, belum berniat untuk menapakinya. Kali ke dua, barulah kami mencoba memasuki pintu gerbangnya. Waktu kami datang, hari habis hujan sehingga jalur pendakian licin dan berlumpur. Banyak orang yang turun dari puncak terlihat kotor berlepotan lumpur, sehingga saya memutuskan tidak ingin mendaki sampai puncaknya. Tetapi, jika ingin mendaki sampai puncak, diperlukan waktu antara 1,5-2 jam, tergantung kecepatan mendakinya.
Meski tidak sampai puncak, perjalanan kami yang singkat mendaki Gunung Nglanggeran telah mendapati pemandangan yang eksotis. Kami seakan tenggelam di antara gunung-gunung batu raksasa. Untuk mendaki gunung ini, pihak pengelola telah menyiapkan track untuk mempermudah pengunjung. Papan penunjuk jalan pun tersedia. Gardu pandang maupun gardu-gardu tempat sejenak melepas penat atau sekedar duduk-duduk pun tersedia. Tetapi, hal yang perlu diingat adalah begitu memasuki pintu gerbang tempat ekowisata ini maka kita tidak akan menemukan seorang pun pedagang, karena Karang Taruna Desa Nglanggeran selaku pengelola obyek wisata ini tidak membolehkannya. Jadi, perlu menyiapkan bekal makanan, terutama air minum yang cukup jika ingin mendaki sampai puncak, mengingat udara di lokasi ini cukup panas. 
Banyak kegiatan yang ditawarkan di sini; pendakian siang maupun malam hari, rafting, outbond, panjat tebing, atau berkemah. Pihak Karang Taruna Desa Nglanggeran selaku pengelola menyediakan jasa pemandu untuk semua kegiatan tersebut. Setiap paket kegiatan ada harga tersendiri, sedangkan jika hanya ingin menjelajah sendiri tanpa pemandu (karena sebenarnya menjelajah sendiri tidak sulit dengan adanya papan penunjuk jalan dan papan peta lokasi di dekat tangga masuk) pengunjung hanya dikenakan biaya tiket masuk sebesar 5000 rupiah, dan gratis untuk anak-anak. Bagi yang membawa mobil, maka biaya parkirnya juga 5000 rupiah. Pembayaran semua biaya tersebut dilakukan terpadu di loket khusus pembayaran yang terletak sekitar 50 meter dari pintu masuk Gunung Nglanggeran. Karang Taruna desa tersebut tampak profesional dalam mengelola kegiatan ekowisata ini. Semua itu berkat Bank Mandiri yang telah memberikan bantuan dana untuk pembangunan fasilitas maupun pembinaan manajerialnya.
Paket ekowisata Desa Nglanggeran mencakup dua lokasi, yaitu Gunung Api Purba Nglanggeran dan Embung Nglanggeran. Keduanya sama-sama dikelola oleh Karang Taruna Desa Nglanggeran. Oleh karena itu, tak lengkap rasanya jika kami tidak mampir ke embung. Tetapi, untuk memasuki lokasi embung, kami harus membayar tiket masuk lagi sebesar 3000 rupiah per orang dan parkir mobil 5000 rupiah. Jarak lokasi embung dari gunung api purba sekitar 2 km sehingga harus menggunakan kendaraan untuk berpindah dari lokasi gunung api purba ke embung. Perlu diketahui bahwa jalanan yang harus dilalui untuk menuju lokasi embung berkelok-kelok dan curam, sehingga kondisi kendaraan harus fit dan driver-nya pun harus ahli.
Embung Nglanggeran yang dapat dilihat dari puncak Gunung Api Purba Nglanggeran ini merupakan telaga yang terletak di puncak bukit. Sebelum dibangun menjadi embung dan diresmikan oleh Sultan HB X pada 19 Februari 2013, tempat ini dulunya adalah sebuah bukit bernama Gunung Gandu. Bukit tersebut lantas dipotong dan dikeruk, kemudian dijadikan telaga tadah hujan supaya bisa mengairi kebun buah berhektar-hektar yang ada di sekitarnya. Ya, di sekitar Embung Nglanggeran memang telah dirintis kebun buah, di antaranya; mangga, rambutan, durian dan manggis. Tentu saja waktu kami ke sini, kebun buah ini belum menampakkan hasilnya karena pohon-pohonnya masih kecil-kecil, belum saatnya berbuah. Selain berasal dari air hujan, embung ini juga menampung air dari Sumber Sumurup yang terletak di Gunung Nglanggeran.
Perlu energi cukup untuk mencapai embung, karena dari lokasi parkir kendaraan menuju embung harus mendaki puluhan anak tangga yang berkelak-kelok. Sensasi tempat wisata ini adalah pengunjung bisa melihat pemandangan kota Wonosari dari atas bukit ini. Embung yang tidak seberapa luas ini meski ditaburi ikan tetapi tidak boleh dipancing, juga tidak bisa diarungi dengan sampan atau wahana air lainnya. Jadi, pengunjung cukup berjalan kaki mengitarinya saja, atau berfoto-foto ria di dekatnya.
Sama seperti Gunung Api Nglanggeran, dari lokasi embung ini pun pengunjung dapat menikmati keindahan sunset. Sayangnya, saat kami ke embung, hari menjelang gelap, sehingga kami tidak bisa berlama-lama berada di sini, mengingat medan jalan pulang yang akan kami lalui sangat sulit, serta penerangan di sepanjang jalan yang curam dan berkelok-kelok itu juga belum ada. 
Satu hal yang belum ada di lokasi wisata ini adalah tempat penjualan suvenir khas Nglanggeran. Pada umumnya wisatawan ingin membawa pulang sesuatu yang khas sebagai kenang-kenangan. Untungnya, di antara jarak gunung api dan embung terdapat “Nglanggeran Mart” yang menjual aneka produk makanan khas Nglanggeran yang bisa dibeli sebagai oleh-oleh, seperti jamu instan, mlanggeng, ceriping pisang, dodol pandan, dan dodol kakao. Di antara sekian produk itu, yang paling khas adalah dodol kakao. Rasanya khas beraroma kakao. Ya, memang di Desa Nglanggeran banyak tanaman kakao sebagai tanaman unggulan desa ini. Sayangnya, saat kami datang “Nglanggeran Mart” yang merupakan hasil sumbangan dari Bank Mandiri ini sedang tutup. Untungnya, saya yang pernah mengadakan kegiatan Pengabdian pada Masyarakat (PPM) di desa ini mengenal ibu-ibu pengurus Nglanggeran Mart, sehingga saya tetap bisa mendapatkan dodol kakao kesukaan saya.
Pulang dari Nglanggeran, tidak lengkap rasanya jika tidak mampir ke Bukit Patuk untuk menikmati makanan di deretan rumah makan yang menyajikan eksotisme pemandangan Kota Yogyakarta dari atas bukit. Langganan kami adalah “Restoran Bukit Bintang” yang relatif murah, nyaman dan masakannya juga enak. Lebih eksotik lagi jika menikmatinya di senja hari saat sunset atau di malam hari sambil memandangi kerlap-kerlip cahaya lampu yang menerangi Kota Yogyakarta. Itulah sensasinya...

Nglanggeran, Gunung Kidul; 14 Januari 2014

Selasa, 14 Januari 2014

EKSOTISME LOMBOK PERPADUAN KEINDAHAN ALAM DAN KEUNIKAN BUDAYA: Sebuah Catatan Perjalanan Keluarga



   Ini kali ke dua saya sekeluarga mengadakan traveling ke Pulau Lombok, sebuah pulau yang merupakan satu dari dua pulau besar yang dimiliki oleh Propinsi Nusa Tenggara Barat. Pulau lainnya adalah Sumbawa. Dalam traveling kali ini kami berkesempatan mengunjungi kedua pulau tersebut sekaligus dalam 10 hari trip. Tetapi, kali ini saya hanya akan menuliskan cerita tentang Pulau Lombok saja, cerita tentang Pulau Sumbawa akan saya sajikan dalam tulisan tersendiri.
Sebenarnya, ini merupakan tulisan saya yang ke-2 di bog ini yang bercerita tentang Lombok. Pada tulisan pertama yang berjudul “Ekspedisi Keluarga ke Pulau Lombok”, telah saya ceritakan sebagian eksotisme pulau ini. Nach, tulisan ke-2 ini akan melengkapi cerita tentang pesona dan eksotisme Pulau Lombok yang telah saya tulis sebelumnya.
Eksotisme Pulau Lombok didukung oleh dua hal, yaitu keindahan alam terutama pantai-pantainya, dan keunikan budayanya. Berikut akan saya ceritakan hasil petualangan saya sekeluarga selama 10 hari traveling di Propinsi Nusa Tenggara Barat ini.


1. EKSOTISME PANTAI SENGGIGI DAN GILI TERAWANGAN, DUA IKON PULAU LOMBOK
Gili merupakan sebutan bagi pulau kecil oleh masyarakat Lombok. Cukup banyak gili yang digalakkan  menjadi destinasi wisata Lombok, salah satu yang sangat terkenal dan menjadi ikon wisata Lombok adalah Gili Terawangan. Saking terkenalnya hingga banyak sekali situs asing berbahassa Inggris yang menjual paket wisata ke Gili Terawangan.
Karena selama berada di Lombok saya sekeluarga menginap di guest house milik Balai Budidaya Laut (BBL) di Sekotong, maka untuk menuju Gili Terawangan kami berangkat pagi-pagi dari Sekotong. Perjalanan kami mampir ke kota Mataram kemudian naik ke Bukit Malimbu untuk melihat Pantai Senggigi dari kejauhan. Sungguh indah pemandangan Pantai Senggigi dilihat dari atas. Ya, Pantai Senggigi yang merupakan ikon Pulau Lombok di samping Gili Terawangan ini memang keindahannya telah memikat banyak wisatawan, baik domestik maupun asing. Banyak sekali resort maupun hotel tempat menginap para wisatawan di sepanjang pantai, termasuk di bukit Malimbu ini.
Setelah  puas menikmati keindahan Pantai Senggigi dari atas bukit, perjalanan kami lanjutkan ke Teluk Nare untuk menyeberang ke Gili Terawangan. Perjalanan dari Sekotong ke Teluk Nare ini memakan waktu sekitar dua setengah jam. Selain Teluk Nare, wisatawan juga bisa memilih menyeberang dari Bangsal. Dari Teluk Nare kami menyewa slow boat yang bisa memuat lebih banyak orang daripada speed boat, karena kami total bersembilan belas orang dalam trip ini. Harga sewa slow boat adalah 400 ribu rupiah sekali jalan.
Penyeberangan dari Teluk Nare ke Gili Terawangan memakan waktu sekitar 45 menit. Sungguh-sungguh perjalanan yang menegangkan dan sensasional, apalagi  ketika slow boat menerjang ombak besar, kami semua seperti terombang-ambing di tengah lautan. Suara teriakanlah yang dapat melepaskan kami dari rasa tegang. Untungnya setiap penumpang dilengkapi dengan jaket pelampung, sehingga membuat kami merasa lebih aman. Selain itu, sebelum slow boat berjalan, kami sudah diwanti-wanti bahwa seberapa pun besar ombak  mengguncang, kami tidak boleh berpindah posisi selama di dalam slow boat, ini untuk menjaga keseimbangan karena boat ini tidak dilengkapi dengan sayap keseimbangan. Dan, wejangan itu kami taati baik-baik.
Sampai di Gili Terawangan waktu telah menunjukkan kira-kira pukul 14 WITA (Waktu Indonesia Bagian Tengah). Kami pun langsung check in di homestay (rumah penduduk). Cukup mahal juga harga penginapan di sini, untuk menyewa sebuah homestay dengan fasilitas 4 kamar tidur, satu kamar mandi, ruang tamu, dan dapur kami harus membayar 2,5 juta rupiah untuk semalam. Itu pun lokasinya cukup jauh dari pantai, sekitar 300 meter. Harga sewa homestay yang berlokasi dekat pantai bisa jauh lebih mahal lagi. Selain homestay untuk bermalam, kami juga menyewa sepeda. Sepeda diperlukan untuk menyusuri pantai dari satu ujung pulau ke ujung lainnya. Harga sewa sepeda adalah 10 ribu rupiah per jam atau paket per hari 25 ribu rupiah.
Pemandangan di Gili Terawangan sangatlah eksotik, pantainya landai, ombaknya besar sehingga sangat cocok untuk berselancar, dan pemandangan pulau-pulau di kejauhan....oh...indahnya. Sayangnya, kebebasan seakan diumbar di sini.  Ya, selama sehari semalam di Gili Terawangan, saya merasa seperti orang asing di negeri sendiri. Pulau kecil ini bak di negeri kulit putih, banyak sekali bule yang berjemur di pantai dengan bikini. Kehidupan malam bak di negara Barat, bahkan lebih barat dari Barat sendiri, dengan klub malam, minuman beralkohol, dan hingar-bingar musik diskotik yang buka 24 jam....wow....seperti bukan sedang di Indonesia. Di malam hari, kita bahkan bisa melihat suasana hingar-bingar diskotik itu sambil jalan-jalan menyusuri jalan di sepanjang pantai tanpa harus masuk ke diskotik, karena pintunya selalu terbuka lebar-lebar. Semua orang pun bisa masuk ke diskotik ini asal bayar.
Deretan pertokoan di sepanjang pantai yang menjual aneka suvenir khas Lombok, rumah makan, dan club malam semuanya memasang tarif berstandar dolar. Belanja apapun di pulau ini terasa sangat mahal dibandingkan di tempat lain. Sebenarnya, sangat asyik dan romantis makan malam dengan aneka menu ala Barat yang tersedia di rumah makan terbuka di sepanjang pantai, tetapi sayang harganya selangit, belum lagi tentang status kehalalannya yang meragukan.
Untungnya, ada dua hal yang menjadi penetral suasana di Gili Terawangan ini, yaitu sebuah pasar rakyat dan sebuah masjid yang cukup megah.  Di pasar rakyat kita bisa menemukan makanan ala Indonesia dengan harga merakyat, misalnya bakso, sate, soto, dan lain-lain dengan harga per porsi 15 ribuan. Sebuah masjid, juga terasa aneh di tengah suasana kebarat-baratan. Di pulau kecil ini kita yang berpakaian rapih dan sopan ala timur akan terasa menjadi minoritas di tengah sliwar-sliwer bule-bule berpakaian minim, belum lagi kalau kita jalan-jalan di tepi pantainya, maka pemandangan perempuan-perempuan bule berbusana minim alias berbikini ria akan menjadi hal yang sangat biasa. Oleh karena itulah, suara adzan yang menggema dari pengeras suara masjid tersebut terasa sangat menyejukkan di telinga saya. Di sinilah saya baru tersadar bahwa saya sedang berada di Lombok, Indonesia, yang mayoritas penduduknya adalah muslim, bukan di negeri para bule itu.
  
2.  KEINDAHAN PANTAI SEKOTONG DAN GITA NADA (GILI NANGGU, TANGKONG,      DAN SUDAK)
Pantai-pantai di Sekotong Lombok Barat sangat indah. Sepanjang perjalanan dari Bandara Lombok Praya menuju Sekotong, kita disuguhi pemandangan pantai-pantai yang sangat indah, apalagi di saat air laut surut. Keindahan ini telah memancing investor asing untuk membangun villa bergaya resort, “Sun Dancer”, di tepi pantai yang sangat indah di Sekotong. Sayangnya, villa yang sudah selesai dibangun beberapa tahun silam tersebut sampai saat ini belum beroperasi karena ada masalah dalam hal kepemilikan.  
Pantai Sekotong juga telah  menjadi tujuan wisata menarik di Pulau Lombok, terutama setelah mulai ramainya wisatawan yang berkunjung ke Gili Nanggu, Tangkong dan Sudak yang harus dijangkau dengan perahu motor dari dermaga Sekotong. Ketiga gili yang biasa disingkat dengan GITA NADA tersebut telah dikelola menjadi destinasi wisata Lombok Barat dan mulai terkenal, meskipun belum sepopuler Gili Terawangan. Dengan menyewa 3 perahu motor bersayap dengan harga 500 ribu rupiah, kami berangkat dari dermaga Balai Budidaya Laut (BBL) Sekotong menuju lokasi ketiga gili. Di sepanjang perjalanan, pemandangannya sangat indah, pemandangan pulau-pulau kecil, Karamba Jaring Apung (KJA) untuk memelihara ikan kerapu, dan pemancing ikan yang menggunakan ban pelampung untuk berdiri di tengah laut.
Hari itu, cukup ramai juga perahu-perahu motor wisatawan yang sama-sama akan menuju ke GITA NADA. Di Gili Tangkong dan Sudak kami tidak mendarat, hanya di Gili Nanggu saja kami mendarat dan memuaskan diri bermain air di pantainya dan menikmati pemandangannya yang indah.  Ketiga pulau tersebut tidak seberapa besar dan luasnya masing-masing hampir sama, tetapi dari ketiga pulau itu yang memiliki penginapan hanyalah Gili Nanggu. Bentuk rumah-rumah penginapannya bergaya rumah adat Suku Sasak, suku asli Lombok, dengan tarif menginap per malam adalah sekitar 300 ribu rupiah. Selama di Gili Nanggu ini wisatawan asing banyak yang snorkeling atau diving di pantainya yang indah untuk melihat pemandangan terumbu karang di bawah air.
 
 
 

 3. KEINDAHAN PANTAI-PANTAI DI LOMBOK TENGAH: KUTA DAN TANJUNG AAN
Pulau Lombok juga punya Kuta, tepatnya di pesisir Kabupaten Lombok Tengah. Oleh karena itulah, pantainya dinamakan Pantai Kuta. Pantainya landai berpasir putih, dan sangat indah pemandangannya. Apalagi dinikmati saat sore menjelang senja. Pemandangan pulau karang kecil yang dapat dijangkau saat air laut surut menambah keindahan pantai ini. Desa Kuta dengan keindahan pantainya ini mulai menjadi tempat tujuan wisata yang menarik sejak didirikannya banyak hotel di sini. Selain keindahan alam yang dapat dinikmati, sekali dalam setahun juga diadakan upacara adat suku Sasak yang bernama Bau Nyale. Dalam upacara adat ini para pelaut mencari cacing Nyale. Menurut cerita, dahulunya ada seorang puteri bernama Puteri Mandalika yang sangat cantik, banyak pemuda dan pangeran yang ingin menikah dengannya. Karena tidak dapat mengambil keputusan untuk memilih, maka dia terjun ke laut dan berjanji akan datang setahun sekali. Rambutnya yang panjang kemudian menjadi cacing Nyale tersebut.
Pantai Tanjung Aan juga terletak di Kuta, Lombok Tengah. Lokasinya berdekatan dengan Pantai Kuta. Jarak dari Senggigi ke pantai ini sekitar 1 jam. Keunikan dari pantai ini adalah mempunyai dua tipe pasir yang berbeda dalam satu garis pantai, yaitu pasir merica dan pasir putih. Di sini banyak anak-anak kecil yang menjajakan pasir merica di dalam botol air mineral dengan harga 1000 – 2000 ribu rupiah sebagai penghias akuarium.
Keindahan pantai-pantai di Lombok Tengah memang menakjubkan, menurut saya bahkan melebihi Pantai Kuta dan pantai-pantai lainnya di Bali. Sayangnya, ada dua hal yang terasa sangat mengganggu, yaitu kondisi jalan yang jelek, banyak lubang dan rusak, serta banyaknya pedagang asongan yang menawarkan dagangannya setengah memaksa kepada pengunjung. Sebagai destinasi wisata yang sangat potensial, tentu saja hal ini perlu diperhatikan dan dibenahi oleh pemerintah daerah setempat.





4.    KEMEGAHAN DAN ROMANTISME GUNUNG RINJANI
Secara administratif, Gunung Rinjani terletak di tiga wilayah kabupaten, yaitu Lombok Timur, Lombok Tengah dan Lombok Barat. Gunung berapi tertinggi ke dua di Indonesia setelah Gunung Jawawijaya di Papua ini memiliki ketinggian di atas 3000 m dpl. Gunung yang merupakan bagian dari Taman Nasional Gunung Rinjani ini merupakan gunung favorit para pendaki, karena keindahan pemandangan dan suasana romantisnya, terutama dengan adanya pesona Danau Segara Anak yang mempunyai ketinggian sekitar 2000 m dpl, kedalaman lebih dari 200 m dan mempunyai bentuk seperti bulan sabit dengan luasan sekitar 1.100 ha ini.
Untuk mencapai Danau Segara Anak dapat dilakukan dari jalur pendakian Senaru atau Sembalun. Menurut keterangan seorang pendaki yang kami temui, Gunung Rinjani saat ini sudah tidak aktif, yang aktif justru anak Gunung Rinjani yang terletak di tengah Danau Segara Anak. Tentu saja kami tidak sampai ke Segara Anak, apalagi ke puncak Rinjani. Kami cukup mengunjungi Rinjani di Sembalun, menikmati dan mengagumi pesona Rinjani dari kakinya saja. Sungguh, keindahan dan romantisme Rinjani dapat kami rasakan dari kakinya, decak kagum dan rasa syukur kami panjatkan karena kami berkesempatan menikmati Rinjani. Tak lupa kami berfoto-fotoan sepuasnya, ditemani monyet-monyet liar yang keluar dari hutan dengan malu-malu di tengah rintik hujan saat kami membagikan makanan untuk mereka.
Di kaki Rinjani kami juga mengunjungi agrowisata “Lembah Rinjani Villa & Resto”. Sayangnya, kebun buah apel, strowberry dan sayuran sedang tidak bisa dipanen. Musim hujan banyak mengakibatkan tanaman buah dan sayuran gagal panen. Di lokasi ini, bagi pengunjung yang ingin bermalam untuk menikmati romantisme di kaki Rinjani pada malam hari, tersedia penginapan/villa dengan tarif 300 ribuan per kamar per malam.  Selain ke lokasi agrowisata, kami juga mengunjungi basecamp para pendaki sebelum melakukan pendakian. Di sini tersedia jasa porter bagi yang ingin naik ke puncak Rinjani dengan tarif sekitar 200 ribu rupiah per orang.

5.    KEUNIKAN BUDAYA SUKU SASAK DI SADE DAN BAYAN
Suku Sasak adalah suku asli Pulau Lombok. Pada awalnya suku ini menganut Animisme atau beragama Hindu, sampai Islam datang ke Pulau Lombok sehingga akhirnya Islam menjadi agama mayoritas di pulau ini. Agar bisa mengenal Suku Sasak lebih dekat, maka wajib mengunjungi dua destinasi, yaitu Kampung Sade di Lombok Tengah dan Masjid Bayan Beleq di Lombok Utara. Kedua lokasi ini menjadi saksi atas masuk dan berkembangnya Islam di Pulau Lombok.
Kampung Sade terletak di Desa Rembitan, Pujut, Lombok Tengah. Kampung ini terkenal mempertahankan adat suku Sasak. Penghuni kampung ini ada 150 KK (Kepala Keluarga) yang menghuni 150 rumah adat khas Sasak. Bangunan 150 rumah di kampung Sade ini seragam, yaitu beratap alang-alang, berdinding bambu, dan berlantai tanah liat. Salah satu yang unik dari warga kampung ini adalah cara mengepel lantai dengan kotoran kerbau. Meskipun demikian, saat saya mencoba masuk ke salah satu rumah, sama sekali tak tercium bau kotoran kerbau.
Setiap rumah di Kampung Sade memiliki beberapa ruang, salah satunya adalah kamar untuk anak gadis yang terletak tersembunyi dekat dapur. Tersembunyi, karena ada adat menculik anak gadis yang dilakukan oleh keluarga seorang laki-laki yang menginginkan meminang anak gadis tersebut (adat “Merarik”). Oleh karena itu, agar anak gadisnya tidak diculik oleh sembarang laki-laki, maka kamar anak gadis harus terletak tersembunyi.
“Wetu Telu” adalah kepercayaan yang dianut oleh Suku Sasak, yang mempunyai filosofi bahwa kepercayaan Suku Sasak berasal dari gabungan tiga hal, yaitu Animisme, Hindu dan Islam. Dulunya, Suku Sasak menganut Islam Wetu Telu, yaitu bersembahyang hanya 3 kali dalam sehari. Akan tetapi, saat ini 100 persen penduduk Kampung Sade sudah menganut Islam yang sempurna, yang menjalankan sholat 5 waktu dalam sehari, bahkan di tengah-tengah kampung Sade berdiri sebuah masjid yang cukup bagus dan bersih berlantai keramik. Tentu saja khusus untuk masjid ini, lantainya tidak pernah dipel dengan kotoran kerbau.
Warga Kampung Sade menyadari bahwa desanya yang terletak di tepi jalan raya yang lebar dan mulus tersebut telah menjadi desa wisata, sehingga mereka pun memanfaatkannya untuk mendapatkan penghasilan, yaitu dengan menjual jasa guide maupun berjualan suvenir khas Lombok di depan rumah mereka. Beraneka produk kerajinan dijual di sini, terutama adalah produk-produk yang  berbahan dasar kain tenun yang dibuat oleh kaum wanita Suku Sasak. Belanja di kampung ini harus pandai-pandai menawar jika tidak ingin mendapatkan harga yang selangit.
Selain Kampung Sade di Lombok Tengah, maka Masjid Bayan Beleq di Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara ini juga wajib dikunjungi untuk lebih mengenal sejarah perkembangan Islam di Lombok. Meski bentuknya sangat sederhana, yaitu berdinding bambu serta beratap ijuk dan potongan-potongan bambu, masjid pertama di Lombok yang dibangun pada Abad 17 ini telah ditetapkan sebagai cagar budaya yang dilindungi oleh pemerintah RI.
Di dekat bangunan masjid, terdapat beleq (makam besar) salah sorang penyebar agama Islam pertama di kawasan ini, yakni Gaus Abdul Rozak, serta dua gubuk lagi yang di dalamnya terdapat makam dua tokoh agama yang turut membangun masjid tersebut. Di depan masjid juga terdapat gentong/padasan untuk mengambil air wudhu.
Di Desa Bayan juga ada kepercayaan “Wetu Telu”, tetapi seperti halnya di Kampung Sade, kepercayaan Islam Wetu Telu yang mengerjakan sholat hanya 3 kali dalam sehari itu sekarang sudah tidak ada lagi. Mereka kini telah menjalankan ibadah sholat 5 waktu dengan sempurna. Kisah tentang Wetu Telu yang melaksanakan sholat hanya 3 kali dalam sehari tersebut diduga karena pada jaman dulu para penyebar Islam yang  berusaha mengenalkan Islam pada Suku Sasak secara bertahap itu meninggalkan Pulau Lombok sebelum mengajarkan ajaran Islam dengan lengkap.
Dari wawancara kami dengan pemandu dari Desa Bayan, dikatakan bahwa Wetu Telu sebenarnya adalah sebuah filosofi tentang kehidupan, bahwa dalam hidup ini ada yang beranak, bertelur dan bertumbuh. Yang  beranak adalah manusia dan sebagian hewan, yang bertelur adalah sebagian hewan, dan yang bertumbuh adalah tanaman.
Dalam kesehariannya, masjid kuno yang pernah mengalami perbaikan ini tidak digunakan untuk sholat. Sehari-hari, masyarakat Bayan melaksanakan sholat lima waktu di masjid lain yang ada di Bayan. Hal ini kami buktikan sendiri, pada saat kami datang berkunjung pas datang waktu maghrib, dan tidak ada aktivitas ibadah sama sekali di masjid ini. Masjid kuno ini hanya digunakan pada saat perayaan hari-hari besar Islam, seperti pada perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Upacara adat yang meriah dilakukan di halaman masjid untuk merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW, yaitu upacara pukul-pukulan rotan. Perayaan Maulid Nabi ini dilakukan selama dua hari, dan para pengunjung diwajibkan memakai baju adat Sasak. Hal yang unik lagi adalah bahwa yang boleh sholat di dalam masjid ini adalah para pemuka agama dan pemuka adat.  Masyarakat lain hanya bisa sholat di halaman masjid tersebut.
Saat ini Masjid Bayan Beleq menjadi salah satu destinasi wisata di Lombok Utara. Di seberang jalan dekat lokasi masjid juga terdapat art shop yang menjual suvenir khas Lombok dan Sasak. Sayangnya, akses menuju Desa Bayan tidak bagus karena harus melewati jalan yang rusak dan menjadi jalan air kalau hujan.

6.    ADAT NYONGKOLAN
“Nyongkolan” adalah bagian dari prosesi adat pernikahan Suku Sasak, yaitu upacara adat mengarak kedua mempelai ke pihak keluarga pengantin perempuan. Perlu diketahui bahwa sebelum dinikahi, seorang perempuan akan diculik oleh pihak laki-laki terlebih dahulu (adat “Merarik”). Setelah dicuri dan dinikahi, Si Perempuan ini akan tinggal di keluarga laki-laki sampai sebulan kemudian. Setelah kira-kira sebulan, maka diadakanlah upacara adat “Nyongkolan”.
Upacara adat ini sangat unik. Kedua mempelai, keluarga pengantin laki-laki dan semua pengiringnya berpakaian adat Sasak, berjalan kaki menuju rumah keluarga mempelai perempuan, seberapa pun jauhnya. Semakin banyak rombongan alias semakin memenuhi badan jalan  dan membuat macet di sepanjang jalan yang dilaluinya, maka semakin banggalah keluarga sang pengantin. Kami mengalami bertemu dengan rombongan adat ini. Sayangnya, kami tidak sempat mengabadikannya dengan kamera. Sungguh unik, inilah kemacetan jalan raya yang sangat dimaklumi oleh masyarakat di Lombok.

7.    KISAH SERIBU MASJID
Pulau Lombok, seperti halnya di Sumbawa dan wilayah Propinsi Nusa Tenggara Barat lainnya, terkenal dengan slogan seribu masjid. Penduduk yang mayoritas muslim tersebut seakan berlomba membangun dan mempermegah masjid, sehingga selama kami berada di Lombok, setiap kali mampir sholat di masjid yang kami lewati di sepanjang perjalanan kami keliling Pulau Lombok, pasti sedang dilakukan pemugaran masjid. Masjidnya megah-megah, terkadang kontras dengan rumah-rumah warga di sekitarnya. Ya, masyarakat Lombok memang sangat bangga jika memiliki masjid yang sangat megah. Tetapi, ada satu hal yang membuat kami heran, masjid-masjid yang megah tersebut rata-rata tidak dilengkapi dengan fasilitas toilet yang memadai, bahkan ada yang tidak memiliki toilet. Kami sempat dibuat kelabakan ketika mampir di sebuah masjid megah yang sedang direnovasi. Ketika mau numpang ke toilet...eh ternyata tidak ada toiletnya. Ternyata, ada keyakinan dalam masyakarat muslim Lombok bahwa masjid harus dijauhkan dari hal-hal najis sehingga harus jauh dari toilet, bahkan ada masjid yang sampai tidak punya toilet sama sekali, atau kalau ada pun kondisinya memprihatinkan, tidak sebanding dengan kemegahan masjidnya. Oh, inilah budaya, masing-masing daerah punya cara sendiri-sendiri. Kami pun jadi maklum...

8.    MAKANAN KHAS
Makanan khas Lombok didominasi oleh rasa pedas dengan aroma terasi Lombok yang khas. Cukup banyak makanan khas Lombok yang bisa dinikmati, ada plecing kangkung, sambal beberuk, nasi puyung, sate sapi khas Lombok, ayam Taliwang, dan aneka sea food. Saya telah mencicipi semua makanan itu. Plecing kangkung terbuat dari kangkung yag direbus kemudian diguyur dengan sambal khas Lombok yang sangat pedas dengan aroma khas terasi Lombok. Kangkung Lombok sangat khas rasanya, sangat berbeda dari kangkung pada umumnya, karena terasa lebih segar dan tidak alot. Sambel beberuk juga sangat pedas, dan aroma terasi Lomboknya  juga sangat terasa.
Nasi puyung adalah semacam nasi campur dengan lauk kering jerohan ayam dan belut yang diiris-iris kecil. Semua lauk tersebut dibakar dulu sebelum dimasak. Rasanya pedas sekali, sepedas “oseng-oseng mercon” khas Yogyakarta. Ayam Taliwang, adalah ayam khas dari daerah Taliwang yang berukuran kecil, yang dibakar dengan bumbu pedas, dimakan dengan kuah sambal khusus. Sate khas Lombok terbuat dari daging sapi yang diproses seperti membuat sate pada umumnya, hanya bumbunya saja yang berbeda dari bumbu sate di Jawa. Dari sekian banyak makanan khas itu, saya paling suka plecing kangkung dan sambal beberuk....hmm...pedas dan aroma terasinya menggoda selera makan.
Sekian banyak makanan khas Lombok di atas tidak mungkin dijadikan oleh-oleh untuk dibawa pulang ke Jawa. Tentu saja makanan yang awet yang bisa dibawa pulang untuk oleh-oleh. Oleh karena itu, sebagai oleh-oleh khas Lombok, kami membeli aneka makanan dari bahan dasar rumput laut yang dijual di Phoenix Food yang berlokasi di Jalan Pejanggik 48C, Mataram.

9.    SUVENIR KHAS LOMBOK DI LOMBOK EXOTIC, SEKARBELA, DAN SUKARARA
Kalau di Yogya ada kaos DAGADU, di Bali ada JOGER, maka di Lombok ada LOMBOK EXOTIC yang beralamat di Kompleks MGM Plaza, Jl Chairil Anwar No.6 Mataram. Di Lombok Exotic ini kita bisa membeli aneka suvenir khas Lombok, seperti tenun Lombok, batik Lombok, pernak-pernik khas Lombok, dan terutama adalah kaos Lombok. Harga barang-barang yang dijual pun bervariasi, banyak pilihan harga. Saya pun membeli banyak barang, terutama kaos-kaos dengan gambar-gambar khas Lombok, sebagai oleh-oleh.
Selain Lombok Exotic, lokasi lain di Mataram yang wajib didatangi untuk berburu oleh-oleh adalah Sekarbela yang merupakan pusat emas dan mutiara Lombok. Kami pun tak lupa pula ke sini untuk membeli perhiasan mutiara sebagai kenang-kenangan. Cerita tentang Sekarbela dan mutiara Lombok ini telah saya tulis di “Ekspedisi Keluarga ke Pulau Lombok”.
Satu tempat lagi yang kami kunjungi untuk berburu oleh-oleh khas Lombok adalah Desa Sukarara (baca: Sukarare), yang terletak di Kecamatan Jonggat, Kabupaten Lombok Tengah. Di sini sebagian besar penduduknya adalah Suku Sasak, sehingga di daerah inilah pusatnya tenun Sasak khas Lombok.
Kami mengunjungi sebuah outlet tenun yang sangat terkenal di Sukarara. Di sini dijual berbagai macam kain tenun dengan motif khas Suku Sasak, dan yang membuatnya pun orang-orang dari Suku Sasak. Di outlet ini pengunjung bisa mencoba menenun langsung. Dari sini saya baru tahu bagaimana membedakan kain tenun yang ditenun secara manual dengan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM), dan kain tenun yang ditenun dengan mesin. Kain tenun ATBM khas Suku Sasak pun ternyata terdiri dari dua jenis, yaitu tenun songket dan tenun ikat.
Tenun songket dibuat oleh para wanita, dibuat secara detil dan memerlukan waktu lama, bahkan bisa sampai 3 bulan untuk menjadi selembar kain, sedangkan tenun ikat lebih sederhana dan dibuat oleh para pria Sasak. Saya pun jadi tahu bagaimana membedakan tenun songket dan tenun ikat. Setelah mencoba menenun songket, yang ternyata sangat rumit serta memerlukan kecedasan dan ketelatenan untuk melakukannya, saya jadi paham mengapa harga kain tenun songket sangat mahal, bisa mencapai jutaan rupiah per lembarnya.  Sebagai kenang-kenangan saya membeli satu set sarung bantal kursi dan taplak meja yang terbuat dari kain tenun ikat, dan selembar kain tenun songket yang berfungsi sebagai hiasan dinding.

Lombok-Sumbawa: 21 – 30 Desember 2013