Aku
terlahir sebagai anak pertama dari enam
bersaudara dari bapak seorang dosen dan ibu seorang ibu rumah tangga biasa. Sejak
kecil, aku bukanlah tipe orang yang bermimpi untuk studi ke luar negeri,
apalagi di benua yang sangat jauh dari Indonesia, Eropa. Meski Bapak seorang
dosen yang pernah menempuh studi di
Belanda, tetapi beliau tidak pernah menumbuhkan mimpi kepada kami, anak-anaknya
untuk suatu saat merasakan pendidikan di luar negeri seperti pengalaman
beliau. Beliau tidak pernah sekalipun
menceritakan pengalaman studinya itu kepada kami, anak-anaknya. Aku tahu cerita itu justru dari orang lain dan
dari Ibu. Aku menduga, mungkin hal itu karena
Bapak sangat menderita karena jauh dari keluarga selama studi di Belanda,
sampai menurut cerita Ibu, beliau jatuh sakit saat di Belanda. Itu terjadi saat
aku masih balita. Ya, aku tahu, Bapak adalah tipe orang yang sangat mencintai
keluarga dan tidak dapat pisah jauh dari keluarga untuk waktu yang lama seperti
itu.
Pendidikanku
dari SD hingga perguruan tinggi aku jalani dengan lancar di Yogyakarta. Sejak
kecil, aku dibiasakan tidak pernah pergi jauh dan lama dari keluarga, apalagi
sampai pergi sendiri. Ibu terlalu khawatir untuk melepasku pergi jauh sendirian.
Mungkin itu karena sebagai anak perempuan pertama, aku paling dekat dengan Ibu,
bahkan seringkali kami seperti kakak beradik yang saling curhat atas masalah
masing-masing. Pernah suatu hari, waktu itu di Tahun 1996, sebagai hadiah kelulusan
sebagai sarjana, kakak Ibu (Pakdhe) yang tinggal di Sintang, Kalimantan Barat, memberikan
tiket PP gratis bagiku untuk berlibur ke Sintang. Aku berangkat ditemani adik laki-lakiku yang
nomor dua (jarak umurnya setahun di bawahku) dan seorang sepupuku. Selama dua
minggu di Sintang, apa yang terjadi? Ibu menelepon menanyakan keadaanku sambil
menangis khawatir. Pakdhe sampai harus meyakinkan Ibu di telepon bahwa aku
baik-baik saja.
Sebenarnya
aku bukan anak manja. Aku menjalani
hidup dengan keras dengan keterbatasan ekonomi keluargaku. Dapat dibayangkan, Bapak yang PNS harus
membiayai pendidikan 6 orang anak sendirian.
Untungnya Ibu adalah perempuan hebat yang dapat mengatur keuangan dengan
cerdas sehingga kehidupan kami dapat berjalan dengan baik meski kami harus
hidup pas-pasan. Oleh karena itulah
sebagai anak pertama, dari kecil sudah tertanam di benakku untuk dapat membantu
meringankan beban orang tuaku, yakni dengan jalan selalu memberi contoh yang
baik bagi adik-adikku dan membahagiakan kedua orang tuaku. Aku menterjemahkannya dengan harus selalu
berprestasi di sekolah. Mungkin karena aku selalu lebih berprestasi dibanding
adik-adikku itulah, aku jadi seakan diistimewakan, atau dalam bahasa Jawa “diati-ati”
oleh orang tuaku, terutama oleh Ibu.
Lulus
S1, aku langsung melanjutkan S2 di semester berikutnya di perguruan tinggi yang
sama dengan tempat studiku di S1, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta
dengan beasiswa URGE dari bank dunia. Kurang lebih 1,5 tahun kemudian, yakni di
Tahun 1998, atas saran seorang sahabat aku mengikuti seleksi penerimaan dosen
di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
Setelah melewati serangkaian tes tertulis maupun wawancara,
Alhamdulillah aku diterima. Maka sejak
itu, jadilah aku seseorang yang lahir, dibesarkan dan menetap di
Yogyakarta. Hanya lokasi tempat tinggal
saja yang berpindah, karena setelah menikah di usiaku yang genab 27 di Tahun 1999, aku pindah rumah,
tidak lagi ikut orang tua tetapi ikut suamiku.
Ternyata,
suamiku dapat memahami bahwa aku punya kebiasaan tidak bisa pergi jauh sendirian,
sehingga aku semakin nyaman dengan kebiasaanku itu. Pernah suatu hari aku harus mengikuti
pelatihan selama 3 minggu di Institut Pertanian Bogor (IPB). Karena aku tidak
bisa berangkat sendirian ke Bogor, maka suami dan anakku yang masih balita ikut
mengantarku sampai di hotel tempat menginapku di Bogor. Setelah yakin bahwa aku
aman dan nyaman, barulah suami dan anakku pulang kembali ke Yogyakarta. Itu artinya, suamiku bisa menerima kebiasaan
yang menjadi kelemahanku itu.
Hidup
dengan lingkungan perguruan tinggi membuatku banyak bertemu dan bergaul dengan
orang-orang yang punya pengalaman studi di luar negeri. Mereka tampak punya prestise tersendiri dan
dianggap punya kelebihan khusus dibandingkan dengan lulusan perguruan tinggi
dalam negeri. Aku rasakan setiap orang tua yang
anaknya dapat meraih beasiswa studi ke luar negeri mempunyai kebanggaan
dan kebahagiaan tersendiri. Maka, sejak saat itulah aku punya mimpi untuk dapat
studi di luar negeri dengan satu alasan kuat, ingin memberi kebanggaan dan
kebahagiaan kepada kedua orangtuaku.
Manusia
hanya dapat berencana tetapi Tuhan jugalah yang menentukan. Di akhir Tahun 2005 di saat niatku memuncak
untuk meraih mimpiku, Ibu wafat karena serangan
stroke. Aku merasa sangat kehilangan dan
semangatku untuk studi ke luar negeri padam seketika. Sebagai anak tertua, aku
adalah tempat curahan perasaan Bapak dan adik-adikku semenjak Ibu tiada. Apalagi adik bungsuku masih duduk di bangku
kelas 5 SD. Bapak sangat membutuhkan
dukunganku untuk membimbing dan mengarahkan adik-adikku, termasuk mendampingi beliau
saat menikahkan dua adikku. Selain itu, di
pertengahan Tahun 2006 aku juga punya anak lagi. Maka, aku belum tahu lagi kapan akan memulai
program melanjutkan studi S3-ku.
Barulah
di Tahun 2008, aku teringat lagi akan niatku untuk melanjutkan studi S3. Kali
ini aku mencoba mencari LoA (Letter of
Acceptance) sebagai syarat mendapatkan beasiswa dari DIKTI untuk studi ke
luar negeri. Aku iseng-iseng browsing di internet untuk mencari informasi perguruan tinggi di luar
negeri yang mempunyai profesor dengan riset seperti yang ingin aku lakukan,
yaitu tentang pola interaksi antara serangga dan gulma pada ekosistem
pertanian. Seorang temanku menyarankan agar aku coba browsing di web Univeristy of Bristol (UoB), Inggris.
Alasannya waktu itu karena di sana sudah ada seorang teman dosen dari
fakultasku (Fakultas MIPA UNY) yang sedang menempuh studi S3 di kampus itu,
sehingga kalau nanti aku jadi studi di sana, aku sudah ada teman, tidak seperti
orang hilang di negeri orang. Pikirku,
ini ide yang sangat bagus mengingat kelemahanku yang tidak bisa bepergian jauh
sendirian.
Akhirnya
aku menemukan juga seorang profesor yang aku cari dari kampus UoB, yakni Prof Jane Memmott. Aku
termasuk sangat beruntung karena beliau mau membalas dan menanggapi e-mail yang
kukirim dan bahkan kemudian mau memberiku LoA. Tetapi sayangnya, aku tidak
lolos desk evaluation dari DIKTI,
entah karena alasan apa. Mungkin karena
umurku yang lewat dari 35 tahun (waktu itu umurku telah menginjak 36 tahun),
mungkin karena TOEFL ITP-ku yang sudah kedaluwarsa (sudah lewat dari 2 tahun),
atau mungkin karena LoA-ku yang datang terlambat. Tapi aku yakin, Tuhan telah
menyiapkan rencana yang terbaik untukku nanti.
Akhirnya, dengan berat hati aku mohon maaf pada Prof Jane Memmott bahwa
aku tidak jadi menempuh S3 di UoB
karena tidak mendapatkan beasiswa dari pemerintahku. Tetapi, aku mengatakan bahwa aku masih punya
mimpi untuk bertemu beliau di Bristol.
Jalan
untuk meraih mimpiku ternyata adalah kampus UGM. Ya, karena di tahun yang sama
aku diterima studi S3 di kampus tersebut dengan beasiswa dari BPPS. Beasiswa dari DIKTI tersebut khusus untuk
studi S2/S3 di dalam negeri. Untuk mahasiswa S3 dalam negeri, DIKTI memberikan
kesempatan untuk menyelesaikan sebagian disertasinya di luar negeri melalui
proses seleksi. Program tersebut disebut
program sandwich. Inilah peluang yang
harus aku raih.
Aku
berusaha menyelesaikan tahap-tahap studi S3-ku di UGM sesuai time schedule alias tepat waktu. Alhamdulillah
suamiku sangat mendukungku. Dalam waktu setahun aku telah menyelesaikan seluruh
SKS teori dengan tugas-tugasnya serta ujian komprehensif. Setahun berikutnya aku selesaikan
risetku. Maka, di awal Tahun 2010
tibalah saatnya aku mendaftarkan diri untuk mengikuti seleksi program sandwich. Aku memang kesulitan dalam
menganalisis dan menginterpretasikan data riset yang aku dapat, sedangkan aku
belum menemukan ahlinya di Indonesia.
Promotorku sendiri menyerahkan padaku untuk menyelesaikan masalah
tersebut sendiri. Maka, semakin bulatlah tekadku untuk dapat bertemu Prof Jane
Memmot di Bristol. Itu artinya aku harus
berjuang keras untuk mendapatkan beasiswa sandwich
tersebut.
Langkah
pertama, mengumpulkan berkas-berkas yang
dibutuhkan untuk desk evaluation
telah aku lakukan dengan baik, yakni skor TOEFL minimal 500, LoA dari Prof Jane
Memmott, surat keterangan telah lulus ujian komprehensif, proposal rencana
kegiatan, dan form pendaftaran yang
telah diisi lengkap dalam bahasa Inggris. Alhamdulillah aku lulus desk evaluation. Waktu itu ada 70 pelamar dari UGM, yang lolos
hanya 46 orang. Tibalah saatnya seleksi
wawancara yang akan meloloskan hanya 35 peserta saja untuk seluruh UGM. Kali ini wakil DIKTI dari Jakarta datang ke
kampus UGM untuk melakukan seleksi wawancara dalam bahasa Inggris. Aku sempat hopeless selepas wawancara tersebut. Yang pertama, karena ternyata
berkas bukti komunikasiku dengan Prof Jane Memmot yang telah aku kumpulkan ke
panitia di UGM tidak terkirimkan ke DIKTI, padahal waktu wawancara itu menjadi
hal penting yang dibahas. Yang ke dua, ternyata pengalaman pernah ke luar
negeri juga menjadi nilai tambah tersendiri.
Aku tahu rata-rata teman-temanku yang ikut seleksi pernah pergi ke luar
negeri, entah untuk short course ataupun
ikut suami studi ke luar negeri. Sedangkan aku, saat ditanya apakah aku pernah
ke luar negeri, aku pun hanya bisa menjawab pernah, ke Arab untuk melaksanakan
ibadah haji (Pada awal Tahun 2005 aku memang
pergi haji bersama suami dan kedua orang tuaku). Saat mendengar jawabanku itu
pewawancara sempat tersenyum, mungkin
geli karena jawabanku jauh dari harapan.
Selama
beberapa minggu dalam masa penantian hasil seleksi wawancara, aku sangat
tertekan. Aku takut tidak lolos seleksi,
padahal harapanku telah melambung tinggi.
Setiap malam di keheningan sepertiga malam terakhir aku bermunajat pada Tuhan,
mohon diberikan kesempatan untuk mewujudkan mimpiku. Dan, Alhamdulillah ternyata aku lolos
seleksi. Aku sangat bersyukur dan
bahagia. Aku larut dalam euforia
kebahagiaan karena proses perjuanganku yang panjang telah membuahkan
hasil. Aku juga senang dapat memberikan
kebanggaan pada suami, orang tua, adik-adik dan anak-anakku.
Aku
mulai mengurus segala persyaratan administratif seperti surat ijin dari UGM dan
UNY, paspor dan visa, yang semuanya sangat melelahkan dan menyita banyak waktu.
Untuk mengurus visa ke Jakarta, lagi-lagi suamiku dengan setia mengantar dan
menemaniku karena aku tidak berani pergi mengurus sendiri. Aku belum memikirkan bagaimana nanti aku
harus pergi ke Inggris sendirian dan harus hidup di sana tanpa keluarga selama hampir
4 bulan. Aku juga belum berpikir bagaimana nanti aku bisa berpisah dengan dua
anakku yang masih kelas 5 SD dan TK itu.
Semakin
mendekati hari-H keberangkatanku ke Inggris, barulah aku mulai didera stres.
Aku ketakutan akan pergi jauh dan hidup sendirian di negeri asing, dan bagaimana
dengan anak-anakku nantinya. Berbagai
pikiran buruk berkecamuk dalam otakku. Beberapa hari menjelang keberangkatan
aku jatuh sakit, badanku demam tinggi.
Aku bahkan berniat mengundurkan diri, tidak peduli lagi dengan mimpiku.
Suamiku akhirnya menenangkanku dan mengingatkanku pada perjuangan panjang dan melelahkan
yang telah aku lakukan untuk dapat meraih mimpi itu. Apakah aku tega untuk menyia-nyiakan
kesempatan yang telah diberikan Tuhan kepadaku itu? Bapakku juga memberikan
motivasi padaku, mengingatkankanku agar selalu berdoa dan minta pertolongan pada
Tuhan. Bapak mertuaku yang tinggal di kota
Malang pun bolak-balik telepon memastikan bahwa aku baik-baik saja dan telah
mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik untuk tinggal sendiri di
Inggris. Sebagai seorang yang punya
pengalaman bolak-balik ke luar negeri untuk tugas kantor semasa belum pensiun
dulu, beliau tentunya paham apa dan bagaimana kehidupan di negara yang akan aku
tuju itu. Maka dari itulah beliau ikut khawatir terhadapku.
Di
malam menjelang keberangkatanku, keluarga besarku berkumpul di rumahku untuk
berdoa bersama. Bapak memimpin doa
bersama untuk keselamatan dan kemudahan urusanku
selama di Inggris nantinya. Dan,
akhirnya tanggal bersejarah itu datang juga.
Pagi itu, hari Senin tanggal 27 September 2010 aku harus meninggalkan
keluargaku untuk menuju negeri yang sangat jauh, Inggris. Dari Bandara
Adisucipto, Yogyakarta aku dilepas oleh suami dan dua anakku. Aku tak kuasa
menahan air mata, di sepanjang perjalanan wajah
anak-anak dan suamiku selalu terbayang. Akhirnya aku hanya bisa pasrah
pada kekuasaan Tuhan karena hanya Dia yang bisa jadi penolongku. Aku berusaha
menenangkan diri dan selalu berdoa dalam hati.
Setelah
menempuh perjalanan sangat panjang dan penuh pergulatan batin dengan rute Yogyakarta
– Jakarta – Kualalumpur – Amsterdam - Bristol, akhirnya aku mendarat juga di Bristol Airport. Entah mengapa, aku mulai tenang dan tidak ada
lagi ketakutan dalam hatiku. Mungkin ini
berkat doa dan kepasrahanku yang total pada Tuhan dan juga berkat doa orang tua
dan suamiku di Indonesia. Aku segera
mencari taksi dan menuju alamat flat yang telah aku pesan via e-mail. Tanggal 28 September 2010 inilah
hari pertama kali aku mendapatkan pengalaman baru, hidup di negeri yang sangat
asing dan tidak ada seorang pun yang aku kenal.
Sesampai
di flat, semua kekhawatiranku berangsur sirna.
Aku disambut dengan keramahan oleh teman-teman asingku. Dan hari-hari pun kemudian aku jalani dengan baik,
tanpa hambatan yang berarti. Masalah
memang ada, baik yang terkait dengan urusan kampus maupun yang terkait dengan
pergaulan teman-teman asingku, tetapi Alhamdulillah semuanya dapat teratasi
dengan baik. Komunikasi dengan keluarga di Indonesia juga lancar dengan adanya skype. Suami dan anak-anakku baik-baik
saja selama aku tinggalkan. Segala
kondisi di Indonesia juga dapat selalu aku ikuti beritanya lewat internet.
Internet memang telah membuat dunia menjadi terasa sempit.
Kehidupanku
di Bristol semakin berwarna ketika aku mulai bertemu dengan teman-teman
Indonesia sesama student di Bristol,
dan komunitas Indonesia yang menetap di Bristol. Suasana kekeluargaan dan keakraban sangat
kurasakan ketika tengah berada di tengah-tengah komunitas Indonesia,
seakan-akan aku bukan sedang berada di Inggris tetapi di Indonesia. Sebulan
kemudian aku juga bertemu dengan teman sesama dosen di fakultas MIPA UNY yang
sedang menempuh S3 di UoB itu. Lucunya,
aku baru kenal dia saat di Bristol, sebelumnya aku belum kenal dan belum pernah
bertemu dengan dia sama sekali.
Berbagai
pengalaman menarik dan berharga aku temukan selama kehidupanku di Bristol,
termasuk pengalaman jalan-jalan. Untuk sedikit melupakan rasa rinduku yang
teramat sangat kepada keluarga, aku lakukan dengan jalan-jalan. Ya, dengan
menghemat uang beasiswa, week end
bagiku adalah kesempatan bagus untuk jalan-jalan menikmati negeri Ratu
Elizabeth ini. Aku puaskan hobi
jalan-jalanku menjelajah Bristol dan ke beberapa kota di sekitar Bristol, yakni
ke London, Oxford, Chippenham, Salisbury, Bath, dan sebuah pantai di Weston
Super Mare. Bahkan aku sempat bertemu dengan Bapak Jusuf Kalla (JK) dan berfoto bersama beliau saat aku berkunjung ke kampus Oxford. Tentu saja aku tidak pergi
jalan-jalan sendirian karena aku Si Penakut ini tidak akan berani. Tuhan selalu saja memberiku teman sehingga
selalu saja ada teman bagiku untuk jalan-jalan.
Akhirnya,
aku begitu bersyukur karena Tuhan memantapkan hatiku sehingga aku tidak jadi
mengundurkan diri waktu itu, karena ternyata semua kekhawatiran dan ketakutanku
tidak terbukti. Dan, yang terpenting adalah aku mendapatkan metode dan software untuk menganalisis data riset
disertasiku, metode dan software yang
sampai saat ini belum aku temukan ahlinya di Indonesia. Prof Jane Memmott
sangat membantuku dalam menguasai metode dan teknik analisis maupun
interpretasi data risetku. Beliau
betul-betul helpful dan sangat
tertarik dengan risetku, bahkan beliau menawariku kerja sama riset dengan dana dari
pemerintah Inggris setelah aku menyelesaikan S3-ku di Indonesia nanti. Tentu saja tawaran itu aku iyakan. Alhamdulillah, rasanya segala pengorbananku
selama hampir empat bulan jauh dari keluarga terbayar sudah. Berpisah dengan
anak-anak yang masih kecil-kecil bagi seorang ibu sepertiku memang sangatlah
berat dan merupakan suatu pengorbanan besar. Masih teringat bagaimana di
minggu-minggu pertama kehidupanku di Bristol, setiap hari aku chatting di facebook dengan anakku yang sulung sambil berlinang air mata. Masih teringat selalu kata sapaannya setiap
mengawali obrolan di facebook. “Mamah
baru ngapain?” Ah, semua pengorbanan
itu telah terbayar.
Sampai
tiba masa aku harus kembali ke Indonesia, Alhamdulillah semuanya dapat aku
lewati dengan baik, karena di mana pun kita berada, pertolongan Tuhan akan
selalu ada. Dan, aku Si Penakut ini telah membuktikannya. Tinggallah kini masa
bagiku untuk menyusun disertasiku dan menyelesaikan program S3-ku di UGM. Setelah gelar doktor aku raih, maka tekadku
sudah bulat untuk kembali lagi ke Bristol, karena tawaran riset bersama Prof Jane
telah menantiku.
(Tien
Aminatun, Second floor flat, 2 Hartfield Avenue, Cotham BS6 6DL, Bristol, UK:
10 Januari 2011)