*Seperti telah dimuat pada
Rubrik “Jelajah” Harian Republika, 25 Mei 2014, dengan beberapa perubahan
Tanah Samawa atau Sumbawa saat ini
mulai dilirik sebagai destinasi wisata, sehingga pasangan artis Nana Mirdad dan
Andrew White pun menanam investasi di
pulau ini dengan membangun sebuah water park di Jalan Raya Semongkat km 10
Desa Pelat Kecamatan Unter Iwek, meskipun hampir satu tahun keberadaannya tetapi
belum nampak ramai pengunjung. Kata seorang penjaganya, pengunjung biasanya warga
lokal Sumbawa yang datang berombongan sehingga mendapatkan diskon tiket masuk.
Memang belum banyak pecinta traveling yang melirik Sumbawa sebagai
destinasi wisata di propinsi Nusa Tenggara Barat. Orang lebih tertarik pada pulau saudaranya,
Lombok. Padahal, cukup banyak hal yang menarik untuk dinikmati di pulau ini, dari
keindahan alamnya, keunikan budayanya, maupun kulinernya. Untuk mencapai pulau
ini pun bukan hal yang sulit, dapat dijangkau dari Lombok dengan transportasi
udara maupun laut. Jika memilih transportasi laut, maka dapat menikmati
keindahan pemandangan pulau-pulau kecil di sepanjang pelayaran. Kemegahan
Gunung Rinjani dari kejauhan pun dapat disaksikan saat kapal mulai beranjak
dari Pelabuhan Kayangan Lombok Timur menuju Sumbawa. Cukup tersedia kapal feri
yang setiap satu jam sekali berlayar dari Pelabuhan Kayangan ke Pelabuhan Poto
Tano Sumbawa. Perjalanan pun hanya memakan waktu tidak lebih dari satu jam, dan
tarifnya pun cukup murah, dewasa 19 ribu dan anak-anak 11 ribu rupiah sekali
menyeberang.
Meskipun tidak banyak sudut Pulau
Sumbawa yang sempat saya longok, tetapi cukup banyak yang bisa saya dapatkan
sebagai kenangan dan pengalaman tak terlupakan.
Pulau
Seribu Bukit Sejuta Sapi
Julukan
seribu bukit sejuta sapi memang pantas diberikan untuk Pulau Sumbawa, dengan
daratan yang berbukit-bukit dan lahan penggembalaan sapi yang tersebar di
seantero pulau ini. Masyarakat Sumbawa memang banyak yang beternak sapi, satu
orang bisa memiliki 2 sampai 10 hektar lahan peternakan sapi. Daerah yang
banyak terdapat peternakan sapi di Sumbawa Besar terutama adalah Kecamatan Moyo
Hilir, Lopok dan Lape.
Yang unik dari peternakan ini adalah
jenis sapinya yang khas, berwarna coklat dengan tubuh yang lebih kecil
dibandingkan sapi di Jawa pada umumnya. Selain itu, cara pemeliharaannya juga
dibiarkan hidup liar dan mencari makan sendiri di padang rumput penggembalaan, karena
pemilik peternakan umumnya memiliki padang rumput yang luas yang terletak di
lereng bukit. Lahan setiap peternak dibatasi dengan pagar kayu dan berhubungan langsung
dengan bukit di dekatnya. Untuk lahan seluas 5 hektar bisa untuk memelihara sekitar
100 ekor sapi. Setiap peternak bisa memiliki 200 ekor sapi yang dibiarkan hidup
bebas di lahan peternakannya. Saya melihat pemandangan ini seperti peternakan domba
yang pernah saya jumpai di pedalaman Inggris.
Sapi-sapi tersebut dibiarkan hidup
bebas, makan dari rumput dan hijau-hijauan yang terdapat di lahan peternakan
maupun di hutan yang terletak di bukit yang berhubungan langsung dengan lahan
peternakan tersebut. Si pemilik tidak ada beban untuk memberi pakan, hanya
memberi tanda kepemilikan dengan tanda khusus di setiap sapinya serta memantau lahan
peternakan di waktu-waktu tertentu, biasanya dengan naik kuda seperti cowboy ala Amerika.
Karena ukuran sapi Sumbawa lebih kecil
dari jenis sapi yang biasa diternakkan di Jawa, maka harganya pun jauh lebih
murah, antara 5-7 juta rupiah per ekor sapi dewasa.
Melongok
Sejarah Sumbawa dari Istana Dalam Loka
Berdasarkan cerita sejarah,
pemerintahan Sumbawa dulunya berkembang dari kerajaan Hindu yang kemudian menjalin
hubungan dengan kerajaan Islam di Demak, sehingga pada akhirnya terbentuklah
kepemimpinan kerajaan Islam di Sumbawa sekitar tahun 1478-1597, hingga pada
tahun 1623 kerajaan Sumbawa jatuh ke tangan kerajaan Goa. Semenjak itu selama 3
abad dinasti kerajaan Goa berkuasa di tanah Sumbawa dengan raja pertamanya adalah Sultan
Hanurasyid I. Sampai saat ini peninggalan kerajaan ini masih ada, yaitu Istana
Dalam Loka yang dibangun pada tahun 1885 oleh Sultan Muhammad Jalalludin III
(1983-1931). Istana ini berdiri anggun di Jalan Sudirman, pusat kota Sumbawa Besar, dan di sampingnya kini
berdiri Masjid Agung Nurul Huda yang megah.
Dalam Loka berasal dari kata
“dalam” yang berarti istana dan “loka” yang berarti tempat, jadi “dalam loka”
berarti istana tempat tinggal raja.
Istana yang berbentuk rumah panggung dengan luas sekitar 900 m2
ini memiliki dua bangunan kembar, ditopang oleh 99 tiang yang melambangkan 99
sifat Allah (Asmaul Husna). Bangunan yang menghadap ke selatan atau ke
alun-alun kota ini mempunyai susunan tangga sebagai satu-satunya jalan masuk ke
istana, sebagai simbol bahwa siapapun harus menghormati raja, dan harus
membungkuk bagi siapapun yang melewati tangga ini.
Istana Dalam Loka mulai
memudar kemegahannya sejak dibangunnya istana baru pada tahun 1932 yang di
kemudian hari menjadi rumah dinas “wisma praja” bupati Sumbawa. Untungnya, pada
tahun 1979 – 1985 Istana Dalam Loka dipugar kembali oleh Departemen Kebudayaan,
dan kemudian di tahun 1993 Dalam Loka dijadikan sebagai musium. Sayangnya,
waktu saya datang istana ini sedang tutup, sehingga saya tidak bisa melongok
lebih dalam sejarah Sumbawa yang tersimpan di dalam istana.
Wisma
Praja
Bangunan
bersejarah selain Istana Dalam Loka adalah Wisma Praja yang terletak di
Brangbara, Sumbawa Besar. Dibangun pada tahun 1932, merupakan tempat kediaman
terakhir Sultan Kaharuddin II, dan kemudian menjadi istana Belanda. Arsitektur khas
Belanda tampak kental sekali pada bangunan ini. Di kawasan ini dulunya berdiri
rumah-rumah pegawai kerajaan yang sekarang tidak ada lagi. Ada dua meriam di
halaman depan, dan cat putih mendominasi gedung. Saat ini Wisma Praja menjadi
tempat menerima tamu-tamu agung, kegiatan-kegiatan upacara atau resepsi yang
bersifat formal, dan pertemuan-pertemuan lainnya terkait pemerintahan daerah.
Wisma Praja juga terkenal dengan sebutan Bale Jam atau Rumah Lonceng, karena
terdapat lonceng besar di bagian depan kompleks yang didatangkan dari Belanda, dulunya
berfungsi sebagai penanda waktu, tetapi sekarang sudah tidak difungsikan lagi.
Di halaman samping Wisma Praja juga terdapat beberapa ekor rusa yang dipelihara
khusus seperti halnya yang dapat dilihat di Istana Bogor.
Pantai
Kencana
Menawarkan keindahan pantai pasir
putihnya yang landai, Pantai Kencana berlokasi di Jalan Raya Poto Tano km 11
Badas. Mudah dijangkau dari pusat kota Sumbawa Besar, sekitar 17 km, melalui jalan yang berkelok-kelok khas
pegunungan berketinggian sekitar 450 m dpl, dengan suguhan pemandangan
perbukitan dan lembah yang sangat indah.
Bagi yang ingin menginap, di pantai ini tersedia Kencana Beach Cottage. Cottage
ini menyatu dengan pantai, sehingga untuk mencapai kawasan pantai ini, harus
memasukinya dari pintu gerbang cottage. Bangunan cottage sangat asri, tampak sekali serasi dengan alam di
sekitarnya.
Sayur Khas
Sumbawa
Selain sea food, “sayur sepat’ menjadi menu wajib untuk menikmati kuliner
khas Sumbawa. Rasa sayur ini mirip sayur asam kalau di Jawa, segar, asam dan
pedas tetapi terasa beda dengan adanya rempah-rempah khusus khas Sumbawa dan
juga ikan bakar yang dicelupkan ke kuah sayur ini. Bahan-bahan yang ada dalam
sayur sepat di antaranya terong dan cabai yang telah dibakar, belimbing sayur
dan irisan bawang merah goreng yang dimasukkan ke dalam kuah asam panas,
kemudian dicelupkan ikan laut atau ikan tawar yang sebelumnya telah dibakar,
tergantung selera kita. Nikmat sekali bila dimakan dengan nasi hangat.
Nanas
Sumbawa
Begitu mendarat di Pelabuhan Poto
Tano banyak sekali pedagang yang menjajakan nanas. Demikian juga saat perjalanan
dilanjutkan menuju pedalaman Pulau Sumbawa, maka banyak dijumpai perkebunan
nanas di wilayah pesisir. Ya, Sumbawa memang berlimpah nanas. Meskipun
berukuran kecil, tetapi nanas Sumbawa sangat manis, harganya pun membuat
tercengang, sangat murah, antara seribu sampai dua ribu rupiah per buah.
Oleh-oleh Khas
Sayang, tidak banyak yang bisa
dibawa pulang sebagai oleh-oleh khas Sumbawa. Saya hanya menemukan permen susu
dan kain tenun khas Sumbawa untuk saya bawa pulang sebagai oleh-oleh. Permen
susu terasa istimewa karena katanya terbuat dari susu kuda liar yang menjadi
ikon Sumbawa, rasanya manis legit. Kain tenun, coraknya sangat terpengaruh oleh
kain tenun Bugis. Tidak heran, mengingat sejarah Sumbawa yang pernah diperintah
oleh Raja keturunan Goa. Seratnya lembut dengan warna-warni menyala. Agak susah
juga menemukan outlet yang menjual kain tradisional ini, sampai akhirnya saya
menemukannya di pasar kota Sumbawa Besar dengan harga 200 ribu rupiah per
lembar dan saya jahitkan menjadi satu baju tunik.
Sumbawa,
23-25 Desember 2013
Titien DJ
Traveler,
tinggal di Yogyakarta