Kali ini saya akan bercerita tentang
kejadian menghebohkan di rumah kami (baca: rumah kos putri kami) di tengah
malam buta. Sebelum saya mulai cerita, dan untuk memancing rasa penasaran Anda,
ada baiknya saya mulai dengan menceritakan tiga tokoh utama dalam cerita saya
ini.
Tokoh pertama adalah anak kos saya,
sebut saja namanya Bunga (saya gunakan saja nama samaran yang pasaran). Perempuan cantik, tinggi
semampai, yang berumur34 tahun ini dalam fotokopi KTP yang diberikan kepada
suami saya (selaku pemilik dan pengelola kos-kosan) sekitar 3 tahun lalu, di
hari pertama dia menjadi penghuni kos kami, adalah menikah. Dia pun mengaku
telah memiliki 3 anak. Untuk sekian lama saya belum bisa percaya jika dia telah
menikah dan memiliki 3 anak, melihat penampilannya yang masih begitu muda dan
tubuh yang masih sangat langsing seperti gadis remaja (baru setelah kejadian
malam heboh itu saya bisa percaya 100%).
Ditambah lagi selama kos di tempat kami, tidak pernah sekalipun anak-anak
atau suaminya yang dia ceritakan tinggal di Purwokerto itu, terlihat
mengunjunginya di Yogya. Di Yogyakarta ini, Bunga bekerja di sebuah perusahaan
jamu.
Tokoh ke-2 adalah Dodi (nama samaran
juga), suami Bunga. Tokoh ini sebenarnya baru muncul saat insiden penggerebegan
di tengah malam buta itu. Dia adalah mantan anggota DPRD di daerah tempat
tinggalnya, di daerah ngapak-ngapak Jawa
Tengah (saya tidak tahu persis tepatnya di daerah mana, apakah Kebumen ataukan
Purwokerto, lagian saya juga tidak
begitu peduli, sich...).
Nach, tokoh
yang ke-3 adalah seorang perwira menengah berpangkat Kompol (Komisaris Polisi),
sebut saja namanya Pak Gik (juga nama samaran). Lelaki berumur 52 tahun ini statusnya
adalah duda cerai dengan 2 anak yang sudah menginjak remaja dan dewasa. Dia
pernah menjadi Kapolsek di wilayah Yogyakarta, dan sekarang menjadi reserse di
POLDA DIY.
Di luar ketiga tokoh utama di atas,
tentunya ada banyak tokoh pembantu alias tokoh-tokoh pendamping, seperti Pak
RT, suami saya sebagai pemilik dan pengelola kos, saya sendiri sebagai ibu kos,
bapak-bapak keamanan di kampung saya, dan beberapa bapak lagi yang di malam
kejadian itu ikut menghadiri dan
meramaikan suasana. Juga ada beberapa bapak anggota kesatuan POLDA DIY
yang akan muncul kemudian.
Tentunya Anda sudah mulai penasaran bukan,
bagaimana cerita selanjutnya? Ceritanya diawali sekitar 1,5 bulan yang lalu,
saat di suatu hari Bunga mengenalkan Pak Gik kepada suami saya. Demi memperkenalkan Pak Gik itu, Bunga “rela”
mengisahkan cerita “pilu” biduk rumah tangganya dengan Dodi, kepada suami
saya. Dia katakan bahwa hubungannya
dengan Dodi telah berakhir alias cerai, dan saat ini dia telah menikah siri
dengan Pak Gik. Bunga dan Pak Gik mengaku “terpaksa” menikah siri, belum bisa
menikah secara hukum negara alias tercatat di KUA, karena masih ada masalah
yang mengganjal. Masalah itu adalah bahwa
Dodi belum bisa melepas Bunga, sehingga dengan kekuasaannya sebagai mantan
anggota DPRD, Dodi bisa menahan perpanjangan KTP Bunga sehingga Bunga tidak
bisa mengurus surat-surat untuk pernikahannya dengan Pak Gik. Bunga juga bercerita bahwa Dodi adalah suami
yang tidak bertanggung jawab sehingga Bunga sampai kabur dari rumah
meninggalkan ketiga anaknya. Dodi juga
tidak pernah mengijinkan Bunga untuk bertemu dengan anak-anaknya selama
kepergian Bunga dari rumah. Cerita ini tentu saja adalah versi Bunga (nanti
akan lain lagi ceritanya saat tokoh Dodi yang bercerita). Bunga meminta ijin
pada suami saya agar Pak Gik diijinkan untuk sesekali mengunjunginya di kos,
sampai urusan surat-surat untuk pernikahan mereka beres sehingga mereka bisa
menikah secara KUA, dan kemudian barulah Bunga akan pindah kos untuk tinggal
bersama Pak Gik. Mengapa Bunga tidak langsung pindah saja dari kos-kosan dan
tinggal dengan Pak Gik? Alasannya adalah karena Bunga tidak mau tinggal di
asrama. Ya, Pak Gik memang tinggal di
asrama polisi, bukan di rumah pribadi. Bagaimana dengan suami saya, apakah
suami saya langsung percaya dan mengijinkan pasangan siri itu tinggal di
kos-kosan kami?
Suami saya adalah orang yang sangat
baik dengan jiwa sosial dan tepa selira
yang sangat tinggi. Maka, suami saya pun mengijinkan Pak Gik untuk sesekali
mengunjungi Bunga di kos-kosan. Apalagi melihat Pak Gik yang tampak kebapakan
dan terlihat sebagai orang baik-baik. Toh, secara agama nikah siri itu sudah
syah. Bagaimana dengan saya?
Saat suami saya menceritakan tentang
kasus Bunga pada saya dan melaporkan bahwa Pak Gik akan sesekali mengunjungi
Bunga di kos-kosan, saya yang memang terbiasa berpikir liar, dan suka berandai-andai,
langsung mencium aroma ketidakberesan pada Bunga. Saya langsung negative thinking, berbeda banget
dengan suami saya yang selalu positive
thinking dan selalu berprasangka baik pada semua orang (mungkin inilah yang
namanya jodoh, sehingga kami saling melengkapi dan menjadi penyeimbang satu
sama lain). Saya mengatakan pada suami saya
agar bertindak hati-hati dalam kasus ini, dan mengusulkan agar Bunga segera
pindah dari kos-kosan kami, karena saya takut akan terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan yang akan merugikan kami di kemudian hari. Seperti biasa, jika kami berbeda pendapat,
maka akan ada sedikit ketegangan di antara kami. Akhirnya, masalah ini pun mengambang
untuk beberapa waktu tanpa ada solusi atau jalan keluar yang pasti untuk
menengahi perbedaan pendapat di antara kami tersebut.
Hingga di suatu pagi, saya mendengar
ada suara laki-laki dari kamar Bunga yang tertutup rapat dengan suasana gelap
karena lampu kamar dimatikan, dan saya lihat juga ada sepatu laki-laki di depan
pintu kamarnya. Saya langsung menebak bahwa
suara laki-laki itu tentunya adalah suara Pak Gik. Itu artinya, semalam Pak Gik menginap di
kamar Bunga. Saya sungguh merasa tidak
nyaman melihat situasi seperti ini. Selama
ini saya dan suami saya bertindak tegas dalam aturan bahwa tamu laki-laki
dilarang masuk kamar, kecuali saudaranya, dan itupun harus ijin pada saya atau
suami saya. Selama ini, sudah beberapa
kali suami saya mengeluarkan anak kos yang suka melanggar aturan main ini,
karena kami tidak mau rumah kami menjadi tempat perzinahan.
Emosi saya betul-betul memuncak saat tahu
bahwa Pak Gik menginap di kamar Bunga, karena sejak awal saya tahunya bahwa ijin yang diberikan pada
Pak Gik adalah Pak Gik bisa mengunjungi Bunga di kamarnya, tetapi tidak untuk
menginap. Saya betul-betul risih ada laki-laki asing di rumah kami, meskipun
itu bukan di rumah induk melainkan di rumah kos. Saya juga merasa kasihan pada anak-anak kos
yang lain kalau harus menyaksikan hal-hal pribadi suami istri seperti itu.
Ingin sekali rasanya saya langsung menyuruh Pak Gik keluar dan pergi dari
kos-kosan ini. Tapi kemudian saya
berpikir, selama ini kan pengelolaan
kos adalah hak dan tanggung jawab suami saya? Saya tidak boleh mengambil
langkah sendiri. Lagi pula, secara hukum agama, tidak ada yang salah jika Pak
Gik dan Bunga berkumpul dalam satu kamar.
Untuk beberapa saat emosi saya pun
mengendap, dan mencoba berdamai dengan keadaan. Saya pun kemudian menemui suami
saya dan menyatakan perasaan saya bahwa saya risih melihat situasi seperti
ini. Saya juga mengusulkan pada suami
saya agar segera melaporkan situasi ini kepada Pak RT, sehingga kalau sampai
ada apa-apa, Pak RT bisa ikut bertanggung jawab atau membantu kami menghadapi
situasi tersebut. Saya pun berharap Pak RT bisa ikut menginterogasi Pak Gik,
sehingga bisa meyakinkan saya bahwa cerita pernikahan sirinya dengan Bunga
adalah benar, bukan kebohongan belaka.
Ini adalah masalah tanggung jawab moral, terutama tanggung jawab kepada
Tuhan. Dalam hati saya menyesalkan
mengapa banyak orang memilih nikah siri, karena ketiadaan bukti tertulis maka pernikahan siri lebih banyak menimbulkan
mudzarat daripada manfaat. Saya amati
juga lebih banyak orang menikah siri hanya untuk melegalkan “perzinahan” secara
agama, bukan bertujuan demi membangun keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah.
Dan inilah yang saya lihat pada kasus pernikahan Bunga dan Pak Gik.
Saya tunggu sampai dua hari, tidak
ada reaksi dari suami saya atas usulan saya agar melaporkan kasus Bunga pada Pak
RT. Saya hafal style suami saya yang tidak suka melibatkan banyak orang dan selalu
bertindak secara pelan dan teramat banyak pertimbangan, berbeda dengan saya
yang ingin semua masalah cepat selesai agar tidak menggantung. Akhirnya saya
putuskan untuk datang sendiri ke rumah Pak RT.
Karena saat saya datang Pak RT sedang tidak di rumah, maka saya pun
melaporkannya pada Bu RT, dan mohon agar kemudian dilaporkan kepada Pak RT,
suaminya. Untuk urusan selanjutnya, semuanya saya serahkan pada suami saya dan
Pak RT.
Singkat cerita, karena laporan saya
pada Pak RT itu, maka di suatu pagi saat Pak Gik menginap lagi di kamar Bunga, suami
saya dan Pak RT mengetuk pintu kamar Bunga dan meminta Pak Gik keluar. Pak RT didampingi
suami saya pun kembali menginterogasi Pak Gik dan Bunga, tentu saja proses
berjalan baik-baik penuh kekeluargaan dan tanpa emosi. Dari hasil interogasi
ini pun hasilnya sama seperti yang telah saya ceritakan di muka, bahwa Pak Gik
dan Bunga telah resmi menikah siri dan adik laki-laki Bunga telah bertindak
sebagai saksi. Pak Gik juga bersumpah bahwa dia adalah seorang muslim
baik-baik, yang tidak akan berani berbuat zina, apalagi dia juga aktivis
pengajian dan juga seorang ustadz yang suka ceramah di masjid. Setelah yakin
bahwa Pak Gik dan Bunga telah menikah siri, maka Pak RT menyerahkan masalah ini
kepada suami saya, karena ini adalah hak suami saya sebagai pemilik kos-kosan,
apakah mau mengeluarkan Bunga ataukah tetap menerima Bunga untuk tinggal di kos
kami. Bunga pun telah memohon pada suami saya untuk tetap bisa tinggal di kos
kami dengan alasan terlalu merepotkan jika harus segera pindah karena dia baru
saja menjalani operasi kandungan. Selain itu, juga karena Bunga masih menunggu
sampai urusan KTPnya beres. Dengan
alasan kemanusiaan, maka suami saya tetap mengijinkan Bunga tinggal di kos
kami, tetapi dengan batas waktu (suami saya tetap menghormati keinginan saya
agar Bunga segera pindah dari kos kami, sehingga mengambil jalan tengah ini). Sebelum
bulan Ramadhan, Bunga harus pindah dari kos kami.
Apa yang terjadi kemudian? Pak Gik
justru semakin sering menginap di kamar Bunga.
Dia justru merasa mendapat angin segar setelah pertemuan dengan Pak RT
itu. Saya semakin keki dibuatnya.
Apalagi saya sering mendapati mereka berduaan di kamar dengan pintu
tertutup rapat dan tanpa nyala lampu. Mereka
berdua bisa betah seharian berduaan di kamar tanpa keluar, dan hanya keluar
untuk mencari makan. Setiap kamar kos memang didesain mempunyai private bathroom, sehingga memungkinkan
mereka untuk tidak keluar kamar seharian. Hanya suara mereka saja yang sering
terdengar dari luar kamar. Saya jadi
teringat akan kisah saya di Bristol, Inggris, saat saya harus tinggal seflat
dengan pasangan kekasih yang hidup bersama, selama 4 bulan. Bisa Anda bayangkan, bagaimana saya yang
hidup sendiri di negeri orang tanpa keluarga, harus tinggal serumah dengan pasangan
kumpul kebo.
Pengalaman saya setahun yang lalu itu
masih menyisakan trauma sampai sekarang, meski terkadang menggelikan juga.
Waktu itu saya sering mendengar suara-suara “aneh” dari dalam kamar pasangan kumpul kebo itu, yang membuat telinga
saya betul-betul risih. Belum lagi harus
melihat banyak adegan yang tidak pantas untuk dilihat. Meskipun suara-suara yang saya dengar dari kamar
Bunga adalah bukan suara-suara “aneh” seperti yang saya dengar saat saya tinggal
di Bristol dulu, tetapi tetap saja itu membuat saya risih karena ada pasangan
asing yang tinggal di rumah saya sendiri (kalau di Bristol sih saya bisa maklum karena itu adalah negara Barat, tetapi masak di rumah sendiri saya masih harus
mengalami hal demikian? nggak lah yauw...). Yang lebih risih lagi adalah melihat
penampilan (baca: cara berpakaian) Bunga jika Pak Gik sedang menginap di kamarnya. Saya sampai hafal, karena setiap pagi saat
Pak Gik ada di kamarnya, Bunga akan ke dapur (mungkin untuk membereskan bekas
makan atau apa, saya tidak tahu persis) dengan pakaian begitu seksi dan minim,
semacam lingerie, yang hanya pantas
dilihat oleh suaminya (tentunya Anda bisa menduga kan Bunga habis ngapain
dengan Pak Gik?). Suami saya pun pernah sekali melihat Bunga berpakaian seperti
itu, tetapi begitu tahu ada suami saya di luar kamarnya, dia langsung buru-baru
masuk kamar (untungnya Bunga masih punya rasa malu pada suami saya sehingga
suami saya pun segera terhindar dari zina mata....).
Cukup lama juga saya ngampet dengan kondisi seperti itu,
hingga terjadilah insiden menghebohkan di malam minggu seminggu yang lalu itu. Malam
itu seperti biasa Pak Gik menginap di kamar Bunga. Hari telah sangat larut. Saya pun sudah tidur pulas, demikian juga
dengan suami dan anak saya yang kecil.
Anak saya yang besar dan adik saya yang kebetulan sedang menginap di
rumah kami, masih asyik nonton pertandingan bola. Dan, tiba-tiba pintu rumah
kami diketuk orang dengan keras. Anak
saya segera membangunkan suami saya. Apa yang terjadi?
Ternyata serombongan orang datang menggeruduk rumah kami dan minta untuk bertemu
Bunga. Di rombongan itu terlihat Dodi dengan wajah penuh emosi sambil mulutnya
mengucapkan kata-kata kasar. Ada bapak-bapak keamanan kampung, dan beberapa
teman Dodi. Mereka juga membangunkan Pak RT yang kebetulan rumahnya dekat
dengan rumah kami. Singkat cerita,
rombongan itu pun menggerebeg kamar
Bunga. Dodi marah-marah pada Bunga dan
menjelek-jelekkan Bunga di depan orang-orang.
Dari penggerebegan ini
diketahui bahwa perceraian Dodi dengan Bunga belum resmi atau belum syah secara
hukum. Tetapi Bunga berpendapat bahwa selama
4 tahun dia sudah tidak mendapatkan nafkah lahir batin dari Dodi, sehingga
secara otomatis dia sudah bisa bercerai dari Dodi. Sedangan Dodi tidak pernah
merasa menceraikan Bunga. Dodi
mengatakan bahwa dia selama ini tidak bisa memberi nafkah lahir kepada Bunga
karena setelah tidak menjabat menjadi anggota DPRD, dia tidak mempunyai
pekerjaan. Dodi juga terlibat hutang
yang harus segera dia luanasi, 300 juta.
Untuk itu selama ini dia mencari-cari keberadaan Bunga untuk meminta
tanda tangan Bunga agar bisa menjual rumah yang merupakan harta gono-gini untuk
melunasi hutang tersebut. Selain itu, menurut
versi Dodi, selama ini anak-anak mereka terus menanyakan Bunga, sampai-sampai
Dodi dan keluarganya telah mencari Bunga ke mana-mana, dan baru bisa
menemukannya sekarang (cerita tentang bagaimana Dodi bisa menemukan keberadaan
Bunga, tidak perlu saya ceritakan di sini karena terlalu panjang, takutnya akan membosankan Anda).
Melihat istrinya berduaan dengan
laki-laki lain, maka Dodi minta urusan ini dibawa ke polisi. Maka, jadilah di tengah malam buta itu, Pak
RT, suami saya, Bunga dan Pak Gik beserta rombongan penggerebek, rame-rame ke kantor polsek terdekat.
Intinya adalah Dodi melaporkan perzinahan istrinya dengan Pak Gik. Masalah menjadi besar begitu pihak kepolisian
tahu bahwa kasus ini melibatkan anggota kepolisian, apalagi seorang
perwira. Dodi pun ternyata bukan seorang
gentleman, dia menggiring kasus
seakan-akan warga kampung kamilah yang melaporkan kasus perzinahan itu, bukan
dirinya.
Apa yang terjadi kemudian? Apa yang
saya khawatirkan ternyata terjadi. Paginya, di koran “Bernas” menucul berita
dengan judul “Seorang perwira polisi tertangkap basah berduaan di kamar kos dengan
istri orang”. Waduh....nama suami saya juga ikut disebut dalam berita yang
telah didramatisasi itu. Untungnya,
alamat rumah kami tidak disebutkan secara jelas. Sungguh-sungguh berita yang membuat kami dan
warga kampung kami menjadi malu.
Untungnya, berita itu tidak diekspose secara besar-besaran, hanya merupakan
berita kecil di surat kabar itu.
Setelah kejadian malam itu, selama
beberapa hari kemudian ada sekitar 3-6 orang polisi berpakaian preman “bergentayangan”
di kampung saya, terutama di sekitar rumah kami. Tentu saja mereka melakukan investigasi, dan
sebagai saksi kunci adalah Pak RT, suami saya sebagai pemilik kos, dan Bunga
sebagai pasangan “zina” Pak Gik. Lebih dari satu jam suami saya diwawancarai
oleh polisi-polisi berpakaian preman itu, yang pada intinya adalah mereka
mencari bukti-bukti bahwa Pak Gik sebagai seorang perwira telah melakukan
pelanggaran dan pencemaran nama baik kepolisian karena telah “berzina” dengan
iztri orang. Jika terbukti bersalah, tentunya akan ada sanksi disiplin bagi Pak
Gik.
Semenjak kejadian malam penggerebegan
itu, Pak Gik tidak pernah muncul lagi di kos rumah kami. Bunga pun susah untuk ditemui, dia lebih
sering berada di luar kos, entah di mana. Untungnya suami saya sempat bertemu
Bunga sebelum dia menghilang, dan mengatakan padanya bahwa dia harus pindah
dari kos-kosan kami paling lambat akhir bulan ini, demi kenyamanan dan kebaikan
kampung kami. Dan, mau nggak mau Bunga harus setuju.
Tentunya cerita tentang kasus Bunga
ini masih panjang, karena sampai hari ini pun suami saya dan Pak RT masih
direpotkan dengan urusan ini. Yang
sangat saya syukuri adalah saya sudah sempat melaporkan tentang kasus
pernikahan Bunga dan Pak Gik kepada Pak RT jauh hari sebelum penggerebegan itu terjadi, sehingga Pak
RT sebagai pimpinan kampung dapat ikut membela posisi suami saya. Saya ngeri
membayangkan seandainya kasus penggerebegan
itu terjadi sebelum Pak RT tahu tentang kisah pernikahan Bunga dan Pak Gik, pastinya
nama baik suami saya akan hancur karena dianggap telah membiarkan perzinahan
terjadi di rumah kami. Syukurlah, karena
Pak RT telah tahu kisah yang sesungguhnya, maka cap negatif pun tidak
dilekatkan oleh warga kampung pada kami sekeluarga dan rumah kos kami. Allah telah menyelamatkan kami melalui feeling saya untuk segara melapor ke Pak
RT waktu itu.
Dari kasus Bunga kita dapat mengambil
hikmah. Terlepas dari siapa yang salah, apakah Bunga ataukah Dodi, biarlah itu
menjadi urusan pribadi rumah tangga mereka bedua, ada hal penting yang dapat kita
renungkan. Saya ingin mengajak Anda
merenung, terutama bagi Anda yang masih tidak peduli atas upaya negara (baca:
pemerintah) dalam mengatur dan melindungi warganya, yaitu dengan cara mengatur
bahwa semua perkawinan harus tercatat di KUA, demikian juga dengan perceraian.
Masih perlukah kita memberi peluang pada pernikahan siri jika hanya menimbulkan
mudzarat? Salahkan negara yang ingin melindungi warganya dengan membuat aturan
bahwa pernikahan yang syah adalah pernikahan yang syah secara agama maupun
secara hukum negara dengan mencatatkannya di KUA (baca: bagi muslim)? Kalau
kita tidak punya masalah atau melanggar aturan dan norma, mengapa kita mesti takut mengumumkan pernikahan
kita (yang merupakan berita bahagia) dan mencatatkannya di KUA? Bukankah
pernikahan ditujukan untuk membina keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah
serta diridhoi Tuhan, bukan hanya untuk melegalkan “perzinahan” (baca:hubungan
suami istri) semata?.