Istilah
tiga menara saya tujukan bagi tiga masjid yang saya sekeluarga kunjungi dalam touring liburan akhir tahun 2014 lalu,
yaitu Masjid Tiban di Kabupaten Malang, Masjid Agung Demak, dan Masjid Agung
Jawa Tengah di Semarang. Tiga masjid yang dibangun pada masa yang berbeda itu
masing-masing memiliki kisah dan keunikan sendiri-sendiri.
1. Masjid Tiban
Masjid Ajaib atau juga disebut Masjid Tiban
sebenarnya adalah Pondok Pesantren “Salafiah Bihaaru Bahri Asali Fadlaailir
Rahmah” yang terletak di tengah perkampungan yang padat penduduk, yaitu di
Jalan KH. Wahid Hasyim Gang Anggur Nomor 10, RT 07/RW 06, Desa Sananrejo,
Kecamatan Turen, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Nama yang cukup panjang tersebut
mempunyai makna Laut Madu atau, "Fadilah Rohmat" . Masjid ini
menjadi terkenal karena mitos yang beredar
serta keunikan arsitekturnya dengan warna dominan biru dan putih, juga bangunannya
yang sangat luas.
Pertama mengenal masjid ini dari
sebuah siaran televisi yang menceritakan keunikannya, hingga akhirnya membuat
saya penasaran untuk mengunjunginya. Disebut Masjid Tiban konon katanya karena
masjid yang sangat megah ini dibangun tanpa diketahui oleh warga masyarakat di
sekitarnya, masyarakat sekitar mengaku tidak pernah mengetahui aktivitas
pembangunannya. Menurut mitos yang beredar di kalangan masyarakat sekitar,
masjid tersebut dibangun dengan bantuan pasukan jin. Namun, pihak pesantren
selalu menampik kabar miring tersebut, dan menjelaskan bahwa masjid yang
sebenarnya secara keseluruhan merupakan kompleks pondok pesantren tersebut
pembangunannya bersifat transparan karena dikerjakan sendiri oleh para santri
dan jamaah. Jika masyarakat mengaku tidak melihat aktivitas pembangunannya, itu
karena pembangunan pondok pesantren ini banyak dikerjakan pada malam hari. Bantahan
tersebut jelas sekali dipampang di banyak tempat di dalam area Masjid Tiban
tersebut dengan tulisan besar-besar “Apabila
ada orang yang mengatakan bahwa ini adalah pondok tiban (pondok muncul dengan
sendirinya), dibangun oleh jin dsb., itu tidak benar. Karena bangunan ini
adalah Pondok Pesantren Salafiyah Bihaaru Bahri ‘Asali Fadlaailir Rahmah yang
murni dibangun oleh para santri dan jamaah.”
Menurut cerita, pondok pesantren ini
mulai dibangun pada Tahun 1978 oleh Romo
Kiai Haji Ahmad Bahru Mafdlaluddin Shaleh Al-Mahbub Rahmat Alam, atau yang
akrab disapa Romo Kiai Ahmad. Saat ini bangunan utama pondok dan masjid
tersebut telah mencapai 10 lantai, lantai 1 sampai 4 digunakan sebagai tempat
kegiatan para santri, lantai 6 seperti ruang keluarga, sedangkan lantai 5, 7,
dan 8 terdapat toko-toko kecil yang dikelola oleh para santriwati.
Barang-barang yang dijual di toko-toko tersebut beraneka rupa, seperti berbagai
macam makanan ringan, aneka pakaian, sarung, sajadah, jilbab, dan sebagainya.
Tak hanya unik, di dalam pondok pesantren
tersebut juga tersedia kolam renang, dilengkapi perahu yang hanya khusus untuk
dinaiki wisatawan anak-anak. Di dalam kompleks itu juga dipelihara berbagai
jenis binatang seperti kijang, monyet, kelinci, aneka jenis ayam dan burung.
Arsitek dari pembangunan pondok pesantren ini bukanlah seorang arsitektur
lulusan Perguruan Tinggi, melainkan katanya merupakan hasil dari istikharah pemilik
pondok, KH Achmad Bahru Mafdloludin Sholeh. Karenanya, bentuknya menjadi sangat
unik, seperti perpaduan Timur Tengah, Cina dan modern. Untuk pembangunannya pun
tidak menggunakan alat-alat berat dan modern seperti halnya untuk membangun
gedung bertingkat. Semuanya dikerjakan oleh para santri yang berjumlah 250
orang dan beberapa penduduk di sekitar pondok pesantren. Menurut cerita, Romo
Kiai sudah mulai membangun pondok pesantren dengan material apa adanya.
Contohnya, waktu itu adanya baru batu merah saja maka batu merah itulah yang dipasang dengan luluh
(adonan) dari tanah liat (lumpur atau ledok). Sampai saat ini, Masjid Tiban
belum sepenuhnya jadi, sehingga masih terus dalam proses pembangunan.
Saat ini kompleks pondok pesantren ini
menjadi tempat wisata tiban yang dipenuhi pengunjung dari berbagai daerah,
termasuk wisatawan mancanegara. Rata-rata pengunjung itu datang karena
penasaran dengan cerita yang beredar tentang seputar Masjid Tiban ini, termasuk
saya. Pihak pengelola pondok pesantren pun menyediakan berbagai fasilitas
pendukung, seperti area parkir kendaraan, cafe-cafe,
outlet suvenir, toilet, mushola, dan
sebagainya. Selain itu, di sepanjang jalan menuju pintu masuk area kompleks
Masjid Tiban, banyak masyarakat sekitar yang memanfaatkan obyek wisata tiban
ini untuk membuka warung-warung makanan maupun oleh-oleh. Musim liburan akhir
tahun ketika saya berkunjung ke masjid ini, pengunjung penuh sesak, sehingga
fasilitas parkir dan toilet terasa kurang.
Sebenarnya area pondok pesantren ini sangat luas, tetapi di puncak musim
liburan seperti ini area yang luas tersebut terasa sesak dengan pengunjung yang
sebagian besar datang secara berombongan dengan bis dari berbagai daerah. Kondisi seperti inilah yang membuat saya
malas untuk menyelusuri seluruh sudut Masjid Tiban, saya hanya masuk di dalam
satu gedung di beberapa ruang dan hanya di lantai satu saja. Tangga naik ke
lantai atas terasa sempit dan berkelok-kelok, bahkan kalau tidak waspada bisa
tersesat di dalam ruang yang berliku-liku tersebut.
Untuk memasuki Masjid Tiban,
pengunjung tidak dipungut biaya sama sekali, bahkan parkir pun gratis. Tetapi,
harus melaporkan dan mencatatkan diri saat datang maupun saat akan pulang. Bagi
yang ingin belanja suvenir, pengelola pondok menyediakan outlet suvenir yang menjual suvenir seperti CD tentang sejarah
Masjid Tiban, payung dan mug yang bertuliskan nama dan lambang dari pondok
pesantren tersebut.
Anda penasaran? Silakan kunjungi dan
nikmati keunikan pondok pesantren ini...
2.
Masjid
Agung Demak
Masjid Agung Demak
merupakan salah satu masjid tertua di Indonesia, terletak di daerah Kauman,
Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Masjid yang konon dibangun oleh para wali ini
dalam sejarahnya menjadi tempat berkumpulnya para wali yang menyebarkan agama
Islam di tanah Jawa yang terkenal dengan sebutan “Walisanga” . Masjid ini
dibangun pada masa Raden Patah, raja pertama Kasultanan Demak sekitar Abad 15
M.
Menurut cerita, Raden
Patah bersama Walisanga mendirikan masjid yang kharismatik ini dengan memberi
gambar serupa bulus yang merupakan candra sengkala memet, dengan arti Sarira
Sunyi Kiblating Gusti yang bermakna tahun 1401 Saka. Gambar bulus terdiri
atas kepala yang berarti angka 1 (satu), 4 kaki berarti angka 4 (empat), badan
bulus berarti angka 0 (nol), ekor bulus berarti angka 1 (satu). Dari simbol ini
diperkirakan Masjid Agung Demak berdiri pada tahun 1401 Saka.
Masjid Agung Demak
mempunyai bangunan-bangunan induk dan serambi. Bangunan induk memiliki empat
tiang utama yang disebut saka guru. Salah satu dari tiang utama tersebut
konon berasal dari serpihan-serpihan kayu, sehingga dinamai saka tatal.
Bangunan serambi merupakan bangunan terbuka. Atapnya berbentuk limas yang
ditopang delapan tiang yang disebut Saka Majapahit. Atap limas Masjid
terdiri dari tiga bagian yang menggambarkan iman, Islam, dan ihsan. Di
Masjid ini juga terdapat “Pintu Bledeg”, mengandung candra sengkalan yang dapat
dibaca Naga Mulat Salira Wani, dengan makna tahun 1388 Saka atau 1466 M,
atau 887 H.
Selain masjid, di
dalam kompleks Masjid Agung Demak yang berdekatan dengan alun-alun Demak
tersebut juga terdapat area makam raja-raja Kasultanan Demak dan para abdinya,
juga sebuah museum yang menyimpan berbagai hal tentang riwayat Masjid Agung
Demak, termasuk koleksi benda-benda bersejarah yang mencapai lebih dari 60
koleksi. Di antara koleksi tersebut adalah bagian-bagian soko guru yang rusak
(sokoguru Sunan Kalijaga, sokoguru Sunan Bonang, sokoguru Sunan Gunungjati,
sokoguru Sunan Ampel, sirap, kentongan, dan bedug peninggalan para wali, dua
buah gentong (tempayan besar) dari Dinasti Ming hadiah dari Putri Campa pada abad
ke-14, foto-foto Masjid Agung Demak
tempo dulu, lampu-lampu dan peralatan rumah tangga dari kristal dan kaca hadiah
dari PB I pada tahun 1710 M, kitab suci Al-Qur’an 30 juz tulisan tangan, maket
masjid Demak tahun 1845 – 1864 M, beberapa prasasti kayu memuat angka tahun
1344 Saka, kayu tiang tatal buatan Sunan Kalijaga, serta lampu robyong masjid
Demak yang dipakai tahun 1923 – 1936 M. Koleksi yang paling menarik di museum
ini adalah Pintu Bledeg buatan Ki Ageng Selo tahun 1466 M, dibuat dari kayu
jati berukiran tumbuh-tumbuhan, suluran, jambangan, mahkota, dan kepala
binatang (naga) dengan mulut terbuka menampakkan gigi-giginya yang runcing.
Menurut cerita, kepala naga tersebut menggambarkan petir yang kemudian dapat
ditangkap oleh Ki Ageng Selo.
3.
Masjid
Agung Jawa Tengah
Masjid Agung Jawa
Tengah (MAJT) yang beralamat di Jalan Gajah Raya No. 128, Sambirejo, Gayamsari,
Semarang, Jawa Tengah ini mulai dibangun sejak tahun 2001 hingga selesai secara
keseluruhan pada tahun 2006, berdiri di atas lahan 10 hektar. Masjid ini
diresmikan oleh Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 14
November 2006 sebagai masjid provinsi bagi Jawa Tengah.
Menurut sejarah, pembangunan MAJT
berawal dari kembalinya tanah banda (harta) wakaf milik Masjid Besar Kauman
Semarang yang telah sekian lama tak tentu rimbanya. Raibnya banda wakaf Masjid
Besar Kauman Semarang berawal dari proses tukar guling tanah wakaf Masjid
Kauman seluas 119.127 ha yang dikelola oleh BKM (Badan Kesejahteraan Masjid) bentukan
Bidang Urusan Agama Depag Jawa Tengah. Dengan alasan tanah itu tidak produktif,
oleh BKM tanah itu ditukar guling dengan tanah seluas 250 ha di Demak lewat PT.
Sambirejo. Kemudian berpindah tangan ke PT. Tensindo milik Tjipto Siswoyo. Hasil
perjuangan banyak pihak untuk mengembalikan banda wakaf Masjid Besar Kauman
Semarang itu akhirnya berbuah manis setelah melalui perjuangan panjang. MAJT
sendiri dibangun di atas salah satu petak tanah banda wakaf Masjid Besar Kauman
Semarang yang telah kembali tersebut. Pembangunan masjid tersebut dimulai pada
hari Jumat, 6 September 2002 yang ditandai dengan pemasangan tiang pancang
perdana yang dilakukan Menteri Agama Ri, Prof. Dr. H. Said
Agil Husen al-Munawar,
KH. MA Sahal Mahfudz dan Gubernur Jawa Tengah, H. Mardiyanto.
Pemasangan tiang pancang pertama tersebut juga dihadiri oleh tujuh duta besar
dari negara-negara sahabat, yaitu Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, Kuwait,
Mesir, Palestina, dan Abu Dabi. Dengan demikian mata dan perhatian dunia
internasional pun mendukung dibangunnya Masjid Agung Jawa Tengah tersebut. Keseluruhan pembangunan masjid ini menelan biaya
sebesar Rp 198.692.340.000,-
Arsitektur MAJT merupakan perpaduan
antara Jawa, Islam dan Romawi. Bangunan utama masjid beratap limas khas bangunan
Jawa namun di bagian ujungnya dilengkapi dengan kubah besar berdiameter 20
meter ditambah lagi dengan 4 menara masing masing setinggi 62 meter di tiap
penjuru atapnya sebagai bentuk bangunan masjid universal Islam lengkap dengan
satu menara terpisah dari bangunan masjid setinggi 99 meter yang melambangkan
“asmaul husna”. Di pelataran masjid juga dilengkapi payung-payung besar yang
dapat dikuncupkan maupun dimekarkan seperti yang ada di Masjid Nabawi, Madinah.
Gaya Romawi terlihat dari bangunan 25 pilar di pelataran masjid. Pilar pilar
bergaya koloseum
Athena di Romawi dihiasi kaligrafi yang indah, menyimbolkan 25 Nabi dan Rosul,
di gerbang ditulis dua kalimat syahadat,
pada bidang datar tertulis huruf Arab Melayu
“Sucining Guno Gapuraning Gusti“.
Masjid Agung Jawa Tengah ini, selain
disiapkan sebagai tempat ibadah, juga dipersiapkan sebagai objek wisata
religius. Untuk menunjang tujuan tersebut, Masjid Agung ini dilengkapi dengan
wisma penginapan dengan kapasitas 23 kamar berbagai kelas, sehingga para
peziarah yang ingin bermalam bisa memanfaatkan fasilitas ini. Daya tarik lain
dari masjid ini adalah Menara Al Husna atau Al Husna Tower yang tingginya 99
meter yang melambangkan “asmaul husna” tersebut Bagian dasar dari menara ini
terdapat Studio Radio Dais (Dakwah Islam), lantai 2 dan lantai 3 digunakan
sebagai Museum Kebudayaan
Islam, dan di lantai
18 terdapat Kafe Muslim yang dapat berputar 360 derajat. Lantai 19 untuk menara
pandang, dilengkapi 5 teropong yang bisa melihat kota Semarang. Pada awal Ramadhan
1427 H lalu, teropong di masjid ini untuk pertama kalinya digunakan untuk melihat
Rukyatul Hilal oleh Tim Rukyah Jawa Tengah
dengan menggunakan teropong canggih dari Boscha.
Pengunjung dapat menaiki menara ini
dengan lift dengan membayar 5000
rupiah per orang. Perlu kesabaran untuk bisa menaiki lift ini karena harus antri, terurtama di saat pengunjung membludag
di musim liburan seperti saat saya dan keluarga berkunjung ke sini. Menaiki
menara setinggi 99 meter ini saya jadi teringat Monas di Jakarta. Untuk
menjamin keamanan dan kenyamanan pengunjung, lantai puncak menara pandang ini
juga dilengkapi pagar pengaman seperti halnya di Monas Jakarta.
Dari puncak menara kita bisa menikmati
pemandangan Kota Semarang dan hamparan laut serta pelabuhan di salah satu
sudutnya. Sungguh sangat indah, apalagi dengan semilir angin yang cukup kencang,
lantai yang luas, juga dilengkapi fasilitas teropong untuk melihat keindahan
kota. Dengan memasukkan koin 500 rupiah pengunjung bisa menggunakan fasilitas
teropong ini. Sayangnya saat saya berkunjung, fasilitas teropong ini sedang tidak
bisa digunakan.
Setelah puas, kita bisa turun dengan lift lagi ke lantai 3 atau 2 untuk
melihat museum yang berisi peninggalan Islam jaman dulu, kisah masuknya islam
di Jawa, dan beberapa karya islam yang menarik. Kita juga bisa melihat sejarah Islam
dengan menggunakan komputer layar sentuh yang tersedia di ruangan ini. Dari museum kita kemudian dapat turun dengan tangga
ke lantai dasar. Sambil istirahat kita bisa membeli makanan minuman atau
suvenir sebagai oleh-oleh. Di lantai dasar menara terdapat beberapa counter yang menjual makanan ringan dan
minuman. Atau kita bisa jajan makanan di deretan warung yang tersedia di
sekitar MAJT yang menjual makanan dan aneka suvenir, seperti kaos, gantungan
kunci, magnet kulkas, topi, dan lain sebagainya dengan gambar MAJT. Sebagai
kenang-kenangan saya pun membeli suvenir magnet kulkas bergambar MAJT tersebut.
Liburan Keluarga akhir tahun, 25-31 Desember 2014;
Probolinggo-Bromo-Pasuruan-Malang-Surabaya-Gresik-Demak-Semarang