Masa-masa sekolah selalu
menyisakan kenangan yang sayang jika dilupakan. Selama sekolah S3, memang tak
jarang kisah sedih, pilu dan penuh liku perjuangan, tertoreh di hati. Apalagi sistem
sekolah S3 di dalam negeri terkenal sulit (baca: dibandingkan dengan sistem S3
luar negeri), harus sabar dan kuat menghadapi berbagai tantangan dan ujian
mental, baik yang bersifat akademis maupun non akademis. Bahkan, banyak orang
yang nggak berani ambil S3 di UGM,
karena terkenal lulusnya lama alias rata-rata di atas 5 tahun.
Sekolah S3 memang tidak
bisa dikatakan ringan. Kami dituntut tanggung jawab keilmuan yang sangat berat.
Sekolah S3 di UGM juga dituntut untuk mandiri, semua kesulitan yang kami dapati
selama sekolah, lebih banyak harus kami selesaikan sendiri, tanpa banyak peran
dari tim promotor. Semua itu demi satu cita, predikat doktor yang penuh nilai. Eits.... tapi tulisan saya ini tidak
akan bercerita tentang masa-masa sulit ini. Saya justru akan mengulas sisi yang
menyenangkan selama sekolah S3.
Lewat tulisan ini saya
ingin mengenang kembali masa-masa kebersamaan yang indah bersama teman-teman S3
saya. Alhamdulillah, saya mendapatkan
teman-teman yang baik dan sealiran dengan saya, yaitu suka ngumpul dan jalan-jalan. Inilah cara ampuh bagi kami untuk sejenak
melupakan tekanan sekolah dan berbagi dengan teman seperjuangan, baik berbagi
suka, duka maupun kisah. Dari sini kami juga bisa saling menasehati dan memberi
masukan jika ada dari kami yang membutuhkan support.
Banyak cerita yang membuat kami tertawa bersama jika mengingatnya. Berikut ini
saya akan ceritakan satu demi satu.
1. Yangkung yang bikin keki
Yangkung adalah sebutan untuk seorang
dosen kami yang sudah sangat sepuh. Beliau adalah seorang profesor yang sebenarnya
sudah pensiun, berumur sekitar 75 tahun. Fisiknya yang sudah pernah terserang
stroke sebenarnya sudah tidak bisa dikatakan bugar, bahkan untuk berjalan pun
seringkali harus dituntun, tetapi semangatnya sangat luar biasa. Mengapa bikin
keki? Karena sesepuh yang masih dijatah
mengajar oleh Pak Dekan dengan alasan untuk tetap menjaga semangat hidupnya
ini, nganeh-nganehi alias
permintaannya aneh-aneh. Dan siapa yang menjadi korban permintaan-permintaannya
itu? Tentu saja kami para mahasiswanya.
Banyak cerita tentang Yangkung yang
berkesan bagi kami, terutama bagi beberapa orang yang paling sering dipanggil
menghadap ke kediaman beliau untuk sekedar mendengarkan beliau bercerita, atau bahkan untuk mengantarkan dan menemani beliau
menghadiri suatu acara. Dan, saya termasuk salah satunya. Beliau memang tinggal
sendiri tanpa keluarga sehingga sering merasa kesepian.
Salah satu kenangan yang berkesan
adalah beliau minta diadakan perayaan Sumpah Pemuda di kelas, waktu itu tanggal
28 Oktober 2008, di bulan-bulan pertama masa sekolah kami. Saya adalah salah
satu orang yang ditunjuk menjadi panitia. Jadilah hari itu kami membaca sumpah pemuda, menyanyi lagu
nasional, berdoa bersama, mendengarkan wejangan dari Yangkung, makan cemilan
bersama, dan berakhir dengan foto bersama. Dan, satu hal lagi permintaan yang nganeh-nganehi, yakni untuk urusan nilai matakuliah Filsafat
Ilmu yang beliau ampu, kami para mahasiswa harus mengambil nilai itu langsung
di kediaman beliau.
2. Metodologi Penelitian, matakuliah paling sangar
Di Fakultas Geografi UGM ini ada 4
program studi S3, yakni Ilmu Lingkungan, Geografi, Penginderaan Jauh, dan
Kependudukan. Untuk semua program studi ini, tahun pertama adalah tahun untuk
teori alias untuk menempuh beberapa matakuliah wajib yang harus ditempuh oleh
semua mahasiswa, dan matakuliah pilihan yang ditentukan berdasarkan arah
penelitian mahasiswa.
Metodologi penelitian adalah matakuliah wajib yang harus
ditempuh oleh semua mahasiswa. Kami sangat terkesan dengan matakuliah yang
diampu oleh profesor-profesor handal di Fakultas Geografi ini. Mengapa? Terutama adalah karena tugas matakuliah ini yang mengharuskan kami menyusun
proposal penelitian disertasi kami, kemudian dipresentasikan di depan kelas,
diberi komentar maupun masukan dari teman-teman sekelas dan dosen pengampu, dan
tentu saja kemudian dinilai oleh dua orang dosen pengampu tersebut. Dan, dosen
pengampunya adalah dua orang profesor yang terkenal disiplin, teliti dan sangat
serius, serta tidak main-main dalam memberikan penilaian kepada mahasiswa,
yaitu Prof Sutikno dan Prof Hadi Sabari. Bahkan, ada teman kami yang harus
mengulang presentasi alias memperbaiki proposalnya.
Bisa dibayangkan, di semester pertama
sekolah, kami yang rata-rata belum matang dengan rencana penelitian disertasi
kami, harus dipaksa untuk membuat proposal penelitian yang sudah matang dan
siap untuk diaplikasikan di medan penelitian. Tentu saja ini merupakan tantangan tersendiri
bagi kami. Saking beratnya matakuliah ini, membuat kami justru kompak dan
merasa senasib, sehingga setelah berakhirnya presentasi maraton selama beberapa
hari, kami pun mengadakan acara kumpul-kumpul dan makan-makan di Rowo Jombor,
Klaten. Tentu saja foto-fotoan
menjadi agenda wajib bagi kami. Keriangan dan keceriaan tergambar di wajah kami
saat itu, tidak beda jauh dengan keriangan remaja-remaja SMA yang merayakan
kelulusannya. Selain itu juga ada acara penutupan di restoran Gita Buana dengan mengundang Prof Sutikno dan Prof Hadi Sabari. Acara diisi dengan makan bersama, ramah-tamah, karaokean dan foto bersama.
Dan perlu diingat, di antara
matakuliah yang diselenggarakan di program S3 Fakultas Geografi UGM ini, Metodologi
Penelitian adalah matakuliah yang paling susah nilainya. Nilai A, B, dan C
menyebar, tidak seperti matakuliah lain yang royal memberikan nilai A kepada
mahasiswanya. Syukurlah, saya termasuk segelintir orang yang mendapatkan nilai
A untuk matakuliah ini.
3. Dolan-dolan membuang stres
Di tahun ke dua, kami mulai
disibukkan dengan urusan penelitian kami masing-masing. Ada yang sibuk
mempersiapkan ujian komprehensif alias ujian proposal, ada yang sudah mulai
penelitian di lapangan, meskipun juga ada teman yang masih bingung dengan arah penelitiannya,
dan bahkan ada juga teman yang justru sibuk dengan urusan non akademis.
Meskipun demikian, kebiasaan kami yang sudah dirintis sejak semester pertama
kebersamaan kami di program S3 ini, yaitu kumpul-kumpul dan dolan-dolan, tetap dilestarikan.
Sebenarnya dari 25 orang mahasiswa S3
Angkatan 2008, tidak semua yang suka atau selalu bisa ikut kegiatan ini. Saya
termasuk yang aktif terlibat di setiap acara kumpul-kumpul dan dolan-dolan. Hanya satu dua kali saja
yang saya terpaksa tidak bisa bergabung karena suatu alasan. Hebatnya, Bu Dwita
sang ketua kelas kami ini, punya kharisma yang sangat kuat untuk memimpin kami
semua. Kelembutan dan keanggunannya yang menjadi trade mark-nya, menjadi gaya kepemimpinannya.
Banyak tempat yang telah kami kunjungi
untuk sekedar refreshing, baik
sekedar kumpul-kumpul dan makan-makan di beberapa restoran atau warung makan di
Yogyakarta dan sekitarnya, maupun ke tempat-tempat rekreasi dengan jarak yang
cukup jauh.
Tempat rekreasi yang pernah kami kunjungi bersama-sama adalah
Kaliurang, Rowo Jombor, Lawang Sewu di Semarang, Bandungan dan Candi Gedong
Sanga, Candi Ceto di Lereng Gunung Lawu, dan Waduk Gajah Mungkur di
Wonogiri. Untuk mendanai itu semua, kami
sepakat iuran, dan saya lah yang bertugas sebagai bendahara dan mengatur
pengeluarannya. Meskipun begitu, ada seorang teman yang seringkali menjadi “donatur
utama” bagi kami (baca: ngebosi). Dialah
Pak Rahmat, yang pemurah dan baik hati. Urusan kendaraan atau transportasi dan
makan, seringkali dia yang nraktir. Bahkan, gara-gara dialah kami bisa merasakan
naik mobil mercy dan pajero, dua mobil mewah miliknya yang biasa dipakainya ke
kampus.
3. Silaturahim sambil dolan-dolan
Ada agenda rutin yang sempat kami
jalankan, yaitu berkunjung ke rumah teman yang sedang punya hajat, dan tentu
saja sekalian mampir ke tempat-tempat tertentu untuk refreshing atau dolan-dolan.
Yang pernah kami lakukan adalah saat Bu Sri Ngabekti yang biasa kami sapa Bunga
mau berangkat haji, maka kami pun berkunjung ke rumah dia di Semarang, juga
sekalian berkunjung ke rumah dua teman lainnya yang sama-sama tinggal di
Semarang, yakni Bu Forita dan Pak Yanto. Dan, tentu saja kami tak lupa mampir
dolan ke Lawang Sewu dan pusat oleh-oleh
khas Semarang di Pandanaran.
Ada lagi, kami pernah mengadakan
kumpul-kumpul di rumah Pak Rahmat di Solo. Pak Rahmat dan istri menjamu kami di
rumahnya yang besar dan asri. Kami semua
sekedar kumpul, ngobrol-ngobrol,
makan-makan dan nyanyi-nyanyi
diiringi organ tunggal yang sengaja disewa oleh Pak Rahmat beserta pemainnya.
Tak lupa kami mampir ke pusat batik Laweyan untuk belanja. Lagi-lagi Pak Rahmat dan istri berbaik hati
menanggung transport kami, sampai kami diantarkan kembali ke stasiun untuk naik
kereta Pramex kembali ke Yogyakarta.
Kalau ada acara main ke Solo dan sekitarnya,
Pak Rahmat lah yang selalu menanggung transport lokal dan makan teman-teman
semua. Saya dan teman-teman hanya menanggung transport dari Yogya ke Solo saja.
Dan, kami selalu naik kereta Pramex
rame-rame. Saya hitung, ada tiga kali ke
Solo, yaitu saat kumpul-kumpul di rumah Pak Rahmat, saat dolan ke Waduk
Wonogiri, dan saat ke Candi Ceto di lereng Gunung Lawu.
Ada juga acara silaturahim ke rumah
teman yang diakhiri dengan mampir makan-makan di salah satu rumah makan,
biasanya yang dekat-dekat saja. Seperti saat dari takziah ke kediaman Pak
Bambang Sulis, kami mampir makan di Rumah Makan Pecel Solo di Jalan Monumen
Yogya Kembali. Kali ini yang nraktir
Pak Saparis sebagai ekspresi rasa syukur telah lulus sekolah dan mendapat jatah
penempatan dari instansinya di Jakarta.
Pernah juga kami mampir makan sate klathak
di Jalan Imogori, kali ini BSS alias bayar sendiri-sendiri. Tetapi, seringkali
yang jadi juru traktir di setiap acara makan-makan di restoran adalah Pak
Rahmat. Bahkan saat kami makan besar di Rumah Makan Padang “Sederhana” di Jalan
Kaliurang pun, Pak Rahmat yang mbayari.
Sampai ada joke dari Pak Saparis
bahwa “Selama ada Pak Rahmat, jangan bayar makanan sendiri, nanti ndak Pak Rahmat tersinggung”....Hahaha...ada-ada
saja (Semoga Tuhan membalas kebaikan hati Pak Rahmat). Saya sendiri, hanya
sekali menanggung makan-makan saat di RM Pondok Cabe Jalan Cik Di Tiro, itu pun
ditanggung bersama dengan Bu Dwita, sebagai acara syukuran dari kami berdua yang
akan berangkat program Sandwich DIKTI, saya ke Inggris dan bu Dwita ke Austria .
4. Ujian terbuka kakak kelas sebagai
ajang kumpul-kumpul dan makan-makan gratis
Ujian terbuka kakak kelas sebenarnya menjadi ajang kami untuk belajar dan mempersiapkan mental karena pada saatnya nanti kami pun harus menjalani ritual ini (baca: bagi yang memilih jalur ujian terbuka, bukan wisuda. Tetapi, biasanya para promotor lebih suka bimbingannya menempuh jalur ujian terbuka daripada wisuda). Tetapi, bukan kami kalau tidak bisa memanfaatkan momen ujian kakak kelas ini untuk ajang ngumpul dan berbagi cerita sambil makan-makan gratis. Sungguh ajang yang menyenangkan bagi kami, sampai lama-lama akhirnya kami bosan sendiri seiring dengan kesibukan kami yang semakin meningkat di semester-semester akhir masa studi kami. Hingga akirnya, kami hanya akan datang ke ujian terbuka kakak kelas jika judul penelitiannya related dengan penelitian kami.
Ujian terbuka kakak kelas sebenarnya menjadi ajang kami untuk belajar dan mempersiapkan mental karena pada saatnya nanti kami pun harus menjalani ritual ini (baca: bagi yang memilih jalur ujian terbuka, bukan wisuda. Tetapi, biasanya para promotor lebih suka bimbingannya menempuh jalur ujian terbuka daripada wisuda). Tetapi, bukan kami kalau tidak bisa memanfaatkan momen ujian kakak kelas ini untuk ajang ngumpul dan berbagi cerita sambil makan-makan gratis. Sungguh ajang yang menyenangkan bagi kami, sampai lama-lama akhirnya kami bosan sendiri seiring dengan kesibukan kami yang semakin meningkat di semester-semester akhir masa studi kami. Hingga akirnya, kami hanya akan datang ke ujian terbuka kakak kelas jika judul penelitiannya related dengan penelitian kami.
Satu lagi momen yang sangat berkesan
bagi kami, yaitu saat kami semua diundang di acara pengukuhan guru besar Prof
Hartono, Direktur Sekolah Pasca Sarjana UGM. Hal ini sangat berkesan, karena kami
bisa ngumpul kembali setelah sekian lama tidak bisa ngumpul bareng karena telah disibukkan
dengan urusan mengejar target kelulusan masing-masing. Saya sendiri waktu itu
sedang menunggu hari-H ujian tertutup, dan sudah ada 3 teman seangkatan yang
telah lulus alias berpredikat doktor, tetapi mereka bertiga bukan satu program
studi dengan saya. Seperti biasa kami rame-rame menikmati acara ini, terutama karena
ada acara makan-makan gratisnya...hehe. Setelah acara syukuran selesai, kami
masih sempatkan diri untuk berkumpul dan
ngobrol-ngobrol melepas kangen
di bawah pohon rindang di sebelah utara gedung pusat UGM.
5. Kekompakan dengan teman-teman satu promotor
Menjalin komunikasi dan kebersamaan
dengan teman-teman yang mempunyai promotor atau co-promotor yang sama dengan saya,
ternyata sangat bermanfaat. Yang jelas, selain bisa berbagi banyak hal
akademis, saya juga bertambah teman dan persaudaraan. Program studi Ilmu
Lingkungan yang saya tempuh dan riset disertasi yang saya lakukan, mengharuskan
saya mendapatkan tim promotor lintas fakultas, yaitu dari Fakultas Pertanian, Geografi
dan Biologi. Saya pun akhirnya mempunyai banyak teman dari Fakultas Pertanian.
Apalagi Prof Edhi Martono, promotor saya, pernah secara khusus mengundang kami
semua para bimbingannya yang berasal dari beragam fakultas untuk ngumpul di
rumah beliau. Ini menjadi ajang bagi kami untuk saling mengenal dan bertukar
informasi, juga saling support.
6. Cerita lucu dan gosip penyedap rasa
Ternyata masa sekolah S3 tidak jauh
berbeda dengan masa SMA maupun masa S1 dulu, selalu saja ada gosip tentang
kisah cinta dua anak manusia. Kali ini gosip beredar karena kedekatan hubungan
mereka berdua yang sering pergi berduaan dan tampak mesra. Tentu saja kami tak
bisa memastikan ada cinta di antara mereka berdua. Karena, kalau memang benar
ada, maka pastilah cinta itu cinta terlarang karena mereka berdua telah
sama-sama berkeluarga. Yang kemudian terjadi adalah ada seorang dari kami yang
bertugas menyampaikan pesan dari teman-teman semua agar mereka berdua hati-hati
bersikap dengan adanya gosip yang beredar. Dan apa jawabannya? Katanya mereka
berdua hanya menganggap kedekatan mereka sebagai hubungan kakak adik saja. Kami
teman-temannya berusaha percaya saja, meskipun di belakang mereka berdua kami
sering menggosipkannya dan menjadikan hal itu sebagai guyonan. Tetapi
syukurlah, seiring berjalannya waktu hubungan mereka berdua semakin renggang,
apalagi setelah si cowok lebih banyak berada di tempat asalnya.
Selain gosip di atas, banyak cerita
yang seringkali menjadi bahan guyonan
saat kami kumpul-kumpul, seperti nggodain
teman yang dikatakan naksir seseorang
(jelas naksirnya terlarang karena
masing-masing telah berkeluarga), ngrumpiin
seorang teman yang terkenal pelit, seorang kakak kelas yang gara-gara sekolah
S3 menikah lagi dengan teman sesama mahasiswa S3 UGM tetapi beda fakultas kemudian
bercerai dengan istrinya yang dulu, ataupun ngrumpiin
seorang kakak kelas yang terkenal dengan sebutan Mpok Atik. Semuanya itu
menjadi bumbu penyedap di saat kami ngumpul
bareng.
Dan, inilah hal yang terpenting, kami
saling support. Jika ada teman yang
mempunyai kesulitan dalam disertasinya, teman yang lain membantu. Dalam hal
pembuatan peta, Pak Saparis selalu siap membantu. Saya pun banyak terbantu dengan tradisi ini.
Jika ada teman yang nggak pernah
nongol di kampus dan mempunyai hambatan, kami berdiskusi untuk dapat
membantunya. Dan, saat mulai ada teman
yang maju ujian tertutup maupun ujian terbuka, kami siap menjadi supporter. Seperti biasanya, makan-makan menjadi acara
penting untuk beramah tamah selepas acara, juga berfoto bersama. Saya sendiri adalah
orang ke-4 yang lulus doktor untuk Angkatan 2008 di Fakultas Geografi, dan nomor
satu untuk Program Studi Ilmu Lingkungan. Ternyata, tidak selamanya sekolah S3
di UGM membutuhkan waktu lebih dari 5 tahun, karena saya dan banyak teman yang
lain bisa menyelesaikannya dalam waktu tidak lebih dari 4 tahun. Bahkan, ada
seorang kakak kelas yang bisa selesai dalam waktu kurang dari 3 tahun (meski cukup
banyak juga yang lebih dari 5 tahun). Ternyata, yang terpenting adalah tetap
berdoa dan berusaha keras, pantang putus asa.
Itulah sekelumit cerita ceria
di masa sekolah S3 di UGM yang menurut banyak orang begitu menakutkan dan
menjadi momok, karena banyaknya kisah duka dari teman-teman pendahulu tentang
pengalamannya studi S3 di kampus ini.
Saya yang menempuh sebagian disertasi saya di University of Bristol, Inggris,
memang mengamini kesan teman-teman pendahulu bahwa studi S3 di dalam negeri
lebih berat daripada di luar negeri (baca: terlepas dari beratnya berpisah
dengan keluarga di tanah air). Tetapi, saya sengaja menampilkan kisah ceria di
sini, untuk menyampaikan pesan kepada teman-teman lain yang ingin mengambil program S3 dalam negeri agar tidak
takut, dan bisa mengambil hikmah bahwa di mana pun kita sekolah, kita bisa merasakan
kebahagiaan dengan versi kita sendiri. Cobaan dan ujian hidup selama sekolah
pastinya ada, dan setiap orang mempunyai ujian hidupnya masing-masing. Jangan
pernah berpikir bahwa ujian hidup kita lebih berat dari orang lain, karena
Tuhan Mahatahu kemampuan setiap hamba-Nya dalam menanggung beban cobaan-Nya. Salam sukses.
Yogyakarta, 9 Agustus 2012
Titien
Tidak ada komentar:
Posting Komentar