Sekolah S3 memang tidak
bisa dikatakan ringan. Kami dituntut tanggung jawab keilmuan yang sangat berat.
Sekolah S3 di UGM juga dituntut untuk mandiri, semua kesulitan yang kami dapati
selama sekolah, lebih banyak harus kami selesaikan sendiri, tanpa banyak peran
dari tim promotor. Semua itu demi satu cita, predikat doktor yang penuh nilai. Eits.... tapi tulisan saya ini tidak
akan bercerita tentang masa-masa sulit ini. Saya justru akan mengulas sisi yang
menyenangkan selama sekolah S3.
Lewat tulisan ini saya
ingin mengenang kembali masa-masa kebersamaan yang indah bersama teman-teman S3
saya. Alhamdulillah, saya mendapatkan
teman-teman yang baik dan sealiran dengan saya, yaitu suka ngumpul dan jalan-jalan. Inilah cara ampuh bagi kami untuk sejenak
melupakan tekanan sekolah dan berbagi dengan teman seperjuangan, baik berbagi
suka, duka maupun kisah. Dari sini kami juga bisa saling menasehati dan memberi
masukan jika ada dari kami yang membutuhkan support.
Banyak cerita yang membuat kami tertawa bersama jika mengingatnya. Berikut ini
saya akan ceritakan satu demi satu.
1. Yangkung yang bikin keki
Yangkung adalah sebutan untuk seorang
dosen kami yang sudah sangat sepuh. Beliau adalah seorang profesor yang sebenarnya
sudah pensiun, berumur sekitar 75 tahun. Fisiknya yang sudah pernah terserang
stroke sebenarnya sudah tidak bisa dikatakan bugar, bahkan untuk berjalan pun
seringkali harus dituntun, tetapi semangatnya sangat luar biasa. Mengapa bikin
keki? Karena sesepuh yang masih dijatah
mengajar oleh Pak Dekan dengan alasan untuk tetap menjaga semangat hidupnya
ini, nganeh-nganehi alias
permintaannya aneh-aneh. Dan siapa yang menjadi korban permintaan-permintaannya
itu? Tentu saja kami para mahasiswanya.
2. Metodologi Penelitian, matakuliah paling sangar
Metodologi penelitian adalah matakuliah wajib yang harus
ditempuh oleh semua mahasiswa. Kami sangat terkesan dengan matakuliah yang
diampu oleh profesor-profesor handal di Fakultas Geografi ini. Mengapa? Terutama adalah karena tugas matakuliah ini yang mengharuskan kami menyusun
proposal penelitian disertasi kami, kemudian dipresentasikan di depan kelas,
diberi komentar maupun masukan dari teman-teman sekelas dan dosen pengampu, dan
tentu saja kemudian dinilai oleh dua orang dosen pengampu tersebut. Dan, dosen
pengampunya adalah dua orang profesor yang terkenal disiplin, teliti dan sangat
serius, serta tidak main-main dalam memberikan penilaian kepada mahasiswa,
yaitu Prof Sutikno dan Prof Hadi Sabari. Bahkan, ada teman kami yang harus
mengulang presentasi alias memperbaiki proposalnya.

Dan perlu diingat, di antara
matakuliah yang diselenggarakan di program S3 Fakultas Geografi UGM ini, Metodologi
Penelitian adalah matakuliah yang paling susah nilainya. Nilai A, B, dan C
menyebar, tidak seperti matakuliah lain yang royal memberikan nilai A kepada
mahasiswanya. Syukurlah, saya termasuk segelintir orang yang mendapatkan nilai
A untuk matakuliah ini.
3. Dolan-dolan membuang stres
Tempat rekreasi yang pernah kami kunjungi bersama-sama adalah
Kaliurang, Rowo Jombor, Lawang Sewu di Semarang, Bandungan dan Candi Gedong
Sanga, Candi Ceto di Lereng Gunung Lawu, dan Waduk Gajah Mungkur di
Wonogiri. Untuk mendanai itu semua, kami
sepakat iuran, dan saya lah yang bertugas sebagai bendahara dan mengatur
pengeluarannya. Meskipun begitu, ada seorang teman yang seringkali menjadi “donatur
utama” bagi kami (baca: ngebosi). Dialah
Pak Rahmat, yang pemurah dan baik hati. Urusan kendaraan atau transportasi dan
makan, seringkali dia yang nraktir. Bahkan, gara-gara dialah kami bisa merasakan
naik mobil mercy dan pajero, dua mobil mewah miliknya yang biasa dipakainya ke
kampus.
3. Silaturahim sambil dolan-dolan

Kalau ada acara main ke Solo dan sekitarnya,
Pak Rahmat lah yang selalu menanggung transport lokal dan makan teman-teman
semua. Saya dan teman-teman hanya menanggung transport dari Yogya ke Solo saja.
Dan, kami selalu naik kereta Pramex
rame-rame. Saya hitung, ada tiga kali ke
Solo, yaitu saat kumpul-kumpul di rumah Pak Rahmat, saat dolan ke Waduk
Wonogiri, dan saat ke Candi Ceto di lereng Gunung Lawu.


Pernah juga kami mampir makan sate klathak
di Jalan Imogori, kali ini BSS alias bayar sendiri-sendiri. Tetapi, seringkali
yang jadi juru traktir di setiap acara makan-makan di restoran adalah Pak
Rahmat. Bahkan saat kami makan besar di Rumah Makan Padang “Sederhana” di Jalan
Kaliurang pun, Pak Rahmat yang mbayari.
Sampai ada joke dari Pak Saparis
bahwa “Selama ada Pak Rahmat, jangan bayar makanan sendiri, nanti ndak Pak Rahmat tersinggung”....Hahaha...ada-ada
saja (Semoga Tuhan membalas kebaikan hati Pak Rahmat). Saya sendiri, hanya
sekali menanggung makan-makan saat di RM Pondok Cabe Jalan Cik Di Tiro, itu pun
ditanggung bersama dengan Bu Dwita, sebagai acara syukuran dari kami berdua yang
akan berangkat program Sandwich DIKTI, saya ke Inggris dan bu Dwita ke Austria .

Ujian terbuka kakak kelas sebenarnya menjadi ajang kami untuk belajar dan mempersiapkan mental karena pada saatnya nanti kami pun harus menjalani ritual ini (baca: bagi yang memilih jalur ujian terbuka, bukan wisuda. Tetapi, biasanya para promotor lebih suka bimbingannya menempuh jalur ujian terbuka daripada wisuda). Tetapi, bukan kami kalau tidak bisa memanfaatkan momen ujian kakak kelas ini untuk ajang ngumpul dan berbagi cerita sambil makan-makan gratis. Sungguh ajang yang menyenangkan bagi kami, sampai lama-lama akhirnya kami bosan sendiri seiring dengan kesibukan kami yang semakin meningkat di semester-semester akhir masa studi kami. Hingga akirnya, kami hanya akan datang ke ujian terbuka kakak kelas jika judul penelitiannya related dengan penelitian kami.

Satu lagi momen yang sangat berkesan
bagi kami, yaitu saat kami semua diundang di acara pengukuhan guru besar Prof
Hartono, Direktur Sekolah Pasca Sarjana UGM. Hal ini sangat berkesan, karena kami
bisa ngumpul kembali setelah sekian lama tidak bisa ngumpul bareng karena telah disibukkan
dengan urusan mengejar target kelulusan masing-masing. Saya sendiri waktu itu
sedang menunggu hari-H ujian tertutup, dan sudah ada 3 teman seangkatan yang
telah lulus alias berpredikat doktor, tetapi mereka bertiga bukan satu program
studi dengan saya. Seperti biasa kami rame-rame menikmati acara ini, terutama karena
ada acara makan-makan gratisnya...hehe. Setelah acara syukuran selesai, kami
masih sempatkan diri untuk berkumpul dan
ngobrol-ngobrol melepas kangen
di bawah pohon rindang di sebelah utara gedung pusat UGM.
5. Kekompakan dengan teman-teman satu promotor
6. Cerita lucu dan gosip penyedap rasa
Ternyata masa sekolah S3 tidak jauh
berbeda dengan masa SMA maupun masa S1 dulu, selalu saja ada gosip tentang
kisah cinta dua anak manusia. Kali ini gosip beredar karena kedekatan hubungan
mereka berdua yang sering pergi berduaan dan tampak mesra. Tentu saja kami tak
bisa memastikan ada cinta di antara mereka berdua. Karena, kalau memang benar
ada, maka pastilah cinta itu cinta terlarang karena mereka berdua telah
sama-sama berkeluarga. Yang kemudian terjadi adalah ada seorang dari kami yang
bertugas menyampaikan pesan dari teman-teman semua agar mereka berdua hati-hati
bersikap dengan adanya gosip yang beredar. Dan apa jawabannya? Katanya mereka
berdua hanya menganggap kedekatan mereka sebagai hubungan kakak adik saja. Kami
teman-temannya berusaha percaya saja, meskipun di belakang mereka berdua kami
sering menggosipkannya dan menjadikan hal itu sebagai guyonan. Tetapi
syukurlah, seiring berjalannya waktu hubungan mereka berdua semakin renggang,
apalagi setelah si cowok lebih banyak berada di tempat asalnya.
Selain gosip di atas, banyak cerita
yang seringkali menjadi bahan guyonan
saat kami kumpul-kumpul, seperti nggodain
teman yang dikatakan naksir seseorang
(jelas naksirnya terlarang karena
masing-masing telah berkeluarga), ngrumpiin
seorang teman yang terkenal pelit, seorang kakak kelas yang gara-gara sekolah
S3 menikah lagi dengan teman sesama mahasiswa S3 UGM tetapi beda fakultas kemudian
bercerai dengan istrinya yang dulu, ataupun ngrumpiin
seorang kakak kelas yang terkenal dengan sebutan Mpok Atik. Semuanya itu
menjadi bumbu penyedap di saat kami ngumpul
bareng.
Dan, inilah hal yang terpenting, kami
saling support. Jika ada teman yang
mempunyai kesulitan dalam disertasinya, teman yang lain membantu. Dalam hal
pembuatan peta, Pak Saparis selalu siap membantu. Saya pun banyak terbantu dengan tradisi ini.
Jika ada teman yang nggak pernah
nongol di kampus dan mempunyai hambatan, kami berdiskusi untuk dapat
membantunya. Dan, saat mulai ada teman
yang maju
ujian tertutup maupun
ujian terbuka, kami siap menjadi supporter. Seperti biasanya, makan-makan menjadi acara
penting untuk beramah tamah selepas acara, juga berfoto bersama. Saya sendiri adalah
orang ke-4 yang lulus doktor untuk Angkatan 2008 di Fakultas Geografi, dan nomor
satu untuk Program Studi Ilmu Lingkungan. Ternyata, tidak selamanya sekolah S3
di UGM membutuhkan waktu lebih dari 5 tahun, karena saya dan banyak teman yang
lain bisa menyelesaikannya dalam waktu tidak lebih dari 4 tahun. Bahkan, ada
seorang kakak kelas yang bisa selesai dalam waktu kurang dari 3 tahun (meski cukup
banyak juga yang lebih dari 5 tahun). Ternyata, yang terpenting adalah tetap
berdoa dan berusaha keras, pantang putus asa.


Yogyakarta, 9 Agustus 2012
Titien
Tidak ada komentar:
Posting Komentar