Selasa, 15 Juli 2014

SEJENAK MELONGOK SUMBAWA*



*Seperti telah dimuat pada Rubrik “Jelajah” Harian Republika, 25 Mei 2014, dengan beberapa perubahan

Tanah Samawa atau Sumbawa saat ini mulai dilirik sebagai destinasi wisata, sehingga pasangan artis Nana Mirdad dan Andrew White  pun menanam investasi di pulau ini dengan membangun  sebuah water park di Jalan Raya Semongkat km 10 Desa Pelat Kecamatan Unter Iwek, meskipun hampir satu tahun keberadaannya tetapi belum nampak ramai pengunjung. Kata seorang penjaganya, pengunjung biasanya warga lokal Sumbawa yang datang berombongan sehingga mendapatkan diskon tiket masuk.

Memang belum banyak pecinta traveling yang melirik Sumbawa sebagai destinasi wisata di propinsi Nusa Tenggara Barat.  Orang lebih tertarik pada pulau saudaranya, Lombok. Padahal, cukup banyak hal yang menarik untuk dinikmati di pulau ini, dari keindahan alamnya, keunikan budayanya, maupun kulinernya. Untuk mencapai pulau ini pun bukan hal yang sulit, dapat dijangkau dari Lombok dengan transportasi udara maupun laut. Jika memilih transportasi laut, maka dapat menikmati keindahan pemandangan pulau-pulau kecil di sepanjang pelayaran. Kemegahan Gunung Rinjani dari kejauhan pun dapat disaksikan saat kapal mulai beranjak dari Pelabuhan Kayangan Lombok Timur menuju Sumbawa. Cukup tersedia kapal feri yang setiap satu jam sekali berlayar dari Pelabuhan Kayangan ke Pelabuhan Poto Tano Sumbawa. Perjalanan pun hanya memakan waktu tidak lebih dari satu jam, dan tarifnya pun cukup murah, dewasa 19 ribu dan anak-anak 11 ribu rupiah sekali menyeberang.
Meskipun tidak banyak sudut Pulau Sumbawa yang sempat saya longok, tetapi cukup banyak yang bisa saya dapatkan sebagai kenangan dan pengalaman tak terlupakan.

Pulau Seribu Bukit Sejuta Sapi                     
Julukan seribu bukit sejuta sapi memang pantas diberikan untuk Pulau Sumbawa, dengan daratan yang berbukit-bukit dan lahan penggembalaan sapi yang tersebar di seantero pulau ini. Masyarakat Sumbawa memang banyak yang beternak sapi, satu orang bisa memiliki 2 sampai 10 hektar lahan peternakan sapi. Daerah yang banyak terdapat peternakan sapi di Sumbawa Besar terutama adalah Kecamatan Moyo Hilir, Lopok dan Lape.
Yang unik dari peternakan ini adalah jenis sapinya yang khas, berwarna coklat dengan tubuh yang lebih kecil dibandingkan sapi di Jawa pada umumnya. Selain itu, cara pemeliharaannya juga dibiarkan hidup liar dan mencari makan sendiri di padang rumput penggembalaan, karena pemilik peternakan umumnya memiliki padang rumput yang luas yang terletak di lereng bukit. Lahan setiap peternak dibatasi dengan pagar kayu dan berhubungan langsung dengan bukit di dekatnya. Untuk lahan seluas 5 hektar bisa untuk memelihara sekitar 100 ekor sapi. Setiap peternak bisa memiliki 200 ekor sapi yang dibiarkan hidup bebas di lahan peternakannya. Saya melihat pemandangan ini seperti peternakan domba yang pernah saya jumpai di pedalaman Inggris.
Sapi-sapi tersebut dibiarkan hidup bebas, makan dari rumput dan hijau-hijauan yang terdapat di lahan peternakan maupun di hutan yang terletak di bukit yang berhubungan langsung dengan lahan peternakan tersebut. Si pemilik tidak ada beban untuk memberi pakan, hanya memberi tanda kepemilikan dengan tanda khusus di setiap sapinya serta memantau lahan peternakan di waktu-waktu tertentu, biasanya dengan naik kuda seperti cowboy ala Amerika.
Karena ukuran sapi Sumbawa lebih kecil dari jenis sapi yang biasa diternakkan di Jawa, maka harganya pun jauh lebih murah, antara 5-7 juta rupiah per ekor sapi dewasa.

Melongok Sejarah Sumbawa dari Istana Dalam Loka
Berdasarkan cerita sejarah, pemerintahan Sumbawa dulunya berkembang dari kerajaan Hindu yang kemudian menjalin hubungan dengan kerajaan Islam di Demak, sehingga pada akhirnya terbentuklah kepemimpinan kerajaan Islam di Sumbawa sekitar tahun 1478-1597, hingga pada tahun 1623 kerajaan Sumbawa jatuh ke tangan kerajaan Goa. Semenjak itu selama 3 abad dinasti kerajaan Goa berkuasa di tanah Sumbawa  dengan raja pertamanya adalah Sultan Hanurasyid I. Sampai saat ini peninggalan kerajaan ini masih ada, yaitu Istana Dalam Loka yang dibangun pada tahun 1885 oleh Sultan Muhammad Jalalludin III (1983-1931). Istana ini berdiri anggun di Jalan Sudirman, pusat  kota Sumbawa Besar, dan di sampingnya kini berdiri Masjid Agung Nurul Huda yang megah.
Dalam Loka berasal dari kata “dalam” yang berarti istana dan “loka” yang berarti tempat, jadi “dalam loka” berarti istana tempat tinggal raja.  Istana yang berbentuk rumah panggung dengan luas sekitar 900 m2 ini memiliki dua bangunan kembar, ditopang oleh 99 tiang yang melambangkan 99 sifat Allah (Asmaul Husna). Bangunan yang menghadap ke selatan atau ke alun-alun kota ini mempunyai susunan tangga sebagai satu-satunya jalan masuk ke istana, sebagai simbol bahwa siapapun harus menghormati raja, dan harus membungkuk bagi siapapun yang melewati tangga ini.
Istana Dalam Loka mulai memudar kemegahannya sejak dibangunnya istana baru pada tahun 1932 yang di kemudian hari menjadi rumah dinas “wisma praja” bupati Sumbawa. Untungnya, pada tahun 1979 – 1985 Istana Dalam Loka dipugar kembali oleh Departemen Kebudayaan, dan kemudian di tahun 1993 Dalam Loka dijadikan sebagai musium.  Sayangnya, waktu saya datang istana ini sedang tutup, sehingga saya tidak bisa melongok lebih dalam sejarah Sumbawa yang tersimpan di dalam istana.

Wisma Praja
Bangunan bersejarah selain Istana Dalam Loka adalah Wisma Praja yang terletak di Brangbara, Sumbawa Besar. Dibangun pada tahun 1932, merupakan tempat kediaman terakhir Sultan Kaharuddin II, dan kemudian menjadi istana Belanda. Arsitektur khas Belanda tampak kental sekali pada bangunan ini. Di kawasan ini dulunya berdiri rumah-rumah pegawai kerajaan yang sekarang tidak ada lagi. Ada dua meriam di halaman depan, dan cat putih mendominasi gedung. Saat ini Wisma Praja menjadi tempat menerima tamu-tamu agung, kegiatan-kegiatan upacara atau resepsi yang bersifat formal, dan pertemuan-pertemuan lainnya terkait pemerintahan daerah. Wisma Praja juga terkenal dengan sebutan Bale Jam atau Rumah Lonceng, karena terdapat lonceng besar di bagian depan kompleks yang didatangkan dari Belanda, dulunya berfungsi sebagai penanda waktu, tetapi sekarang sudah tidak difungsikan lagi. Di halaman samping Wisma Praja juga terdapat beberapa ekor rusa yang dipelihara khusus seperti halnya yang dapat dilihat di Istana Bogor.
Pantai Kencana
Menawarkan keindahan pantai pasir putihnya yang landai, Pantai Kencana berlokasi di Jalan Raya Poto Tano km 11 Badas. Mudah dijangkau dari pusat kota Sumbawa Besar, sekitar 17 km,  melalui jalan yang berkelok-kelok khas pegunungan berketinggian sekitar 450 m dpl, dengan suguhan pemandangan perbukitan dan lembah yang sangat  indah. Bagi yang ingin menginap, di pantai ini tersedia Kencana Beach Cottage. Cottage ini menyatu dengan pantai, sehingga untuk mencapai kawasan pantai ini, harus memasukinya dari pintu gerbang cottage. Bangunan cottage sangat asri, tampak sekali serasi dengan alam di sekitarnya.

Sayur Khas Sumbawa
Selain sea food, “sayur sepat’ menjadi menu wajib untuk menikmati kuliner khas Sumbawa. Rasa sayur ini mirip sayur asam kalau di Jawa, segar, asam dan pedas tetapi terasa beda dengan adanya rempah-rempah khusus khas Sumbawa dan juga ikan bakar yang dicelupkan ke kuah sayur ini. Bahan-bahan yang ada dalam sayur sepat di antaranya terong dan cabai yang telah dibakar, belimbing sayur dan irisan bawang merah goreng yang dimasukkan ke dalam kuah asam panas, kemudian dicelupkan ikan laut atau ikan tawar yang sebelumnya telah dibakar, tergantung selera kita. Nikmat sekali bila dimakan dengan nasi hangat.
Nanas Sumbawa
Begitu mendarat di Pelabuhan Poto Tano banyak sekali pedagang yang menjajakan nanas. Demikian juga saat perjalanan dilanjutkan menuju pedalaman Pulau Sumbawa, maka banyak dijumpai perkebunan nanas di wilayah pesisir. Ya, Sumbawa memang berlimpah nanas. Meskipun berukuran kecil, tetapi nanas Sumbawa sangat manis, harganya pun membuat tercengang, sangat murah, antara seribu sampai dua ribu rupiah per buah.
Oleh-oleh Khas
Sayang, tidak banyak yang bisa dibawa pulang sebagai oleh-oleh khas Sumbawa. Saya hanya menemukan permen susu dan kain tenun khas Sumbawa untuk saya bawa pulang sebagai oleh-oleh. Permen susu terasa istimewa karena katanya terbuat dari susu kuda liar yang menjadi ikon Sumbawa, rasanya manis legit. Kain tenun, coraknya sangat terpengaruh oleh kain tenun Bugis. Tidak heran, mengingat sejarah Sumbawa yang pernah diperintah oleh Raja keturunan Goa. Seratnya lembut dengan warna-warni menyala. Agak susah juga menemukan outlet yang menjual kain tradisional ini, sampai akhirnya saya menemukannya di pasar kota Sumbawa Besar dengan harga 200 ribu rupiah per lembar dan saya jahitkan menjadi satu baju tunik.
Sumbawa, 23-25 Desember 2013
Titien DJ
Traveler, tinggal di Yogyakarta