“Yogyakarta”
atau yang lebih dikenal dengan sebutan “Jogja”, merupakan satu kata yang
dipakai untuk menyebut dua wilayah, yang pertama yaitu kotamadya Yogyakarta
yang dikepalai oleh seorang walikota, dan yang ke-2 adalah propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta yang dikepalai oleh seorang gubernur. Karena merupakan daerah
istimewa, maka saat ini raja Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X atau biasa
disingkat dengan HB X, yang menjadi gubernurnya. Kotamadya Yogyakarta sendiri
adalah ibukota propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Jogja
dikenal dengan banyak predikat, antara lain sebagai kota pelajar, kota
perjuangan, kota budaya, dan kota wisata. Sebagai kota budaya, Jogja mempunyai
banyak destinasi wisata budaya yang menarik untuk dikunjungi. Destinasi yang
paling banyak diminati oleh wisatawan dalam negeri maupun mancanegara tentu
saja adalah keraton. Selain keraton, ada juga beberapa destinasi lain yang
menarik, seperti Taman Sari dan Makam raja-raja Mataram di Imogiri. Acara
sekaten yang merupakan pesta rakyat Jogja menyambut Maulid Nabi Muhammad SAW dengan
dikeluarkannya gunungan oleh keraton sebagai puncak acara, juga menarik untuk ditengok.
Meski
lahir, dibesarkan dan menetap di Jogja, saya tidak banyak mengenal budaya Jogja
yang sarat makna dan simbol-simbol filosofis itu. Hal ini karena bapak dan almarhum
ibu saya bukan orang asli Jogja, sehingga budaya Jogja tidak benar-benar
merasuk dalam diri saya. Oleh karena itulah, justru atas desakan anak saya yang
sulung, Raka, saya sengaja meluangkan waktu beberapa kali untuk menyusuri destinasi-destinasi
wisata tradisonal Jogja tersebut.
1. KERATON JOGJA
(NGAYOGYAKARTA HADININGRAT)
Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan istana resmi Kasultanan Yogyakarta. Istana
ini didirikan sejak Tahun 1755 oleh Sri Sultan HB I dan sampai sekarang masih
berfungsi sebagai tempat tinggal Sultan dan rumah tangga istananya yang masih
menjalankan tradisi kesultanan hingga saat ini. Keraton ini juga sekaligus
berfungsi sebagai obyek wisata kota Yogyakarta, dan untuk memasukinya dikenakan
tarif 5000 rupiah per orang.
Sebagian
kompleks keraton merupakan musium yang menyimpan berbagai koleksi milik
kasultanan, termasuk koleksi pemberian raja-raja Eropa, replika pusaka keraton,
gamelan, dan kereta kuda (kereta kencana). Bangunan keraton ini merupakan salah
satu contoh arsitektur istana Jawa yang terbaik, memiliki balairung-balairung
mewah, lapangan dan paviliun yang luas. Dan, arsitek dari bangunan yang cantik
ini adalah Sri Sultan HB I.
Bentuk
istana yang tampak sekarang ini sebagian besar merupakan hasil pemugaran dan
restorasi yang dilakukan oleh Sri Sultan HB VIII yang bertahta pada Tahun
1921-1939. Bangunan keraton memiliki 7 kompleks inti, yaitu Siti Hinggil Ler
(Balairung Utara), Kamandhungan Ler (Kamandhungan Utara), Sri Manganti,
Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan), dan Siti
Hinggil Kidul (Balairung Selatan) atau yang biasa disebut dengan Sasana
Hinggil. Selain itu, keraton ini juga memiliki berbagai warisan budaya baik
yang berbentuk upacara maupun benda-benda kuno yang bersejarah. Keraton
Yogyakarta juga merupakan lembaga adat, sehingga nilai-nilai filosofi dan
berbagai mitos menyelimuti keraton ini.
Secara
umum, tiap kompleks bangunan utama terdiri atas halaman yang ditutupi pasir
dari pantai selatan (sama dengan Keraton Kasunanan Surakarta atau Solo, Jawa
Tengah), dan ditanami pohon tertentu, umumnya pohon gayam (Inocarpus edulis) atau kepel (Stelechocarpus burahol). Kompleks
satu dengan yang lainnya dibatasi oleh tembok yang cukup tinggi dan dihubungkan
dengan “regol” (pintu gerbang). Daun pintunya terbuat dari kayu jati yang
tebal. Di belakang atau di muka regol biasanya terdapat dinding penyekat yang
disebut “renteng” atau “baturono”.
Meskipun
terlihat berasitektur tradisional Jawa, di beberapa bagian tertentu terlihat
sentuhan arsitektur asing seperti Portugis, Belanda, bahkan Cina. Bangunan di
tiap kompleks biasanya berkonstruksi “joglo”. Joglo yang terbuka tanpa dinding
disebut “bangsal”, sedangakn joglo yang tertutup dinding disebut “gedhong”
(gedung). Tiap-tiap bangunan memiliki kelas yang tergantung pada fungsinya dan
kedekatannya dengan jabatan penghuninya. Kelas utama misalnya, adalah bangunan
yang dipergunakan oleh Sultan, memiliki detil ornamen yang lebih rumit dan
indah dibandingkan dengan kelas di bawahnya. Semakin rendah kelas bangunan maka
ornamennya semakin sederhana, atau bahkan tidak memiliki ornamen sama sekali.
Selain ornamen, kelas bangunan juga dapat dilihat dari bahan serta bentuk
bagian atau keseluruhan bangunan itu sendiri.
Di
dalam kompleks keraton juga tersedia toko suvenir yang terpadu dengan restoran
yang menyediakan menu masakan istimewa yang disukai oleh para raja Jogja sejak
dulu. Para wisatawan yang berkunjung dapat berbelanja suvenir maupun menikmati
makanan khas keraton di sini. Sayangnya, harga barang-barang di toko suvenir
dan makanan di restoran ini terbilang cukup mahal. Toko suvenir dan restoran
dengan nama Sarinah ini dikelola oleh GKR Pembayun, putri sulung Sri Sultan HB
X. Dan, bagi pengunjung yang menyukai wayang kulit, dapat menikmatinya secara live. Pihak keraton sengaja menyajikan
pentas wayang kulit bagi wisatawan yang berkunjung ke keraton setiap hari Sabtu
pukul 10 pagi di bangsal pagelaran.
2. TAMAN SARI
Taman
Sari (Water Castle) sebenarnya masih
merupakan bagian dari bangunan kompleks keraton Yogyakarta dan juga merupakan
peninggalan Sultan HB I. Taman Sari yang berarti taman yang indah ini pada
jaman dulu merupakan tempat rekreasi bagi Sultan dan kerabat istana. Sayangnya,
kompleks Taman Sari ini sekarang telah menyatu dengan permukiman penduduk,
meskipun bangunan utama masih bisa diselamatkan dari himpitan rumah-rumah
penduduk setelah ditetapkannya Taman Sari sebagai cagar budaya.
Kompleks
Taman Sari terdiri dari kolam-kolam pemandian yang disebut sebagai Umbul
Binangun, serta bangunan-bangunan pendukung lainnya. Tempat yang masih dianggap
sakral sampai sekarang adalah “Pasareyan Ledoksari” yang merupakan tempat
peraduan dan tempat pribadi Sultan. Bangunan lain yang menarik adalah “Sumur Gumuling”
yang merupakan bangunan bertingkat dua dengan lantai bagian bawahnya terletak
di bawah tanah. Di masa lampau, bangunan ini adalah surau (semacam mushola)
tempat beribadah Sultan. Sumur Gumuling ini dapat dicapai dengan melewati
lorong bawah tanah. Dan, masih banyak lorong bawah tanah lain yang merupakan
jalan rahasia dari keraton menuju Taman Sari ini, termasuk juga lorong yang
dipersiapkan sebagai jalan penyelamat jika sewaktu-waktu kompleks ini mendapat
serangan musuh.
Menelusuri
Taman Sari ini seakan membawa saya ke masa lalu. Sisa-sisa kemegahan masa lampau
tampak sekali di sini. Saya membayangkan bagaimana dulu para istri dan selir
raja mandi di kolam Taman Sari (Umbul Binangun) sambil bercanda riang, sedangkan
Sultan dari kamar pribadinya (Pasareyan Ledoksari). akan melihat para istri dan
selirnya itu mandi, kemudian akan memilih salah satu dari mereka untuk diajak
ke peraduannya. Ah, saya membayangkan
tentu suasana saat itu sangat erotis.
Selesai
dengan melihat-lihat suasana di dalam bangunan, saya mencoba naik ke bangunan
atas. Menurut kisah, pada jaman dulu dari istana menuju Taman Sari, raja biasa
naik perahu dan mendarat di bangunan ini. Ya, jaman dulu memang ada jalur air
dari istana menuju Taman Sari. Tentu saja
jalur itu sekarang tinggal kenangan. Dan, dari atas bangunan inilah saya
dapat melihat pemandangan sebagian kota Jogja, terutama permukiman padat
penduduk di sekitar Taman Sari.
3. SEKATEN DAN
GUNUNGAN/GEREBEG
Sekaten
merupakan sebuah upacara tradisional kerajaan yang dilaksanakan selama tujuh
hari, yang merupakan sebuah perayaan kelahiran (maulid) Nabi Muhammad SAW. Oleh
karena itulah ada yang menyatakan bahwa asal-usul upacara ini berasal dari
kerajaan Islam Demak. Istilah sekaten sendiri berasal dari kata syahadatain, yang artinya dua kalimat
syahadat dalam agama Islam. Ya, memang keraton Jogja memiliki perpaduan budaya
Hindu Jawa dan Islam. Meskipun Islam telah menjadi agama raja-raja di kasultanan
ini tetapi budaya Hindu Jawa masih kental terasa dalam upacara-upacara
tradisional keraton.
Perayaan
sekaten dimulai dengan keluarnya dua perangkat gamelan, yaitu Guntur Madu dan Nagawilaga dari keraton untuk ditempatkan di pagongan utara dan selatan di depan Masjid Gedhe Kauman. Selama tujuh hari, mulai hari ke-6 sampai ke-11
bulan Mulud (Rabiul Awal), kedua perangkat gamelan itu dimainkan secara
bergantian sebagai tanda perayaan sekaten. Meskipun sekaten secara resmi hanya
dilakukan selama tujuh hari, tetapi pesta rakyat (pasar malam) diadakan selama lebih
dari satu bulan, dimulai satu bulan sebelum perayaan upacara sekaten dan akan
berakhir pada tanggal 12 Mulud yang ditandai dengan acara Gerebeg Mulud atau keluarnya gunungan. Selama sekaten, makanan khas
yang banyak dijual di arena pasar malam, terutama di sekitar lokasi Masjid
Gedhe adalah sega gurih (sejenis
nasi uduk), endhog abang (telur
rebus yang diwarnai merah), sirih pinang
dan bunga kantil (Michelia alba). Biasanya penjualnya
adalah ibu-ibu yang sudah sangat sepuh
(tua) usianya. Saya sendiri kurang paham apa makna filosofis dari benda-benda
itu.
Arena
pasar malam sekaten memang betul-betul merupakan pesta rakyat Jogja, berisi
aneka permainan seperti bombom car,
komidi putar, rumah hantu, kereta mini, mini
jet coaster, ombak asmara, tong setan, dan berbagai wahana permainan
lainnya. Selain itu, juga dijual berbagai produk seperti baju, sepatu,
alat-alat rumah tangga, mainan anak-anak dan lain sebagainya. Dan, semua itu dengan
harga miring jauh dari harga toko, tentu saja jika pintar menawarnya. Pokoknya,
pesta ini betul-betul merakyat dan merupakan pesta rakyat. Hanya saja, perlu
hati-hati untuk jajan makanan di tempat ini, kalau tidak menanyakan harga terlebih
dulu, penjual seringkali tiba-tiba meminta harga yang sangat tinggi di luar
kewajaran, selain itu rasa makanannya pun jauh dari lezat.
Selain
acara Gerebeg Mulud, keraton Jogja
juga mengadakan Gerebeg Syawal
(tanggal 1 Syawal) dan Gerebeg Besar
(tanggal 10 Dzulhijah). Pada hari-hari tersebut Sultan berkenan mengeluarkan
sedekahnya kepada rakyat sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan atas
kemakmuran kerajaan. Sedekah itu berupa pareden/gunungan
yang terdiri dari gunungan kakung, estri, pawohan, gepak, dan dharat, sedangkan gunungan bromo hanya dikeluarkan 8 tahun sekali pada saat Gerebeg Mulud Tahun Dal.
Gunungan kakung
berbentuk kerucut terpancung dengan ujung sebelah atas agak membulat, yang
terdiri dari sayuran kacang panjang yang dirangkai dengan cabai merah, telur
itik, dan beberapa perlengkapan makanan kering lainnya. Gunungan estri berbentuk seperti keranjang bunga yang penuh dengan
rangkaian bunga, sebagian besar tersusun atas makanan kering yang terbuat dari
beras dan beras ketan yang berbentuk lingkaran dan runcing. Kedua gunungan
kakung dan putri ini ditempatkan dalam sebuah kotak pengangkat yang disebut jodhag.
Gunungan pawohan
terdiri dari buah-buahan segar yang diletakkan dalam keranjang janur (daun
kelapa yang masih muda), ditempatkan dalam jodhag dan ditutup dengan kain biru,
sedangkan gunungan gepak berbentuk
seperti gunungan estri tetapi memiliki permukaan atas yang datar. Gunungan dharat juga berbentuk seperti gunungan estri tetapi permukaan
atasnya lebih tumpul. Gunungan gepak dan dharat tidak ditempatkan dalam jodhag
melainkan hanya dialasi kayu yang berbentuk lingkaran. Gunungan bromo yang dikeluarkan 8 tahun sekali, memiliki bentuk
yang khas karena secara terus-menerus mengeluarkan asap yang berasal dari
kemenyan yang dibakar. Tidak seperti gunungan lainnya yang diperebutkan oleh
masyarakat di depan Masjid Gedhe, gunungan bromo dibawa kembali ke dalam
keraton untuk dibagikan kepada kerabat kerajaan.
Pada
Gerebeg Syawal Sultan menyediakan dua
buah gunungan kakung, yang satu akan diperebutkan oleh masyarakat di depan
Masjid Gedhe dan yang satu lagi diberikan kepada kerabat Pura Pakualaman. Pada Gerebeg
Besar Sultan mengeluarkan gunungan kakung, estri, pawohan, gapak, dan
dharat, masing-masing satu buah, sedangkan pada Gerebeg Mulud Sultan memberikan gunungan kakung, estri, pawohan,
gepak, dan dharat, dan jika Tahun Dal
maka ditambah dengan gunungan bromo
dan satu lagi gunungan kakung.
Saya
tidak tahu pasti apa makna simbolis dari macam-macam gunungan itu. Saya sendiri
tidak mau merepotkan diri untuk ikut berebut gunungan itu. Saya cukup puas
degan melihat atraksi budaya yang menarik itu, terlebih melihat keluarnya iring-iringan
gunungan yang dikawal oleh pasukan prajurit keraton, yang setiap pasukan
memakai seragam yang berbeda-beda.
4. MAKAM RAJA-RAJA KASULTANAN MATARAM DI IMOGIRI
Pemakaman
atau Pasarean atau Pajimatan Girirejo Imogiri merupakan kompleks pemakaman
raja-raja dan keluarga raja-raja dari Kasultanan Mataram (Mataram Islam), yang
terletak di Imogiri, Kabupaten Bantul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Lokasi ini merupakan obyek wisata di Kabupaten Bantul, yang dibuka untuk umum setiap hari mulai pukul
10.00 wib, kecuali pada hari Jumat dibuka mulai pukul 13.00 wib. Pada
bulan puasa
(Ramadhan) dan
hari besar agama Islam, makam
Imogiri ditutup untuk umum.
Makam
Imogiri dibangun pada Tahun 1632 oleh Sultan Mataram Prabu Hanyokrokusumo,
yang merupakan keturunan dari Panembahan Senopati Raja Mataram I. Lokasi pemakaman
ini terletak di atas perbukitan yang juga masih satu gugusan dengan Pegunungan
Seribu di Kabupaten Gunung Kidul. Menurut kepercayaan Hindu Jawa, makam harus
diletakkan di daerah yang tinggi, yang mencerminkan kedekatannya dengan Tuhan.
Ya, memang kerajaan Mataram Islam ini masih terpengaruh oleh budaya Hindu Jawa.
Hal ini juga dapat dilihat dari bentuk gapura makam yang mirip dengan candi
atau pura Hindu.
Sebelum
memasuki makam raja, terdapat banyak anak tangga yang lebarnya sekitar 4 meter
dengan kemiringan 45o yang menghubungkan makam dengan permukiman
penduduk di bawahnya. Jumlah anak tangga itu seluruhnya adalah 409 anak tangga.
Menurut mitos, jika berhasil menghitung jumlah anak tangga dengan benar, maka
semua keinginannya akan terkabul. Ah, ada-ada saja, saya tentu saja tidak mau
merepotkan diri untuk menghitung jumlah seluruh anak tangga itu.
Menurut
referensi yang saya baca, jumlah anak tangga itu memiliki arti tertentu, yaitu: (1) Anak
tangga dari permukiman menuju daerah dekat masjid berjumlah 32, melambangkan
bahwa makam Imogiri dibangun pada Tahun 1632; (2) Anak
tangga dari daerah dekat masjid menuju pekarangan masjid berjumlah 13,
melambangkan bahwa Sultan Agung diangkat menjadi Raja Mataram pada Tahun 1613; (3)
Anak tangga dari pekarangan masjid menuju
tangga terpanjang berjumlah 45, melambangkan bahwa Sultan Agung wafat pada
Tahun 1645; (4)
Anak tangga terpanjang berjumlah 346,
melambangkan bahwa makam Imogiri dibangun selama 346 tahun; dan (5)
Anak tangga di sekitar kolam berjumlah 9,
melambangkan Walisanga (para wali yang berjasa menyebarkan agama Islam di Jawa)
Sebelum memasuki areal pemakaman
terdapat Gapura Supit Urang (capit udang), Pendopo Supit Urang, Tempat Juru
Kunci dan 4 Tempayan Suci. Secara keseluruhan, areal makam raja tersebut dibagi
menjadi tiga daerah, yaitu: (1) Astana Kasultanan Agung, yaitu tempat
dimakamkannya Sultan Agung, Sri Ratu Batang, Hamangkurat Amral, dan Hamangkurat
Mas. Sebelum memasuki makam Sultan Agung terdapat tiga gapura yang
melambangkan tiga tahapan hidup manusia, yaitu: alam rahim, alam duniawi, dan
alam kubur. Gerbang pertama bercorak bangunan Hindu yang terbuat dari susunan
batu bata merah tanpa semen dengan bentuk Candi Bentar dan diberi nama Gapura Supit Urang. Di
bagian dalam gerbang pertama terdapat dua buah paseban
yang berada di sisi barat dan timur
gerbang; (2) Wilayah Makam Raja Surakarta
Hadiningrat, yang dibagi menjadi empat hastana dan di sini dimakamkan raja-raja
dari Kerajaan Surakarta Hadiningrat. (Perlu diketahui, bahwa kerajaan Jogja dan
Surakarta (Solo) dulunya merupakan satu kesatuan dalam Kerajaan Mataram Islam; dan (3) Wilayah Makam Raja
Yogyakarta Hadiningrat, yang terbagi menjadi 3 hastana dan di sini dimakamkan
raja-raja dari Kerajaan Yogyakarta Hadiningrat.
Sebelum memasuki areal makam Sultan Agung, terdapat empat buah tempayan yang berada di
atas gerbang ke dua. Tempayan-tempayan ini merupakan pemberian dari empat
kerajaan kepada Sultan Agung, yaitu: (1) Tempayan
pertama yang terletak di sisi barat merupakan pemberian dari Kerajaan Sriwijaya (Palembang)
yang diberi nama Nyai Danumurti; (2) Tempayan
ke dua merupakan pemberian dari Kerajaan Samudera Pasai (Aceh) yang diberi nama Kyai
Danumaya; (3) Tempayan
ke tiga merupakan pemberian dari Kerajaan Ngerum (Turki) yang diberi nama Kyai
Mendung; dan (4) Tempayan
ke empat merupakan pemberian dari Kerajaan Syam (Thailand) yang diberi nama Nyai Siyem.
Jaman dulu, Sultan Agung mengisi keempat tempayan ini dengan
air dan dipergunakan untuk berwudhu. Air dari keempat tempayan tersebut disebut air suci
dan dipercaya memiliki khasiat yang
dapat memberi kekuatan dan sarana pengobatan. Pada awalnya tidak sembarang
orang yang dapat meminum air dari tempayan-tempayan tersebut. Menurut riwayat,
saat terjadinya Serangan Umum 1 Maret di Yogyakarta, Presiden Soekarno mengirimkan surat kepada Sri Sultan HB IX agar prajurit TNI yang bertempur di Yogyakarta
diperbolehkan untuk meminum air suci tempayan tersebut, dan Sultan
memperbolehkannya. Usai meminum air tersebut, kekuatan prajurit bertambah
sehingga dapat memenangkan pertempuran melawan Belanda.
Entahlah, cerita ini benar atau tidak, karena masyarakat Jawa memang penuh
dengan mitos.
Saat ini, masyarakat umum dapat
memperoleh air suci dari tempayan
tersebut melalui juru kunci makam. Air ini bisa diambil selama masih ada air
yang tersisa di dalam tempayan tersebut, karena tidak sembarang hari
tempayan-tempayan ini dapat diisi air. Ada upacara khusus untuk mengisi keempat
tempayan ini dengan air yang dilakukan setahun sekali, yaitu yang dinamakan dengan Nguras Enceh. Upacara
ini dilaksanakan setiap Jumat Kliwon di bulan Sura (Muharam). Jika di bulan tersebut tidak ada hari Jumat Kliwon, maka
upacara pengisian air ini dapat dilaksanakan pada hari Selasa Kliwon. Banyak masyarakat Jawa yang mempunyai
kepercayaan bahwa air tersebut dapat
menjadi sarana tolak bala serta dapat digunakan sebagai perantara untuk
mengobati berbagai penyakit. Saya sendiri tak mau ambil pusing tentang
kepercayaan ini.
Ada tata cara berpakaian tertentu yang
harus dilakukan ketika ingin memasuki kompleks makam di bagian dalam. Bagi
pengunjung wanita yang ingin memasuki makam di bagian dalam harus mengenakan kain panjang, kemben, dan melepas semua
perhiasan, sedangkan bagi pengunjung pria harus mengenakan kain panjang, baju peranakan dan blangkon.
Jika tidak mentaati aturan tersebut, maka pengunjung hanya diperbolehkan sampai
di pintu gerbang pertama saja. Tentu saja saya memilih tidak mentaati peraturan
tersebut (tidak mungkinlah saya memakai kemben di depan umum seperti itu), dan
memilih untuk berhenti sampai di gerbang utama saja. Tetapi, bagi yang memilih
untuk mentaati aturan tersebut, pihak juru kunci telah menyiapkan pakaian-pakaian
adat itu untuk disewa.
Selesai menyinggahi kompleks pemakaman
yang memerlukan energi ekstra untuk menaiki begitu banyak anak tengga itu, alangkah
nikmatnya mencicipi makanan dan minuman khas Imogiri, yaitu pecel kembang
(bunga) Turi (Sesbania grandiflora ( L.)
Poiret) dan wedang uwuh. Pecel kembang
turi sama seperti pecel-pecel lainnya, istimewanya adalah ada tambahan
bunga turi sebagai sayurannya. Bau dan rasa kembang turi sangat khas, agak pahit
tetapi terasa segar. Bunganya ada yang berwarna putih dan ada yang ungu kemerahan.
Dua-duanya sama-sama dapat dibuat pecel.
Wedang
uwuh, meskipun arti harfiahnya
adalah minuman sampah, tetapi minuman ini tentu saja bukan berasal dari sampah,
melainkan berasal dari bahan-bahan yang menyehatkan, seperti jahe, serutan kayu
secang (Caesalpinia sappan L.) yang
akan menimbulkan warna merah, daun cengkeh, gula batu, dan beberapa bahan yang berkhasiat
lainnya. Jika diseduh, gelas akan penuh daun-daunan sehingga tampak seperti sampah.
Oleh karena itulah dinamakan wedang uwuh. Minuman ini terasa segar dan
menghangatkan badan, cocok untuk diminum saat cuaca dingin atau di musim hujan, juga dapat mengurangi rasa capek di badan setelah naik turun anak tangga di makam Imogiri ini. Yang lebih istimewa lagi adalah daun-daunan yang dipakai untuk membuat wedang
uwuh ini berasal dari pohon-pohon yang berada di area kompleks makam. Meski pada
perkembangannya saat ini banyak tersedia wedang uwuh dalam kemasan instan
maupun teh celup, tetapi bagi saya, wedang uwuh yang dijual di area makam
Imogiri ini terasa lebih nikmat dan sensasional.