Senin, 11 Mei 2015

ANTARA TIGA MENARA: MASJID TIBAN, MASJID AGUNG DEMAK, MASJID AGUNG JAWA TENGAH



   Istilah tiga menara saya tujukan bagi tiga masjid yang saya sekeluarga kunjungi dalam touring liburan akhir tahun 2014 lalu, yaitu Masjid Tiban di Kabupaten Malang, Masjid Agung Demak, dan Masjid Agung Jawa Tengah di Semarang. Tiga masjid yang dibangun pada masa yang berbeda itu masing-masing memiliki kisah dan keunikan sendiri-sendiri.
1.  Masjid Tiban
Masjid Ajaib atau juga disebut Masjid Tiban sebenarnya adalah Pondok Pesantren “Salafiah Bihaaru Bahri Asali Fadlaailir Rahmah” yang terletak di tengah perkampungan yang padat penduduk, yaitu di Jalan KH. Wahid Hasyim Gang Anggur Nomor 10, RT 07/RW 06, Desa Sananrejo, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Nama yang cukup panjang tersebut mempunyai makna Laut Madu atau, "Fadilah Rohmat" . Masjid ini menjadi  terkenal karena mitos yang beredar serta keunikan arsitekturnya dengan warna dominan biru dan putih, juga bangunannya yang sangat luas.
Pertama mengenal masjid ini dari sebuah siaran televisi yang menceritakan keunikannya, hingga akhirnya membuat saya penasaran untuk mengunjunginya.  Disebut Masjid Tiban konon katanya karena masjid yang sangat megah ini dibangun tanpa diketahui oleh warga masyarakat di sekitarnya, masyarakat sekitar mengaku tidak pernah mengetahui aktivitas pembangunannya. Menurut mitos yang beredar di kalangan masyarakat sekitar, masjid tersebut dibangun dengan bantuan pasukan jin. Namun, pihak pesantren selalu menampik kabar miring tersebut, dan menjelaskan bahwa masjid yang sebenarnya secara keseluruhan merupakan kompleks pondok pesantren tersebut pembangunannya bersifat transparan karena dikerjakan sendiri oleh para santri dan jamaah. Jika masyarakat mengaku tidak melihat aktivitas pembangunannya, itu karena pembangunan pondok pesantren ini banyak dikerjakan pada malam hari. Bantahan tersebut jelas sekali dipampang di banyak tempat di dalam area Masjid Tiban tersebut dengan tulisan besar-besar “Apabila ada orang yang mengatakan bahwa ini adalah pondok tiban (pondok muncul dengan sendirinya), dibangun oleh jin dsb., itu tidak benar. Karena bangunan ini adalah Pondok Pesantren Salafiyah Bihaaru Bahri ‘Asali Fadlaailir Rahmah yang murni dibangun oleh para santri dan jamaah.”
Menurut cerita, pondok pesantren ini mulai dibangun pada Tahun 1978 oleh  Romo Kiai Haji Ahmad Bahru Mafdlaluddin Shaleh Al-Mahbub Rahmat Alam, atau yang akrab disapa Romo Kiai Ahmad. Saat ini bangunan utama pondok dan masjid tersebut telah mencapai 10 lantai, lantai 1 sampai 4 digunakan sebagai tempat kegiatan para santri, lantai 6 seperti ruang keluarga, sedangkan lantai 5, 7, dan 8 terdapat toko-toko kecil yang dikelola oleh para santriwati. Barang-barang yang dijual di toko-toko tersebut beraneka rupa, seperti berbagai macam makanan ringan, aneka pakaian, sarung, sajadah, jilbab, dan sebagainya.
Tak hanya unik, di dalam pondok pesantren tersebut juga tersedia kolam renang, dilengkapi perahu yang hanya khusus untuk dinaiki wisatawan anak-anak. Di dalam kompleks itu juga dipelihara berbagai jenis binatang seperti kijang, monyet, kelinci, aneka jenis ayam dan burung. Arsitek dari pembangunan pondok pesantren ini bukanlah seorang arsitektur lulusan Perguruan Tinggi, melainkan katanya  merupakan hasil dari istikharah pemilik pondok, KH Achmad Bahru Mafdloludin Sholeh. Karenanya, bentuknya menjadi sangat unik, seperti perpaduan Timur Tengah, Cina dan modern. Untuk pembangunannya pun tidak menggunakan alat-alat berat dan modern seperti halnya untuk membangun gedung bertingkat. Semuanya dikerjakan oleh para santri yang berjumlah 250 orang dan beberapa penduduk di sekitar pondok pesantren. Menurut cerita, Romo Kiai sudah mulai membangun pondok pesantren dengan material apa adanya. Contohnya, waktu itu adanya baru batu merah saja maka  batu merah itulah yang dipasang dengan luluh (adonan) dari tanah liat (lumpur atau ledok). Sampai saat ini, Masjid Tiban belum sepenuhnya jadi, sehingga masih terus dalam proses pembangunan.
Saat ini kompleks pondok pesantren ini menjadi tempat wisata tiban yang dipenuhi pengunjung dari berbagai daerah, termasuk wisatawan mancanegara. Rata-rata pengunjung itu datang karena penasaran dengan cerita yang beredar tentang seputar Masjid Tiban ini, termasuk saya. Pihak pengelola pondok pesantren pun menyediakan berbagai fasilitas pendukung, seperti area parkir kendaraan, cafe-cafe, outlet suvenir, toilet, mushola, dan sebagainya. Selain itu, di sepanjang jalan menuju pintu masuk area kompleks Masjid Tiban, banyak masyarakat sekitar yang memanfaatkan obyek wisata tiban ini untuk membuka warung-warung makanan maupun oleh-oleh. Musim liburan akhir tahun ketika saya berkunjung ke masjid ini, pengunjung penuh sesak, sehingga fasilitas parkir dan toilet terasa kurang.  Sebenarnya area pondok pesantren ini sangat luas, tetapi di puncak musim liburan seperti ini area yang luas tersebut terasa sesak dengan pengunjung yang sebagian besar datang secara berombongan dengan bis dari berbagai daerah.  Kondisi seperti inilah yang membuat saya malas untuk menyelusuri seluruh sudut Masjid Tiban, saya hanya masuk di dalam satu gedung di beberapa ruang dan hanya di lantai satu saja. Tangga naik ke lantai atas terasa sempit dan berkelok-kelok, bahkan kalau tidak waspada bisa tersesat di dalam ruang yang berliku-liku tersebut.
Untuk memasuki Masjid Tiban, pengunjung tidak dipungut biaya sama sekali, bahkan parkir pun gratis. Tetapi, harus melaporkan dan mencatatkan diri saat datang maupun saat akan pulang. Bagi yang ingin belanja suvenir, pengelola pondok menyediakan outlet suvenir yang menjual suvenir seperti CD tentang sejarah Masjid Tiban, payung dan mug yang bertuliskan nama dan lambang dari pondok pesantren tersebut.
Anda penasaran? Silakan kunjungi dan nikmati keunikan pondok pesantren ini...

2.     Masjid Agung Demak
Masjid Agung Demak merupakan salah satu masjid tertua di Indonesia, terletak di daerah Kauman, Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Masjid yang konon dibangun oleh para wali ini dalam sejarahnya menjadi tempat berkumpulnya para wali yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa yang terkenal dengan sebutan “Walisanga” . Masjid ini dibangun pada masa Raden Patah, raja pertama Kasultanan Demak sekitar Abad 15 M.
Menurut cerita, Raden Patah bersama Walisanga mendirikan masjid yang kharismatik ini dengan memberi gambar serupa bulus yang merupakan candra sengkala memet, dengan arti Sarira Sunyi Kiblating Gusti yang bermakna tahun 1401 Saka. Gambar bulus terdiri atas kepala yang berarti angka 1 (satu), 4 kaki berarti angka 4 (empat), badan bulus berarti angka 0 (nol), ekor bulus berarti angka 1 (satu). Dari simbol ini diperkirakan Masjid Agung Demak berdiri pada tahun 1401 Saka.
Masjid Agung Demak mempunyai bangunan-bangunan induk dan serambi. Bangunan induk memiliki empat tiang utama yang disebut saka guru. Salah satu dari tiang utama tersebut konon berasal dari serpihan-serpihan kayu, sehingga dinamai saka tatal. Bangunan serambi merupakan bangunan terbuka. Atapnya berbentuk limas yang ditopang delapan tiang yang disebut Saka Majapahit. Atap limas Masjid terdiri dari tiga bagian yang menggambarkan iman, Islam, dan ihsan. Di Masjid ini juga terdapat “Pintu Bledeg”, mengandung candra sengkalan yang dapat dibaca Naga Mulat Salira Wani, dengan makna tahun 1388 Saka atau 1466 M, atau 887 H.
Selain masjid, di dalam kompleks Masjid Agung Demak yang berdekatan dengan alun-alun Demak tersebut juga terdapat area makam raja-raja Kasultanan Demak dan para abdinya, juga sebuah museum yang menyimpan berbagai hal tentang riwayat Masjid Agung Demak, termasuk koleksi benda-benda bersejarah yang mencapai lebih dari 60 koleksi. Di antara koleksi tersebut adalah bagian-bagian soko guru yang rusak (sokoguru Sunan Kalijaga, sokoguru Sunan Bonang, sokoguru Sunan Gunungjati, sokoguru Sunan Ampel, sirap, kentongan, dan bedug peninggalan para wali, dua buah gentong (tempayan besar) dari Dinasti Ming hadiah dari Putri Campa pada abad ke-14,  foto-foto Masjid Agung Demak tempo dulu, lampu-lampu dan peralatan rumah tangga dari kristal dan kaca hadiah dari PB I pada tahun 1710 M, kitab suci Al-Qur’an 30 juz tulisan tangan, maket masjid Demak tahun 1845 – 1864 M, beberapa prasasti kayu memuat angka tahun 1344 Saka, kayu tiang tatal buatan Sunan Kalijaga, serta lampu robyong masjid Demak yang dipakai tahun 1923 – 1936 M. Koleksi yang paling menarik di museum ini adalah Pintu Bledeg buatan Ki Ageng Selo tahun 1466 M, dibuat dari kayu jati berukiran tumbuh-tumbuhan, suluran, jambangan, mahkota, dan kepala binatang (naga) dengan mulut terbuka menampakkan gigi-giginya yang runcing. Menurut cerita, kepala naga tersebut menggambarkan petir yang kemudian dapat ditangkap oleh Ki Ageng Selo.

3.     Masjid Agung Jawa Tengah
Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) yang beralamat di Jalan Gajah Raya No. 128, Sambirejo, Gayamsari, Semarang, Jawa Tengah ini mulai dibangun sejak tahun 2001 hingga selesai secara keseluruhan pada tahun 2006, berdiri di atas lahan 10 hektar. Masjid ini diresmikan oleh Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 14 November 2006 sebagai masjid provinsi bagi Jawa Tengah.
Menurut sejarah, pembangunan MAJT berawal dari kembalinya tanah banda (harta) wakaf milik Masjid Besar Kauman Semarang yang telah sekian lama tak tentu rimbanya. Raibnya banda wakaf Masjid Besar Kauman Semarang berawal dari proses tukar guling tanah wakaf Masjid Kauman seluas 119.127 ha yang dikelola oleh BKM (Badan Kesejahteraan Masjid) bentukan Bidang Urusan Agama Depag Jawa Tengah. Dengan alasan tanah itu tidak produktif, oleh BKM tanah itu ditukar guling dengan tanah seluas 250 ha di Demak lewat PT. Sambirejo. Kemudian berpindah tangan ke PT. Tensindo milik Tjipto Siswoyo. Hasil perjuangan banyak pihak untuk mengembalikan banda wakaf Masjid Besar Kauman Semarang itu akhirnya berbuah manis setelah melalui perjuangan panjang. MAJT sendiri dibangun di atas salah satu petak tanah banda wakaf Masjid Besar Kauman Semarang yang telah kembali tersebut. Pembangunan masjid tersebut dimulai pada hari Jumat, 6 September 2002 yang ditandai dengan pemasangan tiang pancang perdana yang dilakukan Menteri Agama Ri, Prof. Dr. H. Said Agil Husen al-Munawar, KH. MA Sahal Mahfudz dan Gubernur Jawa Tengah, H. Mardiyanto. Pemasangan tiang pancang pertama tersebut juga dihadiri oleh tujuh duta besar dari negara-negara sahabat, yaitu Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, Kuwait, Mesir, Palestina, dan Abu Dabi. Dengan demikian mata dan perhatian dunia internasional pun mendukung dibangunnya Masjid Agung Jawa Tengah tersebut.  Keseluruhan pembangunan masjid ini menelan biaya sebesar Rp 198.692.340.000,-
Arsitektur MAJT merupakan perpaduan antara Jawa, Islam dan Romawi. Bangunan utama masjid beratap limas khas bangunan Jawa namun di bagian ujungnya dilengkapi dengan kubah besar berdiameter 20 meter ditambah lagi dengan 4 menara masing masing setinggi 62 meter di tiap penjuru atapnya sebagai bentuk bangunan masjid universal Islam lengkap dengan satu menara terpisah dari bangunan masjid setinggi 99 meter yang melambangkan “asmaul husna”. Di pelataran masjid juga dilengkapi payung-payung besar yang dapat dikuncupkan maupun dimekarkan seperti yang ada di Masjid Nabawi, Madinah. Gaya Romawi terlihat dari bangunan 25 pilar di pelataran masjid. Pilar pilar bergaya koloseum Athena di Romawi dihiasi kaligrafi yang indah, menyimbolkan 25 Nabi dan Rosul, di gerbang ditulis dua kalimat syahadat, pada bidang datar tertulis huruf Arab Melayu “Sucining Guno Gapuraning Gusti“.
Masjid Agung Jawa Tengah ini, selain disiapkan sebagai tempat ibadah, juga dipersiapkan sebagai objek wisata religius. Untuk menunjang tujuan tersebut, Masjid Agung ini dilengkapi dengan wisma penginapan dengan kapasitas 23 kamar berbagai kelas, sehingga para peziarah yang ingin bermalam bisa memanfaatkan fasilitas ini. Daya tarik lain dari masjid ini adalah Menara Al Husna atau Al Husna Tower yang tingginya 99 meter yang melambangkan “asmaul husna” tersebut Bagian dasar dari menara ini terdapat Studio Radio Dais (Dakwah Islam), lantai 2 dan lantai 3 digunakan sebagai Museum Kebudayaan Islam, dan di lantai 18 terdapat Kafe Muslim yang dapat berputar 360 derajat. Lantai 19 untuk menara pandang, dilengkapi 5 teropong yang bisa melihat kota Semarang. Pada awal Ramadhan 1427 H lalu, teropong di masjid ini untuk pertama kalinya digunakan untuk melihat Rukyatul Hilal oleh Tim Rukyah Jawa Tengah dengan menggunakan teropong canggih dari Boscha.
Pengunjung dapat menaiki menara ini dengan lift dengan membayar 5000 rupiah per orang. Perlu kesabaran untuk bisa menaiki lift ini karena harus antri, terurtama di saat pengunjung membludag di musim liburan seperti saat saya dan keluarga berkunjung ke sini. Menaiki menara setinggi 99 meter ini saya jadi teringat Monas di Jakarta. Untuk menjamin keamanan dan kenyamanan pengunjung, lantai puncak menara pandang ini juga dilengkapi pagar pengaman seperti halnya di Monas Jakarta.
Dari puncak menara kita bisa menikmati pemandangan Kota Semarang dan hamparan laut serta pelabuhan di salah satu sudutnya. Sungguh sangat indah, apalagi dengan semilir angin yang cukup kencang, lantai yang luas, juga dilengkapi fasilitas teropong untuk melihat keindahan kota. Dengan memasukkan koin 500 rupiah pengunjung bisa menggunakan fasilitas teropong ini. Sayangnya saat saya berkunjung, fasilitas teropong ini sedang tidak bisa digunakan.
Setelah puas, kita bisa turun dengan lift lagi ke lantai 3 atau 2 untuk melihat museum yang berisi peninggalan Islam jaman dulu, kisah masuknya islam di Jawa, dan beberapa karya islam yang menarik. Kita juga bisa melihat sejarah Islam dengan menggunakan komputer layar sentuh yang tersedia di ruangan ini.  Dari museum kita kemudian dapat turun dengan tangga ke lantai dasar. Sambil istirahat kita bisa membeli makanan minuman atau suvenir sebagai oleh-oleh. Di lantai dasar menara terdapat beberapa counter yang menjual makanan ringan dan minuman. Atau kita bisa jajan makanan di deretan warung yang tersedia di sekitar MAJT yang menjual makanan dan aneka suvenir, seperti kaos, gantungan kunci, magnet kulkas, topi, dan lain sebagainya dengan gambar MAJT. Sebagai kenang-kenangan saya pun membeli suvenir magnet kulkas bergambar MAJT tersebut.

Liburan Keluarga akhir tahun, 25-31 Desember 2014;
 Probolinggo-Bromo-Pasuruan-Malang-Surabaya-Gresik-Demak-Semarang

Minggu, 03 Mei 2015

BROMO PESONA DARI KETINGGIAN



        Siapa yang tidak mengenal Bromo, destinasi yang telah menarik banyak wisatawan domestik maupun mancanegara untuk menikmati pesonanya, tak terkecuali saya sekeluarga. Gunung yang masih aktif ini mempunyai ketinggian hampir 3000 m dpl, dan berada dalam wilayah 4 kabupaten di Provinsi Jawa Timur, yaitu Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, dan Malang. Gunung ini mempunyai sebuah kawah dengan garis tengah ±800 meter (utara-selatan) dan ±600 meter (timur-barat), sedangkan daerah bahayanya berupa lingkaran dengan jari-jari 4 km dari pusat kawah Bromo. Bentuk tubuh Gunung Bromo bertautan antara lembah dan ngarai dengan kaldera  atau lautan pasir seluas sekitar 10 km2.

Bagi penduduk Bromo, yaitu suku Tengger yang beragama Hindu, Gunung Brahma atau Bromo dipercaya sebagai gunung suci. Setahun sekali masyarakat Tengger mengadakan upacara Yadnya Kasada atau Kasodo di sebuah pura di kaki Gunung Bromo utara dan dilanjutkan ke puncak Gunung Bromo. Upacara diadakan pada tengah malam hingga dini hari setiap bulan purnama sekitar tanggal 14 atau 15 di bulan Kasodo (ke sepuluh) menurut penanggalan Jawa. Tetapi, selain populasi mayoritas yang beragama Hindu, terdapat juga populasi muslim di wilayah ini. Oleh karena itu, di Desa Cemoro Lawang yang merupakan desa terakhir di kaki Gunung Bromo, juga terdapat sebuah masjid yang dijuluki masjid tertinggi di Indonesia karena dibangun di atas ketinggian hampir 3000 m dpl.
Gunung Bromo merupakan bagian dari Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, yang diresmikan oleh Pemerintah Indonesia pada tanggal 12 November 1992. Taman Nasional ini mempunyai flora dan fauna khas yang dilindungi, seperti bunga edelweis dan berbagai jenis anggrek, sedangkan satwanya antara lain rusa, kijang, ayam hutan, macan tutul, serta aneka burung seperti burung elang, srigunting, alap-alap dan rangkong.
Gunung Bromo adalah salah satu dari sekian banyak gunung yang berada di kawasan Taman Nasional Gunung Bromo Tengger Semeru. Gunung-gunung yang lainnya adalah: Gunung Batok, Gunung Kursi, Gunung Watangan, Gunung Widodaren, Gunung Linggo, Gunung Penanjakan, Gunung Pundak Lembu, Gunung Gandera, Gunung Ringgit, Gunung Widangan, Gunung Sumbersenami, Gunung Pranten, dan Gunung Bajangan. Dari sekian banyak gunung yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Bromo Tengger Semeru tersebut, tentu saja Gunung Bromo lah yang paling menarik dikunjungi oleh wisatawan dan telah dikembangkan sebagai kawasan ekowisata.

 Menuju Bromo
 Saya sekeluarga berangkat dari Yogyakarta pada malam hari, dengan harapan sampai di Kota Probolingo pada dini hari. Sesampai di Kota Probolinggo kami mencari penginapan yang cukup banyak terdapat di kota ini. Dengan browsing di internet, kami dengan mudah menemukan hotel yang sesuai dengan keinginan. Setelah sarapan dan istirahat beberapa jam di kamar hotel, kami check out  untuk keliling-keliling Kota Probolinggo, kemudian melanjutkan perjalanan naik menuju Gunung Bromo. Sore hari kami sampai di desa terakhir di kaki Gunung Bromo yang berbatasan langsung dengan pintu gerbang masuk ke kawasan ekowisata Gunung Bromo, yaitu Desa Cemoro Lawang. Saran dari seorang teman, jika ingin lebih puas menikmati keindahan Bromo dan menemukan momen-momen spesial yang tidak ada di tempat lain, menginaplah di Cemoro Lawang dan tibalah di sini sebelum senja hari, maka akan dapat dinikmati sunset view yang indah, hamparan lautan pasir di kejauhan dan kabut yang menggantung di kaki gunung.
Saya sekeluarga tiba di Cemoro Lawang sore hari, sehingga masih bisa menikmati pemandangan hamparan terasering lahan pertanian sayuran, seperti kentang, tomat, sayuran hijau, dan juga cabai Bromo yang bentuknya khas dan rasanya sangat pedas. Selain itu, kami juga bisa menikmati pemandangan di sekitar pintu gerbang ekowisata Gunung Bromo tersebut, menikmati hawa Bromo, bak musim gugur di Eropa, hamparan kabut yang menutupi puncak gunung dan lautan pasir yang ada di lembah Bromo, ataupun belanja suvenir khas Bromo di outlet maupun di pedagang asongan. Saya ada sedikit tips belanja, yaitu belanja di pedagang asongan bisa lebih murah daripada di outlet, dan harga akan lebih murah lagi di pagi hari sepulang dari touring (saat arus balik wisatawan). Suvenir yang banyak dijual adalah syal, penutup kepala, kaos, magnet kulkas, maupun gantungan kunci bertuliskan Gunung Bromo, tetapi juga ada sarung tenun khas Bali. Tidak heran, karena budaya Bali sangat kental mempengaruhi masyarakat Hindu Tengger di sini.
   Di Cemoro Lawang tidak ada hotel, yang ada hanyalah homestay-homestay yang dikelola oleh masyarakat perseorangan. Beberapa hari sebelum berangkat ke Bromo, saya telah browsing di internet dan mem-booking sebuah homestay yang nyaman dengan fasilitas yang cukup lengkap seharga 950 ribu rupiah untuk satu hari. Fasilitas homestay meliputi ruang tamu yang luas, 2 kamar tidur yang cukup luas, dapur, ruang makan, kamar mandi dengan fasilitas air panas, dan garasi plus sepeda gunung yang bisa dipakai keliling-keliling menikmati pemandangan alam pegunungan yang indah. Selain itu, saya juga sudah booking  paket wisata touring dengan kendaraan jeep untuk 4 orang seharga 750 ribu rupiah. Touring tersebut meliputi paket sunrise view, kawah Bromo, “Bukit Teletubbies”, dan “Pasir Berbisik”. Harga tersebut sudah termasuk bahan bakar mobil, pemandu, dan driver, tetapi belum termasuk tiket masuk kawasan ekowisata Bromo. Untuk tiket masuknya sendiri, kami masing-masing harus membayar 30 ribu rupiah.
Sebelum berangkat ke Bromo, beberapa hal perlu dipersiapkan secara khusus, yaitu:
   1. Kondisi kendaraan harus fit dengan bahan bakar yang full tank, serta driver yang terampil.  Hal ini mengingat kondisi medan yang terjal, curam  dan naik turun, serta jauh dari SPBU ataupun kios penjual BBM
  2. Persiapan baju hangat atau jaket, penutup kepala, kaos kaki, syal, sarung tangan, dan masker. Peralatan ini sangat diperlukan mengingat begitu dinginnya puncak Bromo di waktu dini hari saat kita melaksanakan touring untuk melihat sunrise view, sedangkan masker diperlukan saat kita berada di dekat kawah Bromo. Bau belerang yang sangat menyengat dapat membuat kita sesak napas. Akan tetapi, jika kita tidak siap dengan perlengkapan ini dari rumah, kita dapat membelinya di Cemoro Lawang. Di sini banyak pedagang asongan yang menjual semua perlengkapan ini dengan harga murah, rata-rata 20 ribu rupiah untuk masing-masing syal dan penutup kepala bertuliskan Gunung Bromo. Perlu diketahui, di Cemoro Lawang pun udara sudah terasa sangat dingin, bahkan menginjak lantai rumah pun seperti menginjak es batu jika tanpa alas kaki.
 
    3.    Bekal makanan termasuk perlengkapan untuk makan. Karena harus menginap di homestay yang artinya semuanya harus self service, maka bekal makanan atau cemilan dan minuman akan sangat bermanfaat. Di dapur homestay tempat saya sekeluarga menginap memang tersedia kompor, beberapa bungkus mie instan dan minuman instan, tetapi kami pun sudah siap dengan banyak perbekalan makanan dan heater untuk memasak air panas secara elektrik. Bekal ini sangat bermanfaat karena cuaca yang dingin membuat kita mudah lapar, sedangkan kalau harus pergi ke warung lumayan jauh dengan kondisi jalan naik turun. Tetapi kita masih bisa membeli bakso dari pedagang keliling yang biasa menghampiri setiap homestay yang sedang berpenghuni. Kebetulan saat kami ke Bromo pas liburan akhir tahun, sehingga cukup sulit juga menemukan homestay yang kososng. Bersyukur, saya sudah booking jauh-jauh hari sebelumnya.
 
  4.    Bekal obat-obatan. Bekal ini sangat penting mengingat kita menginap di pelosok yang jauh dari fasilitas perkotaan, sehingga bekal obat-obatan akan sangat bermanfaat untuk jaga-jaga.
   5.   Berdolah agar selama di sini tidak turun hujan, paling tidak saat melakukan touring ke puncak Bromo. Jika hujan kita tidak bisa menikmati keindahan kawasan ekowisata Bromo karena pemandangan tertutup kabut dan cukup berbahaya juga bagi kendaraan jeep untuk menyusuri jalan yang berbukit dengan jurang di tepinya. Saya beryukur hujan turun setelah kami selesai touring sekitar pukul 11 siang.

Paket touring
        Inti dari visit Bromo sebenarnya adalah aktivitas touring dengan kendaraan jeep untuk mengejar sun rise view. Inilah salah satu keuntungannya jika kita menginap di desa terkahir, yaitu Cemoro Lawang. Kita bisa berangkat lebih akhir, yaitu sekitar pukul 3 pagi. Tetapi, jika menginap di desa yang letaknya masih di lereng bawah, maka kita harus berangkat lebih awal, bahkan pukul 12 tengah malam harus sudah berangkat. Hal ini disebabkan karena jarak tempuh dari masing-masing penginapan ke lokasi ekowisata serta antrian panjang kendaraan jeep di depan pintu loket masuk terutama pada musim puncak liburan. Jadi, jika kita menginap di homestay di Desa Cemoro Lawang yang tidak jauh dari pintu loket maka malam sebelumnya kita bisa lebih lama beristirahat.
            Rute touring adalah sebagai berikut:
1. Sunrise view dari puncak bukit Penanjakan
Untuk bisa menikmati sunrise view kami harus rela dibangunkan oleh pemandu pukul 3 pagi, kemudian dengan naik jeep bergerak menuju Puncak Penanjakan. Sholat shubuh kami lakukan di dalam perjalanan. Puncak musim liburan akhir tahun ini membuat sangat panjang antrian kendaraan jeep yang membawa wisatawan menuju puncak. Inilah yang memecah kesunyian dini hari. Sesampai di Penanjakan ternyata cukup banyak wisatawan yang telah sampai dan sedang menunggu terbitnya matahari di tengah dinginnya udara pagi pegunungan. Setelah merasakan dan menikmati keindahan matahari terbit, maka kami pun bergegas turun dari puncak Penanjakan untuk kemudian melanjutkan perjalanan menuju kawah Bromo, dalam iring-iringan jeep lagi.  Itulah sensasinya.
    2.    Kawah Bromo
Untuk menikmati panorama kawah Bromo, maka kita harus menuju puncak Bromo. Kendaraan jeep hanya sampai di pangkalan, sehingga perjalanan harus dilanjutkan dengan jalan kaki atau naik kuda sekitar 1 km sampai di bawah tangga Bromo. Kami memilih naik kuda, dengan tarif 125 ribu rupiah PP per ekor kuda, sehingga saya harus membayar 500 ribu rupiah untuk 4 ekor kuda. Sampai di kaki tangga kawah, selanjutnya kami harus berjalan kaki menyusuri tangga sampai ke kawah Bromo. Bau belerang sangat menyengat di area ini, maka inilah saatnya memakai masker agar tidak sesak napas.
   3.    Bukit Teletubbies.
Setelah puas menikmati panorama kawah Bromo, perjalanan kembali dilanjutkan dengan jeep menuju area perbukitan dengan pemandangan vegetasi rumput-rumputan yang sangat indah mirip gambar di film animasi anak-anak Teletubies sehingga bukit ini disebut “Bukit Teletubbies”. Di lokasi ini kami puas-puaskan untuk berfoto ria sambil menikmati pemandangan yang ada.
 
    4.    Pasir Berbisik
Dari Bukit Teletubbies perjalanan berlanjut ke hamparan lautan pasir yang disebut dengan “Pasir Berbisik”, karena di saat angin bertiup seperti menghadirkan  suara-suara bisikan pada hamparan pasir yang konon luasnya mencapai 10 km2 tersebut.  Di lautan padang pasir ini saya merasa tampak kecil di hadapan alam. Sungguh Mahabesar Allah yang telah menciptakan keindahan alam sedemikian rupa.
Dari lokasi Pasir Berbisik inilah paket touring berakhir, kemudian kami didrop kembali ke penginapan. Biasanya paket touring berakhir sekitar pukul 10 pagi. Sesampai di homestay, kami pun beristirahat sejenak, kemudian bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan touring liburan akhir tahun kami ke tujuan berikutnya.


Liburan Keluarga akhir tahun, 25-31 Desember 2014; 
Probolinggo-Bromo-Pasuruan-Malang-Surabaya-Gresik-Demak-Semarang