Minggu, 27 Mei 2012

INSIDEN PENGGEREBEGAN DI TENGAH MALAM YANG MENGHEBOHKAN: SEBUAH PERENUNGAN


Kali ini saya akan bercerita tentang kejadian menghebohkan di rumah kami (baca: rumah kos putri kami) di tengah malam buta. Sebelum saya mulai cerita, dan untuk memancing rasa penasaran Anda, ada baiknya saya mulai dengan menceritakan tiga tokoh utama dalam cerita saya ini.
Tokoh pertama adalah anak kos saya, sebut saja namanya Bunga (saya gunakan saja nama samaran yang pasaran). Perempuan cantik, tinggi semampai, yang berumur34 tahun ini dalam fotokopi KTP yang diberikan kepada suami saya (selaku pemilik dan pengelola kos-kosan) sekitar 3 tahun lalu, di hari pertama dia menjadi penghuni kos kami, adalah menikah. Dia pun mengaku telah memiliki 3 anak. Untuk sekian lama saya belum bisa percaya jika dia telah menikah dan memiliki 3 anak, melihat penampilannya yang masih begitu muda dan tubuh yang masih sangat langsing seperti gadis remaja (baru setelah kejadian malam heboh itu saya bisa percaya 100%).  Ditambah lagi selama kos di tempat kami, tidak pernah sekalipun anak-anak atau suaminya yang dia ceritakan tinggal di Purwokerto itu, terlihat mengunjunginya di Yogya. Di Yogyakarta ini, Bunga bekerja di sebuah perusahaan jamu.
Tokoh ke-2 adalah Dodi (nama samaran juga), suami Bunga. Tokoh ini sebenarnya baru muncul saat insiden penggerebegan di tengah malam buta itu. Dia adalah mantan anggota DPRD di daerah tempat tinggalnya, di daerah ngapak-ngapak Jawa Tengah (saya tidak tahu persis tepatnya di daerah mana, apakah Kebumen ataukan Purwokerto, lagian saya juga tidak begitu peduli, sich...).
Nach, tokoh yang ke-3 adalah seorang perwira menengah berpangkat Kompol (Komisaris Polisi), sebut saja namanya Pak Gik (juga nama samaran). Lelaki berumur 52 tahun ini statusnya adalah duda cerai dengan 2 anak yang sudah menginjak remaja dan dewasa. Dia pernah menjadi Kapolsek di wilayah Yogyakarta, dan sekarang menjadi reserse di POLDA DIY.
Di luar ketiga tokoh utama di atas, tentunya ada banyak tokoh pembantu alias tokoh-tokoh pendamping, seperti Pak RT, suami saya sebagai pemilik dan pengelola kos, saya sendiri sebagai ibu kos, bapak-bapak keamanan di kampung saya, dan beberapa bapak lagi yang di malam kejadian itu ikut menghadiri dan  meramaikan suasana. Juga ada beberapa bapak anggota kesatuan POLDA DIY yang akan muncul kemudian.
Tentunya Anda sudah mulai penasaran bukan, bagaimana cerita selanjutnya? Ceritanya diawali sekitar 1,5 bulan yang lalu, saat di suatu hari Bunga mengenalkan Pak Gik kepada suami saya.  Demi memperkenalkan Pak Gik itu, Bunga “rela” mengisahkan cerita “pilu” biduk rumah tangganya dengan Dodi, kepada suami saya.  Dia katakan bahwa hubungannya dengan Dodi telah berakhir alias cerai, dan saat ini dia telah menikah siri dengan Pak Gik. Bunga dan Pak Gik mengaku “terpaksa” menikah siri, belum bisa menikah secara hukum negara alias tercatat di KUA, karena masih ada masalah yang mengganjal.  Masalah itu adalah bahwa Dodi belum bisa melepas Bunga, sehingga dengan kekuasaannya sebagai mantan anggota DPRD, Dodi bisa menahan perpanjangan KTP Bunga sehingga Bunga tidak bisa mengurus surat-surat untuk pernikahannya dengan Pak Gik.  Bunga juga bercerita bahwa Dodi adalah suami yang tidak bertanggung jawab sehingga Bunga sampai kabur dari rumah meninggalkan ketiga anaknya.  Dodi juga tidak pernah mengijinkan Bunga untuk bertemu dengan anak-anaknya selama kepergian Bunga dari rumah. Cerita ini tentu saja adalah versi Bunga (nanti akan lain lagi ceritanya saat tokoh Dodi yang bercerita). Bunga meminta ijin pada suami saya agar Pak Gik diijinkan untuk sesekali mengunjunginya di kos, sampai urusan surat-surat untuk pernikahan mereka beres sehingga mereka bisa menikah secara KUA, dan kemudian barulah Bunga akan pindah kos untuk tinggal bersama Pak Gik. Mengapa Bunga tidak langsung pindah saja dari kos-kosan dan tinggal dengan Pak Gik? Alasannya adalah karena Bunga tidak mau tinggal di asrama.  Ya, Pak Gik memang tinggal di asrama polisi, bukan di rumah pribadi. Bagaimana dengan suami saya, apakah suami saya langsung percaya dan mengijinkan pasangan siri itu tinggal di kos-kosan kami? 
Suami saya adalah orang yang sangat baik dengan jiwa sosial dan tepa selira yang sangat tinggi. Maka, suami saya pun mengijinkan Pak Gik untuk sesekali mengunjungi Bunga di kos-kosan. Apalagi melihat Pak Gik yang tampak kebapakan dan terlihat sebagai orang baik-baik.  Toh, secara agama nikah siri itu sudah syah. Bagaimana dengan saya? 
Saat suami saya menceritakan tentang kasus Bunga pada saya dan melaporkan bahwa Pak Gik akan sesekali mengunjungi Bunga di kos-kosan, saya yang memang terbiasa berpikir liar, dan suka berandai-andai, langsung mencium aroma ketidakberesan pada Bunga.  Saya langsung negative thinking, berbeda banget dengan suami saya yang selalu positive thinking dan selalu berprasangka baik pada semua orang (mungkin inilah yang namanya jodoh, sehingga kami saling melengkapi dan menjadi penyeimbang satu sama lain).  Saya mengatakan pada suami saya agar bertindak hati-hati dalam kasus ini, dan mengusulkan agar Bunga segera pindah dari kos-kosan kami, karena saya takut akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang akan merugikan kami di kemudian hari.  Seperti biasa, jika kami berbeda pendapat, maka akan ada sedikit ketegangan di antara kami. Akhirnya, masalah ini pun mengambang untuk beberapa waktu tanpa ada solusi atau jalan keluar yang pasti untuk menengahi perbedaan pendapat di antara kami tersebut.
Hingga di suatu pagi, saya mendengar ada suara laki-laki dari kamar Bunga yang tertutup rapat dengan suasana gelap karena lampu kamar dimatikan, dan saya lihat juga ada sepatu laki-laki di depan pintu kamarnya.  Saya langsung menebak bahwa suara laki-laki itu tentunya adalah suara Pak Gik.  Itu artinya, semalam Pak Gik menginap di kamar Bunga.  Saya sungguh merasa tidak nyaman melihat situasi seperti ini.  Selama ini saya dan suami saya bertindak tegas dalam aturan bahwa tamu laki-laki dilarang masuk kamar, kecuali saudaranya, dan itupun harus ijin pada saya atau suami saya.  Selama ini, sudah beberapa kali suami saya mengeluarkan anak kos yang suka melanggar aturan main ini, karena kami tidak mau rumah kami menjadi tempat perzinahan.  
Emosi saya betul-betul memuncak saat tahu bahwa Pak Gik menginap di kamar Bunga, karena sejak awal saya tahunya bahwa ijin yang diberikan pada Pak Gik adalah Pak Gik bisa mengunjungi Bunga di kamarnya, tetapi tidak untuk menginap. Saya betul-betul risih ada laki-laki asing di rumah kami, meskipun itu bukan di rumah induk melainkan di rumah kos.  Saya juga merasa kasihan pada anak-anak kos yang lain kalau harus menyaksikan hal-hal pribadi suami istri seperti itu. Ingin sekali rasanya saya langsung menyuruh Pak Gik keluar dan pergi dari kos-kosan ini.  Tapi kemudian saya berpikir, selama ini kan pengelolaan kos adalah hak dan tanggung jawab suami saya? Saya tidak boleh mengambil langkah sendiri. Lagi pula, secara hukum agama, tidak ada yang salah jika Pak Gik dan Bunga berkumpul dalam satu kamar. 
Untuk beberapa saat emosi saya pun mengendap, dan mencoba berdamai dengan keadaan. Saya pun kemudian menemui suami saya dan menyatakan perasaan saya bahwa saya risih melihat situasi seperti ini.  Saya juga mengusulkan pada suami saya agar segera melaporkan situasi ini kepada Pak RT, sehingga kalau sampai ada apa-apa, Pak RT bisa ikut bertanggung jawab atau membantu kami menghadapi situasi tersebut. Saya pun berharap Pak RT bisa ikut menginterogasi Pak Gik, sehingga bisa meyakinkan saya bahwa cerita pernikahan sirinya dengan Bunga adalah benar, bukan kebohongan belaka.  Ini adalah masalah tanggung jawab moral, terutama tanggung jawab kepada Tuhan.  Dalam hati saya menyesalkan mengapa banyak orang memilih nikah siri, karena ketiadaan bukti tertulis  maka pernikahan siri lebih banyak menimbulkan mudzarat daripada manfaat.  Saya amati juga lebih banyak orang menikah siri hanya untuk melegalkan “perzinahan” secara agama, bukan bertujuan demi membangun keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah. Dan inilah yang saya lihat pada kasus pernikahan Bunga dan Pak Gik.
Saya tunggu sampai dua hari, tidak ada reaksi dari suami saya atas usulan saya agar melaporkan kasus Bunga pada Pak RT.  Saya hafal style suami saya yang tidak suka melibatkan banyak orang dan selalu bertindak secara pelan dan teramat banyak pertimbangan, berbeda dengan saya yang ingin semua masalah cepat selesai agar tidak menggantung. Akhirnya saya putuskan untuk datang sendiri ke rumah Pak RT.  Karena saat saya datang Pak RT sedang tidak di rumah, maka saya pun melaporkannya pada Bu RT, dan mohon agar kemudian dilaporkan kepada Pak RT, suaminya. Untuk urusan selanjutnya, semuanya saya serahkan pada suami saya dan Pak RT.
Singkat cerita, karena laporan saya pada Pak RT itu, maka di suatu pagi saat Pak Gik menginap lagi di kamar Bunga, suami saya dan Pak RT mengetuk pintu kamar Bunga dan meminta Pak Gik keluar. Pak RT didampingi suami saya pun kembali menginterogasi Pak Gik dan Bunga, tentu saja proses berjalan baik-baik penuh kekeluargaan dan tanpa emosi. Dari hasil interogasi ini pun hasilnya sama seperti yang telah saya ceritakan di muka, bahwa Pak Gik dan Bunga telah resmi menikah siri dan adik laki-laki Bunga telah bertindak sebagai saksi. Pak Gik juga bersumpah bahwa dia adalah seorang muslim baik-baik, yang tidak akan berani berbuat zina, apalagi dia juga aktivis pengajian dan juga seorang ustadz yang suka ceramah di masjid. Setelah yakin bahwa Pak Gik dan Bunga telah menikah siri, maka Pak RT menyerahkan masalah ini kepada suami saya, karena ini adalah hak suami saya sebagai pemilik kos-kosan, apakah mau mengeluarkan Bunga ataukah tetap menerima Bunga untuk tinggal di kos kami. Bunga pun telah memohon pada suami saya untuk tetap bisa tinggal di kos kami dengan alasan terlalu merepotkan jika harus segera pindah karena dia baru saja menjalani operasi kandungan. Selain itu, juga karena Bunga masih menunggu sampai urusan KTPnya beres.  Dengan alasan kemanusiaan, maka suami saya tetap mengijinkan Bunga tinggal di kos kami, tetapi dengan batas waktu (suami saya tetap menghormati keinginan saya agar Bunga segera pindah dari kos kami, sehingga mengambil jalan tengah ini). Sebelum bulan Ramadhan, Bunga harus pindah dari kos kami.
Apa yang terjadi kemudian? Pak Gik justru semakin sering menginap di kamar Bunga.  Dia justru merasa mendapat angin segar setelah pertemuan dengan Pak RT itu. Saya semakin keki dibuatnya.  Apalagi saya sering mendapati mereka berduaan di kamar dengan pintu tertutup rapat dan tanpa nyala lampu.  Mereka berdua bisa betah seharian berduaan di kamar tanpa keluar, dan hanya keluar untuk mencari makan. Setiap kamar kos memang didesain mempunyai private bathroom, sehingga memungkinkan mereka untuk tidak keluar kamar seharian. Hanya suara mereka saja yang sering terdengar dari luar kamar.  Saya jadi teringat akan kisah saya di Bristol, Inggris, saat saya harus tinggal seflat dengan pasangan kekasih yang hidup bersama, selama 4 bulan.  Bisa Anda bayangkan, bagaimana saya yang hidup sendiri di negeri orang tanpa keluarga, harus tinggal serumah dengan pasangan kumpul kebo
Pengalaman saya setahun yang lalu itu masih menyisakan trauma sampai sekarang, meski terkadang menggelikan juga. Waktu itu saya sering mendengar suara-suara “aneh” dari dalam kamar pasangan kumpul kebo itu, yang membuat telinga saya betul-betul risih.  Belum lagi harus melihat banyak adegan yang tidak pantas untuk dilihat.  Meskipun suara-suara yang saya dengar dari kamar Bunga adalah bukan suara-suara “aneh” seperti yang saya dengar saat saya tinggal di Bristol dulu, tetapi tetap saja itu membuat saya risih karena ada pasangan asing yang tinggal di rumah saya sendiri (kalau di Bristol sih saya bisa maklum karena itu adalah negara Barat, tetapi masak di rumah sendiri saya masih harus mengalami hal demikian? nggak lah yauw...).  Yang lebih risih lagi adalah melihat penampilan (baca: cara berpakaian) Bunga jika Pak Gik sedang menginap di kamarnya.  Saya sampai hafal, karena setiap pagi saat Pak Gik ada di kamarnya, Bunga akan ke dapur (mungkin untuk membereskan bekas makan atau apa, saya tidak tahu persis) dengan pakaian begitu seksi dan minim, semacam lingerie, yang hanya pantas dilihat oleh suaminya (tentunya Anda bisa menduga kan Bunga habis ngapain dengan Pak Gik?). Suami saya pun pernah sekali melihat Bunga berpakaian seperti itu, tetapi begitu tahu ada suami saya di luar kamarnya, dia langsung buru-baru masuk kamar (untungnya Bunga masih punya rasa malu pada suami saya sehingga suami saya pun segera terhindar dari zina mata....).
Cukup lama juga saya ngampet dengan kondisi seperti itu, hingga terjadilah insiden menghebohkan di malam minggu seminggu yang lalu itu. Malam itu seperti biasa Pak Gik menginap di kamar Bunga.  Hari telah sangat larut.  Saya pun sudah tidur pulas, demikian juga dengan suami dan anak saya yang kecil.  Anak saya yang besar dan adik saya yang kebetulan sedang menginap di rumah kami, masih asyik nonton pertandingan bola. Dan, tiba-tiba pintu rumah kami diketuk orang dengan keras.  Anak saya segera membangunkan suami saya. Apa yang terjadi?
Ternyata serombongan orang datang menggeruduk rumah kami dan minta untuk bertemu Bunga. Di rombongan itu terlihat Dodi dengan wajah penuh emosi sambil mulutnya mengucapkan kata-kata kasar. Ada bapak-bapak keamanan kampung, dan beberapa teman Dodi. Mereka juga membangunkan Pak RT yang kebetulan rumahnya dekat dengan rumah kami.  Singkat cerita, rombongan itu pun menggerebeg kamar Bunga.  Dodi marah-marah pada Bunga dan menjelek-jelekkan Bunga di depan orang-orang.  Dari penggerebegan ini diketahui bahwa perceraian Dodi dengan Bunga belum resmi atau belum syah secara hukum.  Tetapi Bunga berpendapat bahwa selama 4 tahun dia sudah tidak mendapatkan nafkah lahir batin dari Dodi, sehingga secara otomatis dia sudah bisa bercerai dari Dodi. Sedangan Dodi tidak pernah merasa menceraikan Bunga.  Dodi mengatakan bahwa dia selama ini tidak bisa memberi nafkah lahir kepada Bunga karena setelah tidak menjabat menjadi anggota DPRD, dia tidak mempunyai pekerjaan.  Dodi juga terlibat hutang yang harus segera dia luanasi, 300 juta.  Untuk itu selama ini dia mencari-cari keberadaan Bunga untuk meminta tanda tangan Bunga agar bisa menjual rumah yang merupakan harta gono-gini untuk melunasi hutang tersebut.  Selain itu, menurut versi Dodi, selama ini anak-anak mereka terus menanyakan Bunga, sampai-sampai Dodi dan keluarganya telah mencari Bunga ke mana-mana, dan baru bisa menemukannya sekarang (cerita tentang bagaimana Dodi bisa menemukan keberadaan Bunga, tidak perlu saya ceritakan di sini karena terlalu panjang, takutnya akan membosankan Anda).
Melihat istrinya berduaan dengan laki-laki lain, maka Dodi minta urusan ini dibawa ke polisi.  Maka, jadilah di tengah malam buta itu, Pak RT, suami saya, Bunga dan Pak Gik beserta rombongan penggerebek, rame-rame ke kantor polsek terdekat. Intinya adalah Dodi melaporkan perzinahan istrinya dengan Pak Gik.  Masalah menjadi besar begitu pihak kepolisian tahu bahwa kasus ini melibatkan anggota kepolisian, apalagi seorang perwira.  Dodi pun ternyata bukan seorang gentleman, dia menggiring kasus seakan-akan warga kampung kamilah yang melaporkan kasus perzinahan itu, bukan dirinya.
Apa yang terjadi kemudian? Apa yang saya khawatirkan ternyata terjadi. Paginya, di koran “Bernas” menucul berita dengan judul “Seorang perwira polisi tertangkap basah berduaan di kamar kos dengan istri orang”. Waduh....nama suami saya juga ikut disebut dalam berita yang telah didramatisasi itu.  Untungnya, alamat rumah kami tidak disebutkan secara jelas.  Sungguh-sungguh berita yang membuat kami dan warga kampung kami menjadi malu.  Untungnya, berita itu tidak diekspose secara besar-besaran, hanya merupakan berita kecil di surat kabar itu. 
Setelah kejadian malam itu, selama beberapa hari kemudian ada sekitar 3-6 orang polisi berpakaian preman “bergentayangan” di kampung saya, terutama di sekitar rumah kami.  Tentu saja mereka melakukan investigasi, dan sebagai saksi kunci adalah Pak RT, suami saya sebagai pemilik kos, dan Bunga sebagai pasangan “zina” Pak Gik. Lebih dari satu jam suami saya diwawancarai oleh polisi-polisi berpakaian preman itu, yang pada intinya adalah mereka mencari bukti-bukti bahwa Pak Gik sebagai seorang perwira telah melakukan pelanggaran dan pencemaran nama baik kepolisian karena telah “berzina” dengan iztri orang. Jika terbukti bersalah, tentunya akan ada sanksi disiplin bagi Pak Gik.
Semenjak kejadian malam penggerebegan itu, Pak Gik tidak pernah muncul lagi di kos rumah kami.  Bunga pun susah untuk ditemui, dia lebih sering berada di luar kos, entah di mana. Untungnya suami saya sempat bertemu Bunga sebelum dia menghilang, dan mengatakan padanya bahwa dia harus pindah dari kos-kosan kami paling lambat akhir bulan ini, demi kenyamanan dan kebaikan kampung kami.  Dan, mau nggak mau Bunga harus setuju. 
Tentunya cerita tentang kasus Bunga ini masih panjang, karena sampai hari ini pun suami saya dan Pak RT masih direpotkan dengan urusan ini.  Yang sangat saya syukuri adalah saya sudah sempat melaporkan tentang kasus pernikahan Bunga dan Pak Gik kepada Pak RT jauh hari sebelum penggerebegan itu terjadi, sehingga Pak RT sebagai pimpinan kampung dapat ikut membela posisi suami saya. Saya ngeri membayangkan seandainya kasus penggerebegan itu terjadi sebelum Pak RT tahu tentang kisah pernikahan Bunga dan Pak Gik, pastinya nama baik suami saya akan hancur karena dianggap telah membiarkan perzinahan terjadi di rumah kami.  Syukurlah, karena Pak RT telah tahu kisah yang sesungguhnya, maka cap negatif pun tidak dilekatkan oleh warga kampung pada kami sekeluarga dan rumah kos kami.  Allah telah menyelamatkan kami melalui feeling saya untuk segara melapor ke Pak RT waktu itu.
Dari kasus Bunga kita dapat mengambil hikmah. Terlepas dari siapa yang salah, apakah Bunga ataukah Dodi, biarlah itu menjadi urusan pribadi rumah tangga mereka bedua, ada hal penting yang dapat kita renungkan.  Saya ingin mengajak Anda merenung, terutama bagi Anda yang masih tidak peduli atas upaya negara (baca: pemerintah) dalam mengatur dan melindungi warganya, yaitu dengan cara mengatur bahwa semua perkawinan harus tercatat di KUA, demikian juga dengan perceraian. Masih perlukah kita memberi peluang pada pernikahan siri jika hanya menimbulkan mudzarat? Salahkan negara yang ingin melindungi warganya dengan membuat aturan bahwa pernikahan yang syah adalah pernikahan yang syah secara agama maupun secara hukum negara dengan mencatatkannya di KUA (baca: bagi muslim)? Kalau kita tidak punya masalah atau melanggar aturan dan norma,  mengapa kita mesti takut mengumumkan pernikahan kita (yang merupakan berita bahagia) dan mencatatkannya di KUA? Bukankah pernikahan ditujukan untuk membina keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah serta diridhoi Tuhan, bukan hanya untuk melegalkan “perzinahan” (baca:hubungan suami istri) semata?.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar