Senin, 14 Mei 2012

TAMU BULE? SIAPA TAKUT.....

Sebagai orang yang tinggal di Yogyakarta serta mempunyai saudara dan kerabat yang tinggal menyebar di berbagai wilayah Nusantara, maka saya telah terbiasa kedatangan tamu yang menginap di rumah, entah kerabat yang ingin menikmati liburan di Yogyakarta ataupun yang sedang mencari sekolah untuk anaknya. Ya, karena Yogyakarta adalah kota wisata sekaligus kota pelajar. Tapi kali ini berita yang datang dari adik saya yang tinggal di Lombok membuat saya sekeluarga kelimpungan, karena kali ini dia akan datang menginap dua malam bersama dua orang teman bulenya, dari Australia dan Amerika. Begitu mendapat kabar, saya langsung berpikir, bagi saya yang  pernah merasakan hidup di Inggris dan tinggal satu rumah dengan orang-orang bule, tidak akan jadi masalah. Tetapi bagaimana dengan suami dan anak-anak saya? Tentunya kendala budaya dan bahasa yang saya pikirkan.

Setelah melewati berbagai diskusi dengan suami dan anak-anak saya, maka akhirnya saya dan suami sepakat untuk menerima adik saya beserta dua orang teman bulenya itu untuk menginap di rumah kami.  Tetapi kami meminta syarat bahwa sepasang bule Amerika dan Australia yang merupakan pasangan kekasih (baca: pacaran) itu tidak boleh sekamar, tetapi kami akan menyiapkan dua kamar terpisah buat mereka berdua.  Jadi, total akan kami siapkan tiga kamar, satu untuk Arsyad, adik saya; satu untuk Nik yang dari Australia; dan satu untuk pacarnya yang dari Amerika, Charlene.  Sebenarnya bule-bule itu bisa saja tinggal di hotel berbintang selama di Yogyakarta, tetapi Arsyad menawarkan untuk tinggal sebagai tamu di rumah kami, sebagai bentuk penghormatan atas persahabatan mereka. Nik yang dari kantor ACIAR (Australian Centre for International Agricultural Research) ada kerja sama dengan kantor Balai Budidaya Laut Lombok tempat Arsyad bekerja.  Dan kedatangan mereka ke Yogyakarta adalah karena Nik ada presentasi ke UNY dan UGM, serta ke PEMDA Gunung Kidul. Sedangkan Charlene yang merupakan ilmuwan dari Amerika, kali ini hanya mendampingi Nik saja. Saya dan suami sebenarnya merasa terhormat juga jika Nik dan Charlene mau menginap di rumah kami. Bagi saya pribadi, sebenarnya akan sangat bermanfaat untuk terus mengasah bahasa Inggris saya agar tidak hilang dari ingatan.


Dalam persiapan menyambut kedatangan Nik dan Charlene, terbersit sekian banyak kekhawatiran di benak saya. Pertama, bagaimana kalau nanti Nik dan Charlene tidak mau pisah kamar? Sebagai seorang muslim, tentunya saya tidak rela jika pasangan yang belum resmi menikah itu akan tinggal sekamar di rumah saya. (Sewaktu tinggal di Inggris, saya punya pengalaman tinggal satu flat dengan teman bule yang hidup bersama dengan kekasihnya, itulah yang mengundang kekhawatiran saya). Ke dua, bagaimana dengan menu makanannya nanti, apakah mereka bisa menyantap menu ala Indonesia? Ke tiga, bagaimana komunikasi dengan anak-anak dan suami saya nanti? Ke empat, apakah mereka akan nyaman tinggal di rumah saya yang sederhana dengan tipe kamar mandi lantai basah? Padahal saya tahu bahwa orang-orang bule terbiasa dengan tipe kamar mandi lantai kering. Dan masih banyak lagi kekhawatiran saya yang lainnya. Tetapi pelan-pelan segala kegalauan itu saya abaikan. 


Dua hari menjelang kedatangan mereka, saya dan suami beres-beres rumah agar tampak bersih dan terasa nyaman.  Untuk Arsyad saya siapkan kamar di lantai atas, sedangkan Nik dan Charlene saya siapkan dua kamar di lantai satu dengan private bathroom untuk masing-masing kamar.  Kebetulan pas ada dua kamar kos yang sedang kosong (suami saya memang mengelola usaha kos-kosan yang menyatu dengan rumah kami). Dua kamar itulah yang kami persiapkan untuk mereka berdua. Kedua anak saya, Raka yang kelas 6 SD dan Satria yang masih duduk di bangku TK, ternyata senang juga mendengar akan ada tamu bule yang menginap.  Mereka berdua bahkan ikut membantu membereskan kamar-kamar untuk Nik dan Charlene. Kami berupaya membuat kamar menjadi senyaman mungkin bagi bule-bule itu nantinya.


Akhirnya sampailah hari-H kedatangan mereka. Saya dan suami menyambut kedatangan mereka dengan keramahan. Kami pun saling bersalaman dan menyebut nama kami masing-masing. Berhubung suami saya bahasa Inggrisnya kurang lancar, maka sayalah yang paling banyak berkomunikasi dengan kedua bule itu.   Tapi suami saya selalu menunjukkan keramahannya, begitu pula dengan kedua anak saya. Meskipun ada kendala bahasa, tetapi tidak menjadi masalah yang berarti, karena saya dan Arsyad selalu siap menjadi ujung tombak komunikasi bagi suami dan anak-anak saya. Saat saya katakan pada Nik dan Charlene bahwa saya telah menyiapkan dua kamar bagi mereka, yang artinya mereka harus tidur pisah kamar, ternyata mereka oke-oke saja.  Apa yang saya khawatirkan bahwa mereka tidak mau pisah kamar ternyata tidak terbukti, mereka sangat mernghargai budaya tuan rumahnya.

Hari pertama berada di rumah kami, sarapan pagi saya siapkan dengan dua menu pilihan, yakni bread dengan selai dan margarine serta saya siapkan toaster (karena saya tahu biasanya bule suka sarapan dengan toasted bread); serta ayam goreng KFC. Ternyata mereka berdua sangat menikmati  dua menu yang saya sajikan.  Secangkir teh panas menjadi teman sarapan pagi mereka. Kehangatan kami sekeluarga dalam menyambut kedatangan mereka tampak sangat membuat mereka terkesan.  Mereka pun sangat senang dengan kamar-kamar yang kami siapkan bagi mereka, juga tidak ada masalah bagi mereka dengan tipe kamar mandi lantai basah dengan kloset jongkok itu. Ternyata keramahtamahan kami sebagai tuan rumah adalah nomor satu bagi mereka.

Acara hari pertama, Nik presentasi di Jurusan Pendidikan Biologi UNY dan Fakultas Biologi UGM.  Karena saya merupakan dosen di Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY sekaligus alumnus Fakultas Biologi UGM, maka Arsyad meminta saya untuk mendampingi dan mengikuti semua rangkaian kegiatan Nik hari ini. Jadilah saya berperan ganda, selain berperan sebagai nyonya rumah yang siap melayani tamu selama di rumah, juga sebagai pendamping dan guide bagi Nik, Charlene dan Arsyad selama kegiatan di luar rumah. Selesai acara di UNY dan UGM, acara dilanjutkan dengan mengunjungi Candi Brorobudur. Makan siang hari ini disajikan oleh pihak Fakultas Biologi UGM, sedangkan makan malam di Restoran Ayam Goreng Mbok Berek di Jl Magelang sepulang dari Candi Borobudur.  Dan, Nik lah yang menraktir kami semua satu mobil, termasuk juga sopir yang mengantar kami keliling seharian (Arsyad menyewa mobil beserta sopirnya selama dua hari khusus untuk menjamu Nik dan Charlene selama di Yogyakarta).  Jadi, hari ini saya bebas dari kebingungan memilihkan menu makan siang dan malam untuk tamu-tamu bule ini.
 
Dari pengamatan saya seharian ini, tampaknya Nik dan Charlene bukan tipe orang yang pilih-pilih menu, apapun yang disuguhkan, akan mereka makan tanpa raut muka protes. Nik dan Charlene juga orang-orang baik dan ramah.  Saat di Candi Borobudur tadi, banyak wisatawan lokal, baik anak-anak maupun dewasa, laki-laki maupun perempuan, yang begitu senangnya melihat turis asing seperti Nik dan Charlene sehingga mengajak foto bersama.  Dan Nik dan Charlene pun melayani mereka semua dengan sabar dan senyum keramahan.  Ya, keramahan kami sebagai taun rumah kepada bule-bule itu membuat mereka pun juga berbuat yang sama kepada kami dan orang-orang lokal yang dianggapnya sama dengan kami.

Hari ke dua, suami saya yang ahli membuat nasi goreng membantu saya menyiapkan menu sarapan hari ini.  Arsyad membantu kami dengan menambahkan menu fast food yang semalam dibelinya dari Restoran Hoka-Hoka Bento.  Saya pun tinggal menata meja, membuatkan teh panas, dan menghangatkan fast food dengan microwave, serta menyiapkan potongan buah pepaya di piring dan puding cokelat yang telah saya buat sehari sebelum mereka datang dan saya simpan di kulkas. Saya lihat para bule itu sangat suka dengan pepaya, karena pepaya itulah yang mereka ambil duluan.  Ya, saya tahu bahwa buah pepaya merupakan buah mewah di negara-negara empat musim karena harganya yang mahal.  Itu pengalaman saya sewaktu 4 bulan tinggal di Inggris setahun yang lalu. Dan kembali mereka pun menikmati sarapan hari ini dengan nikmat tanpa muka protes. Sambil sarapan kami ngobrol rame-rame. 

Selesai sarapan, kali ini hanya Nik dan Arsyad yang mempunyai acara presentasi ke Pemda Gunung Kidul. Hari ini Charlene ingin tinggal di rumah saja.  Akhirnya, saya dan Charlene asyik ngobrol  dan bercanda berdua di ruang makan, sedangkan suami saya hanya menjadi pendengar setia. Raka yang telah selesai melaksanakan ujian nasional sehingga tidak masuk sekolah, ikut asyik mendengarkan obrolan kami dari ruang tamu, tanpa mau bergabung karena malu.  Sedangkan Satria yang masih duduk di TK tentu saja sedang sekolah.  Di hari Sabtu siang ini saya dan suami ada undangan njagong manten di Gedung Graha Sabha Pramana UGM.  Aku menawari Charlene untuk bergabung bersama kami ikut njagong manten agar dia bisa melihat bagaimana budaya lokal Indonesia, khususnya Jawa, saat pesta pernikahan.  Dan Charlene pun setuju, meski dia bingung karena tidak siap dengan baju pesta.  Aku pun tidak hilang ide, maka aku dandani Charlene dengan kebaya dan sepatu high heel punyaku, sedangkan celana panjangnya Charlene sudah bawa sendiri.  Charlene ngikut saja saat saya dandani, tidak protes, bahkan dia tampak senang.  Akhirnya, kami berangkat njagong manten bertiga.  Charlene sangat terkesan dengan pengalamannya hari ini. Dia bolak-balik menyampaikan rasa terima kasihnya padaku karena telah mendapatkan kesempatan unik ini.  Nik pun begitu tahu tentang pengalaman pacarnya hari ini, ikut berterima kasih padaku.

 Sore hari, saatnya tamu-tamu saya berpamitan.  Sebagai kenang-kenangan saya memberikan sebuah kalung batu dari Kalimantan untuk Charlene, sedangkan Nik memberikan kaos merchandise ACIAR buat saya.  Kami semua pun foto bersama sebagai kenang-kenangan.  Raka senang sekali bisa foto bareng dengan bule.  Dia berniat akan menunjukkan foto itu pada teman-temannya nanti, dan akan bercerita bahwa ada bule yang pernah menginap di rumahnya.  Saya pun merasa telah berhasil membuka wawasan anak-anak saya bahwa ada kehidupan lain di luar negaranya, Indonesia.  Bahwa para orang asing itu memiliki budaya yang berbeda, tetapi bisa bergaul nyaman dengan orang Indonesia sepertinya.  Bahwa keramahtamahan Indonesia telah mengesankan mereka.


Setelah tamu-tamu saya pulang, ada perasaan lega dalam diri saya karena kami sekeluarga telah membuat kesan yang baik buat mereka, juga karena segala kekhawatian saya di awal tidak terbukti. Saya begitu  bersyukur. Dan untuk rencana kedatangan Arsyad dan Nik ke Yogyakarta berikutnya pada bulan Oktober mendatang, maka saya pun bisa bilang "Tamu bule? Siapa takut...."









2 komentar:

  1. sengaja saya mencari tahu tentang menyambut tamu vule digogle..fan sy menemukan tulisan njenengan.alhamdulillah..paling tidak sy memiliki sedikit gambaran bagaimana menyambut tamu tamu eropha kawan lama saya bulan juli nanti...semoga bahasa inggris sy masih bisa dimengerti oleh mereka hehee...thanks

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah kalau tulisan saya bisa membantu...
      Selamat menyambut tamu bule ya...
      Salam

      Hapus