Jumat, 10 Agustus 2012

ADA CERIA DI SEKOLAH


Masa-masa sekolah selalu menyisakan kenangan yang sayang jika dilupakan. Selama sekolah S3, memang tak jarang kisah sedih, pilu dan penuh liku perjuangan, tertoreh di hati. Apalagi sistem sekolah S3 di dalam negeri terkenal sulit (baca: dibandingkan dengan sistem S3 luar negeri), harus sabar dan kuat menghadapi berbagai tantangan dan ujian mental, baik yang bersifat akademis maupun non akademis. Bahkan, banyak orang yang nggak berani ambil S3 di UGM, karena terkenal lulusnya lama alias rata-rata di atas 5 tahun.
Sekolah S3 memang tidak bisa dikatakan ringan. Kami dituntut tanggung jawab keilmuan yang sangat berat. Sekolah S3 di UGM juga dituntut untuk mandiri, semua kesulitan yang kami dapati selama sekolah, lebih banyak harus kami selesaikan sendiri, tanpa banyak peran dari tim promotor. Semua itu demi satu cita, predikat doktor yang penuh nilai. Eits.... tapi tulisan saya ini tidak akan bercerita tentang masa-masa sulit ini. Saya justru akan mengulas sisi yang menyenangkan selama sekolah S3.
Lewat tulisan ini saya ingin mengenang kembali masa-masa kebersamaan yang indah bersama teman-teman S3 saya.  Alhamdulillah, saya mendapatkan teman-teman yang baik dan sealiran dengan saya, yaitu suka ngumpul dan jalan-jalan. Inilah cara ampuh bagi kami untuk sejenak melupakan tekanan sekolah dan berbagi dengan teman seperjuangan, baik berbagi suka, duka maupun kisah. Dari sini kami juga bisa saling menasehati dan memberi masukan jika ada dari kami yang membutuhkan support. Banyak cerita yang membuat kami tertawa bersama jika mengingatnya. Berikut ini saya akan ceritakan satu demi satu.

1. Yangkung yang bikin keki
       Yangkung adalah sebutan untuk seorang dosen kami yang sudah sangat sepuh. Beliau adalah seorang profesor yang sebenarnya sudah pensiun, berumur sekitar 75 tahun. Fisiknya yang sudah pernah terserang stroke sebenarnya sudah tidak bisa dikatakan bugar, bahkan untuk berjalan pun seringkali harus dituntun, tetapi semangatnya sangat luar biasa. Mengapa bikin keki?  Karena sesepuh yang masih dijatah mengajar oleh Pak Dekan dengan alasan untuk tetap menjaga semangat hidupnya ini, nganeh-nganehi alias permintaannya aneh-aneh. Dan siapa yang menjadi korban permintaan-permintaannya itu? Tentu saja kami para mahasiswanya. 
       Banyak cerita tentang Yangkung yang berkesan bagi kami, terutama bagi beberapa orang yang paling sering dipanggil menghadap ke kediaman beliau untuk sekedar mendengarkan beliau bercerita,  atau bahkan untuk mengantarkan dan menemani beliau menghadiri suatu acara. Dan, saya termasuk salah satunya. Beliau memang tinggal sendiri tanpa keluarga sehingga sering merasa kesepian.
       Salah satu kenangan yang berkesan adalah beliau minta diadakan perayaan Sumpah Pemuda di kelas, waktu itu tanggal 28 Oktober 2008, di bulan-bulan pertama masa sekolah kami. Saya adalah salah satu orang yang ditunjuk menjadi panitia. Jadilah hari itu kami membaca sumpah pemuda, menyanyi lagu nasional, berdoa bersama, mendengarkan wejangan dari Yangkung, makan cemilan bersama, dan berakhir dengan foto bersama. Dan, satu hal lagi permintaan yang nganeh-nganehi, yakni untuk urusan nilai matakuliah Filsafat Ilmu yang beliau ampu, kami para mahasiswa harus mengambil nilai itu langsung di kediaman beliau.

2. Metodologi Penelitian, matakuliah paling sangar
       Di Fakultas Geografi UGM ini ada 4 program studi S3, yakni Ilmu Lingkungan, Geografi, Penginderaan Jauh, dan Kependudukan. Untuk semua program studi ini, tahun pertama adalah tahun untuk teori alias untuk menempuh beberapa matakuliah wajib yang harus ditempuh oleh semua mahasiswa, dan matakuliah pilihan yang ditentukan berdasarkan arah penelitian mahasiswa.
        Metodologi penelitian adalah matakuliah wajib yang harus ditempuh oleh semua mahasiswa. Kami sangat terkesan dengan matakuliah yang diampu oleh profesor-profesor handal di Fakultas Geografi ini. Mengapa? Terutama adalah karena tugas matakuliah ini yang mengharuskan kami menyusun proposal penelitian disertasi kami, kemudian dipresentasikan di depan kelas, diberi komentar maupun masukan dari teman-teman sekelas dan dosen pengampu, dan tentu saja kemudian dinilai oleh dua orang dosen pengampu tersebut. Dan, dosen pengampunya adalah dua orang profesor yang terkenal disiplin, teliti dan sangat serius, serta tidak main-main dalam memberikan penilaian kepada mahasiswa, yaitu Prof Sutikno dan Prof Hadi Sabari. Bahkan, ada teman kami yang harus mengulang presentasi alias memperbaiki proposalnya.
        Bisa dibayangkan, di semester pertama sekolah, kami yang rata-rata belum matang dengan rencana penelitian disertasi kami, harus dipaksa untuk membuat proposal penelitian yang sudah matang dan siap untuk diaplikasikan di medan penelitian.  Tentu saja ini merupakan tantangan tersendiri bagi kami. Saking beratnya matakuliah ini, membuat kami justru kompak dan merasa senasib, sehingga setelah berakhirnya presentasi maraton selama beberapa hari, kami pun mengadakan acara kumpul-kumpul dan makan-makan di Rowo Jombor, Klaten. Tentu saja foto-fotoan menjadi agenda wajib bagi kami. Keriangan dan keceriaan tergambar di wajah kami saat itu, tidak beda jauh dengan keriangan remaja-remaja SMA yang merayakan kelulusannya. Selain itu juga ada acara penutupan di restoran Gita Buana dengan mengundang Prof Sutikno dan Prof Hadi Sabari. Acara diisi dengan makan bersama, ramah-tamah, karaokean dan foto bersama.
       Dan perlu diingat, di antara matakuliah yang diselenggarakan di program S3 Fakultas Geografi UGM ini, Metodologi Penelitian adalah matakuliah yang paling susah nilainya. Nilai A, B, dan C menyebar, tidak seperti matakuliah lain yang royal memberikan nilai A kepada mahasiswanya. Syukurlah, saya termasuk segelintir orang yang mendapatkan nilai A untuk matakuliah ini.

3. Dolan-dolan membuang stres
        Di tahun ke dua, kami mulai disibukkan dengan urusan penelitian kami masing-masing. Ada yang sibuk mempersiapkan ujian komprehensif alias ujian proposal, ada yang sudah mulai penelitian di lapangan, meskipun juga ada teman yang masih bingung dengan arah penelitiannya, dan bahkan ada juga teman yang justru sibuk dengan urusan non akademis. Meskipun demikian, kebiasaan kami yang sudah dirintis sejak semester pertama kebersamaan kami di program S3 ini, yaitu kumpul-kumpul dan dolan-dolan, tetap dilestarikan.
        Sebenarnya dari 25 orang mahasiswa S3 Angkatan 2008, tidak semua yang suka atau selalu bisa ikut kegiatan ini. Saya termasuk yang aktif terlibat di setiap acara kumpul-kumpul dan dolan-dolan. Hanya satu dua kali saja yang saya terpaksa tidak bisa bergabung karena suatu alasan. Hebatnya, Bu Dwita sang ketua kelas kami ini, punya kharisma yang sangat kuat untuk memimpin kami semua. Kelembutan dan keanggunannya yang menjadi trade mark-nya, menjadi gaya kepemimpinannya.
     Banyak tempat yang telah kami kunjungi untuk sekedar refreshing, baik sekedar kumpul-kumpul dan makan-makan di beberapa restoran atau warung makan di Yogyakarta dan sekitarnya, maupun ke tempat-tempat rekreasi dengan jarak yang cukup jauh.
Tempat rekreasi yang pernah kami kunjungi bersama-sama adalah Kaliurang, Rowo Jombor, Lawang Sewu di Semarang, Bandungan dan Candi Gedong Sanga, Candi Ceto di Lereng Gunung Lawu, dan Waduk Gajah Mungkur di Wonogiri.  Untuk mendanai itu semua, kami sepakat iuran, dan saya lah yang bertugas sebagai bendahara dan mengatur pengeluarannya. Meskipun begitu, ada seorang teman yang seringkali menjadi “donatur utama” bagi kami (baca: ngebosi). Dialah Pak Rahmat, yang pemurah dan baik hati. Urusan kendaraan atau transportasi dan makan, seringkali dia yang nraktir.  Bahkan, gara-gara dialah kami bisa merasakan naik mobil mercy dan pajero, dua mobil mewah miliknya yang biasa dipakainya ke kampus.


  3. Silaturahim sambil dolan-dolan
       Ada agenda rutin yang sempat kami jalankan, yaitu berkunjung ke rumah teman yang sedang punya hajat, dan tentu saja sekalian mampir ke tempat-tempat tertentu untuk refreshing atau dolan-dolan. Yang pernah kami lakukan adalah saat Bu Sri Ngabekti yang biasa kami sapa Bunga mau berangkat haji, maka kami pun berkunjung ke rumah dia di Semarang, juga sekalian berkunjung ke rumah dua teman lainnya yang sama-sama tinggal di Semarang, yakni Bu Forita dan Pak Yanto. Dan, tentu saja kami tak lupa mampir dolan ke Lawang Sewu dan pusat oleh-oleh khas Semarang di Pandanaran.
    Ada lagi, kami pernah mengadakan kumpul-kumpul di rumah Pak Rahmat di Solo. Pak Rahmat dan istri menjamu kami di rumahnya yang besar dan asri.  Kami semua sekedar kumpul, ngobrol-ngobrol, makan-makan dan nyanyi-nyanyi diiringi organ tunggal yang sengaja disewa oleh Pak Rahmat beserta pemainnya. Tak lupa kami mampir ke pusat batik Laweyan untuk belanja.  Lagi-lagi Pak Rahmat dan istri berbaik hati menanggung transport kami, sampai kami diantarkan kembali ke stasiun untuk naik kereta Pramex kembali ke Yogyakarta.
        Kalau ada acara main ke Solo dan sekitarnya, Pak Rahmat lah yang selalu menanggung transport lokal dan makan teman-teman semua. Saya dan teman-teman hanya menanggung transport dari Yogya ke Solo saja. Dan, kami selalu naik kereta Pramex rame-rame.  Saya hitung, ada tiga kali ke Solo, yaitu saat kumpul-kumpul di rumah Pak Rahmat, saat dolan ke Waduk Wonogiri, dan saat ke Candi Ceto di lereng Gunung Lawu.
      Ada juga acara silaturahim ke rumah teman yang diakhiri dengan mampir makan-makan di salah satu rumah makan, biasanya yang dekat-dekat saja. Seperti saat dari takziah ke kediaman Pak Bambang Sulis, kami mampir makan di Rumah Makan Pecel Solo di Jalan Monumen Yogya Kembali. Kali ini yang nraktir Pak Saparis sebagai ekspresi rasa syukur telah lulus sekolah dan mendapat jatah penempatan dari instansinya di Jakarta. 
       Pernah juga kami mampir makan sate klathak di Jalan Imogori, kali ini BSS alias bayar sendiri-sendiri. Tetapi, seringkali yang jadi juru traktir di setiap acara makan-makan di restoran adalah Pak Rahmat. Bahkan saat kami makan besar di Rumah Makan Padang “Sederhana” di Jalan Kaliurang pun, Pak Rahmat yang mbayari. Sampai ada joke dari Pak Saparis bahwa “Selama ada Pak Rahmat, jangan bayar makanan sendiri, nanti ndak Pak Rahmat tersinggung”....Hahaha...ada-ada saja (Semoga Tuhan membalas kebaikan hati Pak Rahmat). Saya sendiri, hanya sekali menanggung makan-makan saat di RM Pondok Cabe Jalan Cik Di Tiro, itu pun ditanggung bersama dengan Bu Dwita, sebagai acara syukuran dari kami berdua yang akan berangkat program Sandwich DIKTI, saya ke Inggris dan bu Dwita ke Austria .

4.  Ujian terbuka kakak kelas sebagai ajang       kumpul-kumpul dan makan-makan gratis
        Ujian terbuka kakak kelas sebenarnya menjadi ajang kami untuk belajar dan mempersiapkan mental karena pada saatnya nanti kami pun harus menjalani ritual ini (baca: bagi yang memilih jalur ujian terbuka, bukan wisuda. Tetapi, biasanya para promotor lebih suka bimbingannya menempuh jalur ujian terbuka daripada wisuda). Tetapi, bukan kami kalau tidak bisa memanfaatkan momen ujian kakak kelas ini untuk ajang ngumpul dan berbagi cerita sambil makan-makan gratis. Sungguh ajang yang menyenangkan bagi kami, sampai lama-lama akhirnya kami bosan sendiri seiring dengan kesibukan kami yang semakin meningkat di semester-semester akhir masa studi kami.  Hingga akirnya, kami hanya akan datang ke ujian terbuka kakak kelas jika judul penelitiannya related dengan penelitian kami.

       Satu lagi momen yang sangat berkesan bagi kami, yaitu saat kami semua diundang di acara pengukuhan guru besar Prof Hartono, Direktur Sekolah Pasca Sarjana UGM. Hal ini sangat berkesan, karena kami bisa ngumpul  kembali setelah sekian lama tidak bisa ngumpul bareng karena telah disibukkan dengan urusan mengejar target kelulusan masing-masing. Saya sendiri waktu itu sedang menunggu hari-H ujian tertutup, dan sudah ada 3 teman seangkatan yang telah lulus alias berpredikat doktor, tetapi mereka bertiga bukan satu program studi dengan saya. Seperti biasa kami rame-rame menikmati acara ini, terutama karena ada acara makan-makan gratisnya...hehe. Setelah acara syukuran selesai, kami masih sempatkan diri untuk berkumpul dan  ngobrol-ngobrol melepas kangen di bawah pohon rindang di sebelah utara gedung pusat UGM.

5. Kekompakan dengan teman-teman satu promotor
    Menjalin komunikasi dan kebersamaan dengan teman-teman yang mempunyai promotor atau co-promotor yang sama dengan saya, ternyata sangat bermanfaat. Yang jelas, selain bisa berbagi banyak hal akademis, saya juga bertambah teman dan persaudaraan. Program studi Ilmu Lingkungan yang saya tempuh dan riset disertasi yang saya lakukan, mengharuskan saya mendapatkan tim promotor lintas fakultas, yaitu dari Fakultas Pertanian, Geografi dan Biologi. Saya pun akhirnya mempunyai banyak teman dari Fakultas Pertanian. Apalagi Prof Edhi Martono, promotor saya, pernah secara khusus mengundang kami semua para bimbingannya yang berasal dari beragam fakultas untuk ngumpul di rumah beliau. Ini menjadi ajang bagi kami untuk saling mengenal dan bertukar informasi, juga saling support.

 6. Cerita lucu dan gosip penyedap rasa
        Ternyata masa sekolah S3 tidak jauh berbeda dengan masa SMA maupun masa S1 dulu, selalu saja ada gosip tentang kisah cinta dua anak manusia. Kali ini gosip beredar karena kedekatan hubungan mereka berdua yang sering pergi berduaan dan tampak mesra. Tentu saja kami tak bisa memastikan ada cinta di antara mereka berdua. Karena, kalau memang benar ada, maka pastilah cinta itu cinta terlarang karena mereka berdua telah sama-sama berkeluarga. Yang kemudian terjadi adalah ada seorang dari kami yang bertugas menyampaikan pesan dari teman-teman semua agar mereka berdua hati-hati bersikap dengan adanya gosip yang beredar. Dan apa jawabannya? Katanya mereka berdua hanya menganggap kedekatan mereka sebagai hubungan kakak adik saja. Kami teman-temannya berusaha percaya saja, meskipun di belakang mereka berdua kami sering menggosipkannya dan menjadikan hal itu sebagai guyonan. Tetapi syukurlah, seiring berjalannya waktu hubungan mereka berdua semakin renggang, apalagi setelah si cowok lebih banyak berada di tempat asalnya.
        Selain gosip di atas, banyak cerita yang seringkali menjadi bahan guyonan saat kami kumpul-kumpul, seperti nggodain teman yang dikatakan naksir seseorang (jelas naksirnya terlarang karena masing-masing telah berkeluarga), ngrumpiin seorang teman yang terkenal pelit, seorang kakak kelas yang gara-gara sekolah S3 menikah lagi dengan teman sesama mahasiswa S3 UGM tetapi beda fakultas kemudian bercerai dengan istrinya yang dulu, ataupun ngrumpiin seorang kakak kelas yang terkenal dengan sebutan Mpok Atik. Semuanya itu menjadi bumbu penyedap di saat kami ngumpul bareng.

7. Saling support

   Dan, inilah hal yang terpenting, kami saling support. Jika ada teman yang mempunyai kesulitan dalam disertasinya, teman yang lain membantu. Dalam hal pembuatan peta, Pak Saparis selalu siap membantu.  Saya pun banyak terbantu dengan tradisi ini. Jika ada teman yang nggak pernah nongol di kampus dan mempunyai hambatan, kami berdiskusi untuk dapat membantunya.  Dan, saat mulai ada teman yang maju ujian tertutup maupun ujian terbuka, kami siap menjadi supporter.  Seperti biasanya, makan-makan menjadi acara penting untuk beramah tamah selepas acara, juga berfoto bersama. Saya sendiri adalah orang ke-4 yang lulus doktor untuk Angkatan 2008 di Fakultas Geografi, dan nomor satu untuk Program Studi Ilmu Lingkungan. Ternyata, tidak selamanya sekolah S3 di UGM membutuhkan waktu lebih dari 5 tahun, karena saya dan banyak teman yang lain bisa menyelesaikannya dalam waktu tidak lebih dari 4 tahun. Bahkan, ada seorang kakak kelas yang bisa selesai dalam waktu kurang dari 3 tahun (meski cukup banyak juga yang lebih dari 5 tahun). Ternyata, yang terpenting adalah tetap berdoa dan berusaha keras, pantang putus asa.

Itulah sekelumit cerita ceria di masa sekolah S3 di UGM yang menurut banyak orang begitu menakutkan dan menjadi momok, karena banyaknya kisah duka dari teman-teman pendahulu tentang pengalamannya studi S3 di kampus ini.  Saya yang menempuh sebagian disertasi saya di University of Bristol, Inggris, memang mengamini kesan teman-teman pendahulu bahwa studi S3 di dalam negeri lebih berat daripada di luar negeri (baca: terlepas dari beratnya berpisah dengan keluarga di tanah air). Tetapi, saya sengaja menampilkan kisah ceria di sini, untuk menyampaikan pesan kepada teman-teman lain yang ingin  mengambil program S3 dalam negeri agar tidak takut, dan bisa mengambil hikmah bahwa di mana pun kita sekolah, kita bisa merasakan kebahagiaan dengan versi kita sendiri. Cobaan dan ujian hidup selama sekolah pastinya ada, dan setiap orang mempunyai ujian hidupnya masing-masing. Jangan pernah berpikir bahwa ujian hidup kita lebih berat dari orang lain, karena Tuhan Mahatahu kemampuan setiap hamba-Nya dalam menanggung beban cobaan-Nya.  Salam sukses.
Yogyakarta, 9 Agustus 2012
Titien

Tidak ada komentar:

Posting Komentar